Berebut Lulus UN

Detik-detik menjelang UN telah beredar kunci jawaban soal UN yang disebarkan secara berjemaah lewat SMS dan diterima oleh siswa peserta ujian...

Pesona Pulau Pasir Putih Lihaga

“Pak Rory, berapa sewa kapal ke Lihaga?” tanya saya seusai foto-foto. “Enam ratusan ribu. Tergantung juga permintaan..

Puisi: Jejak Kehidupan

“Setiap perjalanan adalah langkah. Setiap langkah adalah jejak. Dan jejakku menuju ke kabut”.

Age Quod Agis

Age Quod Agis, ungkapan bahasa Latin ini, mempunyai arti, "lalukanlah apa yang harus dilakukan". Tentu, artinya bukan asal mengerjakan..

Menangkap Garis Mitos Gunung Lokon

Mitos Opo Lokon dipercaya oleh masyarakat karena telah menyelamatkan dari setiap kali Gunung Lokon meletus atau sering disebut “ba sembur” atau “polote”.

Sadapnya Mie Cakalang Berkaldu Ikan

Mie Cakalang Per Porsi Rp. 15.000,-


Pecinta kuliner masakan Manado, pasti tak melewatkan untuk berburu mie cakalang. Konon mie cakalang ini sudah menjadi makanan favorit orang Manado. Maka, tak sulit untuk menemukan mie cakalang ini. Di setiap sudut keramaian kota, banyak rumah makan memajang tulisan mie cakalang sebagai andalan menunya.

Popularitas mie cakalang memang tak dapat dipungkiri di kalangan orang Manado. Saya pernah bertanya mengapa mie cakalang ini begitu digemari oleh masyarakat. Rata-rata mereka menjawab karena enak. Selain itu, kuliner ini menjadi alternatif dari kuliner lain yang rata-rata berunsur lemak tinggi.

Seperti tadi siang, saya diajak makan mie cakalang di Café Mahawu, Bukit Doa. Cuaca kota Tomohon yang sejuk dan cenderung dingin akhir-akhir ini, karena sering turun hujan, ikut andil dalam membangkitkan selera makan saya.

“Ayo dimakan, selagi masih panas.” kata Om Topan setelah meletakkan dua mangkok mie cakalang di meja putih di mana saya duduk. “Lho, kok dua Om?” tanya saya. “Nanti saya temani makannya”, kata Om Topan menimpali reaksi saya. Setelah meletakkan nampan, Om Topan yang sudah saya kenal lama, ikut menikmati mie cakalang buatannya sendiri bersama saya.

Karena disajikan dalam keadaan masih panas, maka kami makan dengan pelan-pelan dan sungguh menikmati mie cakalang apalagi suasananya habis hujan.  Sambil makan kami sekali-kali membicarakan apa rahasianya sehingga mie cakalang itu begitu populer.

“Itu karena mie kuning-nya masih fresh dari beli di pasar. Selain itu, suwiran cakalang fufunya dipanasi lebih dahulu, ya digoreng sebentar saja. Jangan terlalu lama. Bumbu-bumbu lain yang penting jangan lupa daun bawangnya sama minyak bawang putih. Oh ya mie kuningnya, dimasukan terakhir kali” kata Om Topan dengan semangatnya.

Lalu saya menyambung dengan bertanya tentang cakalang. “Cakalang itu sama bukan dengan Ikan Tuna?” Lalu Om Topan menjawab, “Itu beda, Ikan Tuna ya ikan tuna atau tongkol kalau di Jawa bilang”.  Penjelasan Om Tuna soal Ikan Cakalang itu membuat saya penasaran.

Karena saya penasaran dengan Ikan Cakalang itu, maka saya cari di Google. Dan saya mendapatkan informasi dari Wikipedia seperti ini. “Cakalang (Katsuwonus pelamis) adalah ikan berukuran sedang dari familia Scombridae (tuna). Satu-satunya spesies dari genus Katsuwonus. Cakalang terbesar, panjang tubuhnya bisa mencapai 1 m dengan berat lebih dari 18 kg. Cakalang yang banyak tertangkap berukuran panjang sekitar 50 cm. Nama-nama lainnya di antaranya cakalan, cakang, kausa, kambojo, karamojo, turingan, dan ada pula yang menyebutnya tongkol. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai skipjack tuna.”

Tak hanya itu, saya juga tertarik dengan khasiat dari ikan Cakalang ini. “Ikan cakalang adalah ikan bernilai komersial tinggi, dan dijual dalam bentuk segar, beku, atau diproses sebagai ikan kaleng, ikan kering, atau ikan asap. Dalam bahasa Jepang, cakalang disebut katsuo. Ikan cakalang diproses untuk membuat katsuobushi yang merupakan bahan utama dashi (kaldu ikan) untuk masakan jepang. Di Manado, dan juga Maluku, ikan cakalang diawetkan dengan cara pengasapan, disebut cakalang fufu (cakalang asap).

Asupan Mie Cakalang Bergizi dan Menyehatkan


“Memang sadap butul mie cakalang ini. Apalagi dimakan dengan rica mantah.” komentar saya dan tampak wajah Om Topan berseri-seri. Namun di balik popularitas mie cakalang itu, ternyata yang membuat orang Manado suka sekali dengan asupan masakan ini, adalah ikang cakalangnya.

“Depe gizi Cakalang membuat kita sehat, daripada ikang daging yang berlemak bisa bikin asam urat atau kolesterol.” kata Om Topan sedikit promosi. Apa yang dikatakan Om Topan, saya setuju. Ini mengingatkan saya pada budaya pesta yang kebanyakan menunya daging-dagig yang mengandung lemak tinggi. Sedangkan makan mie cakalang, orang mendapatkan kaldu ikan yang bergizi tinggi dan menyehatkan.

Menyantap satu mangkok mie cakalang yang disajikan masih panas, ditambah dengan rica (sambal pedas), dan dalam suasana habis hujan memang sungguh nikmat. Perutpun menjadi kenyang dibuatnya.  Yang lebih asyik adalah rasa ikan Cakalangnya masih terasa di lidah kendati mangkok sudah ludes hingga tak tersisa kuahnya.  Kata Om Topan, satu mangkok mie cakalang dihargai Rp. 15.000,- per porsi.

Jika anda berkesempatan wisata ke Manado dan sekitarnya, jangan lupa memburu mie cakalang ini. Jika tidak, rasa kecewa akan hinggap di hati anda sehingga kenyamanan wisata anda sedikit berkurang.

Salam kuliner Kompasiana.

Tulisan ini diposting ke Wisata, Kuliner, Kompasiana
pada tanggal 26 Maret 2012

Sajak Anggur Merah Buat Presiden


Pada sebuah pesta rakyat
tanpa kertas undangan tersirat
kutuangkan gelas piala berisi anggur
untuk Bapak Presiden dari tanah makmur.

Beliau datang melalui jendela sepi
sendirian tanpa ditemani istri
Galau hatiku sudah kusapu
hanya untuk bisa toast bersama beliau.

“Selamat malam Bapak Presiden,
mohon toast dengan saya kali ini saja”
Kemudian dua gelas piala saling beradu
menggoyang air anggur merah penuh berkah.

Keringnya kerongkongan yang parau akan demokrasi
terpenuhi sudah oleh seremoni  malam ini.
Tampak Bapak Presiden tersenyum kental
menutupi kantong matanya yang makin tebal.

“Bapak Presiden terimakasih atas toasnya
malam ini.” kataku dengan antuisias
bersamaan rasa manis pahitnya anggur beras
yang mengalir di rongga asa.

Alunan musik bambu yang mengiringi seremoni
malam itu, makin menghentak memanaskan suasana
aku sendiri makin jauh dari Bapak Presiden
karena beliau sudah siap baca teks di mimbar kenegaraan.

Beliau berkata pada rakyat yang sedang berpesta
“Semua masalah negeri ini sudah saya serahkan kepada
KPK dan biarkan lembaga ini bekerja dengan baik.
Sekali lagi, itu bukan urusan saya lagi.”

Tiba-tiba gelas piala yang kupegang lepas
karena tanganku dingin dan bergetar gerah
selepas mendengar sambutan Bapak Presiden
hingga lantai bumi ini menjadi berdarah oleh anggur merah.

Kemudian aku terkapar
dan selalu jatuh di pangkuan ibu pertiwi..

(2011, November)

Puisi Jejak Kehidupan



Jejak Pagi

membuka mata, pintu jendela terbuka. Berdiri memandang ke arah langit. Tak ada sedikit pun kedip mentari pagi. Hanya putih berkabut menyelinap di sudut halaman taman.

Sosok pohon besar itu kekar menguat. Daun-daun jadi putih berselimut. Tak lagi menguap di antara sela titisan gerimis. Kakunya dingin tersandung mimpi. Kerjapun jadi bayangan tak terbatas.

Hentikan air matamu dari langit sebelah. Rupa berdansa sendirian. Kesana kemari membawa berita angin dan gemuruh rusuh hati.

“ Ini pagiku. Bukan pagimu. Di antara kita ada ruang. Ruang batin tak tersambung”.


Jejak Siang

bunga dalam kabut. Tak seindah kumbang terbang bersayap. Mengelilingi setiap sudut rajut rasa. Senang merayap. Tapi duka hinggap di setiap putik. Lemas dihisap wangi pada bulan madu.

Rona pipi ini sudah terhapus budi. Butir-butir air bekas hujan semalam. Menempel di  dinding setiap kelopak bunga. Ingin rasanya mengibas segala duka.

“Siapakah yang akan menyiapkan makanan siang. Aku lapar. Lapar pada keadilan negeri”


Jejak Malam

hanyalah kabut di perjalanan ini. Tak seperti biasa. Langkah terangmu bak polusi. Hanya dingin berdiri. Membeku ironi malam.

Dua lampu menyala. Menempel pada tiang kemustahilan. Tak sedap dipandang seperti bunga tadi siang. Rasakan kalau kau pulang larut malam. Dihadang segudang pertanyaan. Digadang sepanjang jalan ini.

Mau dibawa kemana hidup ini? Pemimpin adalah aku. Bukan pemimpinku. Jejak ini yang membawaku kemana langkah malam, pagi lalu siang.

“Setiap perjalanan adalah langkah. Setiap langkah adalah jejak. Dan jejakku menuju ke kabut”.


untuk teman-teman malamku, Maret 2012

Kuliner Manado: Ikang Mujaer, Rasa Kerapu




Sekali lagi tentang wisata kuliner di Manado. Saya yakin, di antara kita ada yang suka makan masakan Manado. Rasa pedasnya yang nendang dan cita rasa rempah-rempahnya yang menggoyang lidah, tak mudah untuk dilupakan dalam ingatan dan kenangan. Makin sering makan asupan khas Manado ini, makin ketagihan dibuatnya.

Saya sendiri, hampir tujuh tahun lamanya tinggal di daerah Minahasa, selalu merasa kurang kalau makan tanpa ada rasa pedasnya. Alih-alih pohon rica (cabe) di kobong (kebun), bisa ludes saya petik setiap kali menyantap hidangan. Tak terkecuali saat makan pisang atau ubi goreng. Keterlaluan ya? Ah, nggaklah fakta memang begitu kok.

Yang membuat saya heran, untuk  menyebut lauk pauk pada Minahasa Food (sebutan ini lebih populer di lokalan daripada Masakan Manado) adalah “ikang”. Jadi, bukan aneh, kalau ada yang ba tanya, “Depe ikang apa kang?” Maksudnya, lauknya apa ya?

Dalam khasanah kuliner Minahasa Food,  orang sudah terbiasa menyebut lauk itu dengan sebutan Ikang. Karena itu ada ikang Ayam, Ikang Telur, Ikang Sapi, Ikang Babi Utang, Ikang Laut, Ikang Mujaer, dan lain sebagainya.  Kalau ikang itu sudah dimasak, maka namanya menjadi Ikang Mujaer Woku, Ikang Mujaer Tore, Ikang Mujaer Buluh, Ikang Mujaer bakar dan seterusnya sesuai dengan jenis masakannya.

Kuliner ikang mujaer, memang sangat populer dan memasyarakat. Ikan mujaer selain dijadikan lauk makan sehari-hari, juga dijual di warung makan sederhana, restoran atau rumah makan terapung. Begitu populernya ikan mujaer, banyak rumah makan di jalur wisata ke Bitung, Tomohon, Tondano atau Amurang, menawarkan ikan mujaer dalam berbagai jenis masakan.



Lalu, apa istimewanya makan ikan mujaer Manado? Bukankah sama saja dengan ikan mujaer di jawa, Sumatera atau di pulau-pulau lain? Menurut saya ada bedanya. Ikan mujaer ala Manado ini, rata-rata dijual dalam ukuran besar dan dagingnya tebal.

Saya lebih suka ikan mujaer dibakar daripada digoreng tore-tore (garing) atau dipepes. Alasan saya, kalau dibakar dagingnya terasa seperti makan ikan kerapu laut. Warna dagingnya putih pulen (kenyal). Di lidah, terasa manis dan tidak bau tanah atau bau pelet, dikunyah terasa kenyal empuk. Jika dicocol dengan rica atau dabu-dabu, waduhhh nendang sekali. Jangan heran kalau nasi yang masih panas mengepul , bisa kandas dibuatnya. Pokoknya, nak nan (enak tenan).

Popularitas ikang mujaer ini membuat harga ikan jenis mujaer ini stabil dan cenderung menguntungkan bagi para petani ikan setempat. Satu kilo ikan mujaher, rata-rat a berisi 3-4 ekor, bisa dihargai Rp. 25.000,- Tapi, di rumah makan terapung, seperti di pinggiran Danau Tondano, satu ekor ikan bakar siap saji ukuran sedang, anda harus merogoh kocek anda sekitar Rp. 25.000,- per porsi sudah dengan rica dan dabu-dabu.



Soal ikang mujaer itu, ada kisahnya. “Bu Vita, seminggu berapa kali ibu memasok ikan mujaer ke asrama?” tanya saya kepada salah satu petani ikan mujaer yang mempunyai kolam ikan di Laikit, Minahasa Utara, kampung halamannya.

“Seminggu satu kali”, jawabnya.  “Satu kali setor, 500 ekor dengan total berat 125 kg. 1 kg dihargai Rp 21.000,- Harga bisa naik tergantung pasar. Harga paling mahal terjadi pada saat jelang Natal dan Tahun Baru. Kalau beli di pasar tradisional, 1 kg bisa mencapai Rp. 25.000,- dengan catatan 1kg jumlahnya 3 ekor.” lanjut bu Vita.

Di kampung halamannya, ia mempunyai 9 telaga (kolam) besar, yang luasnya kalau di total mencapai 2 hektar lebih. Ada 3 karyawan yang mengelola kolam ikannya, sehingga  sampai sekarang mampu mencukupi kebutuhan pasar dan konsumen.

Sementara itu, di restoran sea food yang berjajar sipenajang pantai Malalayang Manado, harga per porsi ikan Kerapu siap saji, apalagi jenis ikan kerapu tikus, tidak murah dan ini sesuai dengan kelezatannya. Konon mahalnya ikan kerapu disebabkan habitat ikan ini lebih banyak di dasar laut. Susahnya mendapatkan ikan kerapu, tentunya mempengaruhi harga jual ikan tersebut. Selain mahal karena alasan habitatnya, ikan kerapu banyak diburu oleh para penggemar makanan sea food. 

Sedangkan, ikan mujaer  adalah ikang (lauk pauk) keseharian orang Manado dan sekitarnya. Budi daya ikan ini mulai menjamur di lokasi-lokasi yang memiliki sumber air bersih, seperti Danau Tondano, Sonder, Sea, Air Madidi, Laikit, Tomohon. Uniknya, meski ikan mujaer itu dikonsumsi  setiap hari,  tidak pernah mengalami kekurangan sedikit pun. Itulah sebabnya, iakan mujaer rasanya manis dan ukurannya besar karena habitatnya di kolam yang airnya mengalir dan bersih.

Memang, ikan mujaer menjadi sebuah peluang wirausaha yang menggiurkan.  Tak kalah dengan ikan kerapu. Namun, yang paling menggiurkan adalah menyantap satu ekor ikan mujaer bakar rica dengan nasi yang masih hangat mengepul.  Waduh, sadap butul ikang ini…..

Harga BBM Naik, Kok Senang?




Polemik kenaikan harga BBM per 1 April 2012, semakin lama rasanya semakin seru. Berbagai pertimbangan mulai dari hukum, sosial budaya, politik, keamanan serta ekonomi global, satu per satu menghiasi topik pilihan bertajuk “Kenaikan Harga BBM”. Apapun alasannya, dipastikan kenaikan harga BBM tak bisa dibendung lagi.

“So ada minyak di pompa? Ada noh. Mar ba antri panjang.” kata rekan kerja saya menjawab pertanyaan saya tenang ketersediaan bensin di SPBU. Kata “minyak” bagi besar masyarakat Manado dan sekitarnya , berarti bensin. Bukan secara khusu untuk minyak tanah. Jadi pembicaraan tadi , maksudnya antri ei besin di SPBU.

“Kalau minyak so habis, bagaimana ngoni pi beli minyak? (kalau kehabisan, beli bensin di mana?)” kembali saya bertanya pada rekan kerja saya.

“Ah, gampang. Beli jo di botolan. Mahal sedikit mar kendaraan so bisa dipake ba jalan ulang” jawab teman saya. Kemudian teman saya menjelaskan bahwa harga bensin satu botol/ 1liter dijual dengan harga Rp. 6.500,-. Jadi penjual ambil untung Rp 2.000,- per botol dari harga resmi di SPBU Rp. 4.500,-

“Bagitu ee…” Jawab saya sambil mengangguk-angguk.

Pembicaraan soal minyak atau bensin yang harganya segera dinaikan oleh pemerintah dalam waktu dekat, makin “gayeng” (asyik juga) setelah beberapa rekan kerja saya memberi solusi dari dampak kenaikan harga BBM itu.

Saya sendiri semakin serius memperhatikan apa yang dimaksud dengan solusi itu oleh teman saya. Kemudian ia bercerita dengan penuh keyakinan di hadapan beberapa orang di kantor. Inti ceritanya begini.

“Jangan antri bensin di SPBU dengan menggunakan sepeda motor bebek. Pakai sepeda motor besar yang kapasitas tangkinya bisa 11 liter atau lebih. Isi foll itu tangki. Lalu sampai di rumah, bensin taruh di botol-botol. Kemudian jual itu bensin botolan di mua rumah seharga Rp. 6.500,- Berapa untungnya? 11 x Rp.2.000,- dapatnya Rp. 22.000,-. Sehari, bisa antri kurang lebih 4 kali. Jadi, lumayan kan untungnya? Buat nambah-nambah di samping ngojek.” kata teman saya dengan semangatnya.

Dengan kenaikan BBM nanti pasti keuntungan di depan mata semakin besar. Hal ini sangat memungkinkan karena kebih dari 2 tahun ini, pasokan BBM di SPBU dibatasi. Kalau mau antri, lama dan menyita waktu juga. Kondisi ini menciptakan kesempatan berbagai pihak untuk jualan bensin botolan di pinggir jalan.

Tapi bukan berarti tanpa resiko. Selain bahaya kebakaran, kini pihak aparat mulai mengawasi pratek jualan bensin di botol dengan alasan kuat yaitu ada upaya penimbunan bahan bakar minyak ilegal.

Di lain pihak, jika masyarakat mengetahui SPBU kosong, ia akan bertanya di mana jual bensin botolon. Lewat mulut ke mulut, akhirnya tahu di mana bisa beli bensin botolon meski harus membaryar lebih mahal. Akhirnya , penjual bensin botolan pun tersenyum senang karena dapat untung dan apalagi tangki bensin pakai tangki bensin mobil pick-up yang sudah dimodif terlebih dahulu.

Dilarang Keras Mendaki Gunung Lokon!



“Jalur pendakian menuju kawah Tompaluan, masih berstatus rawan bahaya bagi warga dan pendaki yang biasa melakukan aktivitas di sekitar Gunung Lokon”, demikian pengumuman dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Tomohon.

Pasca letusan 10 Februari 2012, Gunung Lokon masih terlihat mengeluarkan asap putih tebal setinggi 300 meter.  Warga yang mengendarai sepeda motor tanpa helm, terkadang merasakan matanya pedih terkena abu vulkanik.

“Pagi-pagi, sebelum ke kantor, saya harus mencuci sepeda motor karena semalam terkena debu Lokon.  Namun, aktivitas seperti ini sudah biasa saya lakukan. Bahkan, ini menjadi pertanda aktivitas gunung berapi Lokon sedang meningkat” ujar Stenly yang rumahnya berada di radius  2 km dari kawah Tompaluan di desa Kakaskasen II.

Akses menuju ke kawah Tompaluan bisa melalui jalur Kinilow, Kakaskasen atau Wailan di Tomohon Utara.  Akses ini kini dijaga dan ditutup untuk pendakian karena sangat membahayakan bagi warga atau pendaki. Terpantau dari BMG Tomohon, terjadi beberapa kali gempa vulkanik dangkal, gempa vulkanik dalam dan tremor dengan amplitudo 0,5 mm hingga 4 mm.

Karena itu, warga masyarakat hendaknya berjaga-jaga. Status Gunung Lokon sekarang adalah status siaga level tiga. Sebulan ke depan pasca letusan kemarin, PVBMG Tomohon berjanji akan mengevaluasi apakah ada penurunan atau peningkatan aktivitas.  Meski demikian, diingatkan bahwa radius bahaya masih 2,5 km dari kawah Tompaluan.

Meski dikeluarkan larangan pendakian, Gunung Lokon masih tetap mempesona. Terbukti banyak wisatawan masih berdatangan ke Bukit Doa yang terletak di lereng Gunung Mahawu. Sebuah lokasi wisata rohani yang posisinya sangat strategis untuk melihat langsung kawah Gunung tanpa halangan apa pun. Karena itu, tak sedikit pengunjung menyempatkan diri untuk berfoto dengan background Gunung Lokon.

“Saya jauh-jauh datang dari Surabaya hanyan ingin berfoto dengan latar belakang Gunung Lokon yang sedang berasap” kata salah satu pengunjung dengan bangganya. Dengan berfoto itu, larangan pendakian Gunung Lokon itu tidak tidak menyurutkan keinginan orang untuk menikmati indahnya alam Gunung Lokon dan sekitarnya.

Ketika membuat tulisan ini siang tadi, sekitar pukul sebelas siang, saya mendengar kabar bahwa Gunung Lokon “basembur ulang” atau meletus lagi. Namun saya masih mergukan berita itu. Soalnya, tak terdengar suara gemuruh seperti letusan hari Jumat 10 Februari yang lalu.

Bersamaan denganberita itu, hujan lebat dan berkabut melanda sebagian besar Tomohon. Sejauh mata memandang ke arah Gunung Lokon, tidak terlihat letusan itu karena terhalang oleh kabut. Kabar ini sempat membuat panik beberapa karyawan kami yang rumahnya di Kinilow, desa terdekat dengan kawah Gunung Lokon. Mereka ditelpon dari rumah bahwa Gunung Lokon basembur ulang.

Tidak lama kemudian, hujan reda. Langit biru mulai nampak. Kemudian saya keluar dari kantor untuk mengecek kebenaran berita itum dengan melihat langsung pada lubang kawah. Gumpalan “brokoli”  asap putih dari kawah Tompulan masih terlihat jelas. Masyarakat sekitar jika gumpalan itu berwarna putih, itu berarti masih aman-aman saja. Menjadi berbahaya, jika gumpalan asap vulkanik itu berwarna hitam keabu-abuan.

Sekarang ini, status Gunung Lokon masih ditetapkan oleh PVBMG Tomohon dalam kondisi siaga level tiga. Sebuah kondisi sebelum ditingkat menjadi awas. Karena itu, dilarang keras bagi warga atau pendaki untuk mengadakan kegiatan pendakian atau pergi berkebun.

“Prom Night, Sportaiment, Narsis dan Fashion”, Itulah Gaya Mereka.


Sebenarnya gaya hidup anak sekolah sekarang, bisa dikatakan dengan singkat. “Yang muda, yang ceria”. Saya bisa menyebut itu, soalnya pengalaman saya menjadi pamong di Sekolah berasrama (Boarding School) yang dihuni sekitar tiga ratusan siswa putra-putri, dari berbagai macam suku dan agama, serta dalam masa pendidikan selama tiga tahun setiap angkatan.

Usia mereka, usia pertumbuhan dan perkembangan diri pribadi. Secara psikologis dan moral mereka masuk dalam tahap “mencari identitasnya diri”. Hanya uniknya mereka tidak sendiri-sendiri tetapi proses pendidikan karakter (character building) mereka dialami bersama-bersama se-asrama yang jumlahnya 300-an orang, siang malam dan berbaur secara suku, agama dan ras.

Asyiiiik kita jadi bikin prom-night nanti besok”, kata Cheche mengagetkan teman-temanya.  Apa itu “prom-night”? Saya baru tahu setelah mereka ribut-ribut  membicarakan prom-night di saat mereka sedang serius menjalani masa “try-out” ujian nasional baik yang diselenggarakan sekolah maupun serentak oleh Provinsi.

Prom-night adalah acara perpisahan akhir tahun dengan teman-temannya dan sebenarnya sekolah juga. Kata promnight berasal dari kata “prom” yang diambil dari kata “promenade” yang berarti pergi jalan-jalan bersama teman-temanya. Sedangkan “night” adalah malam. Jadi arti “prom-night” adalah jalan-jalan bersama dengan temannya di waktu malam.  Namun, sekarang ini prom-night diartikan sebagai acara perpisahan siswa-siswa kelas tiga atau dua belas sebelum pengumuman ujian dan dilaksanakan pada malam hari di tempat biasa mereka dugem. Bisa di hotel, Diskotik, atau di Restaurant.

“Dress codenya apa ya nanti di prom-night”, tanya Jacko kepada temannya. “Black and White”, jamwab temannya. Dalam acara prom night, mereka sepakat model pakaian apa yang akan dikenakan nanti. Ini wajar karena acara itu akan menjadi kenangan seumur hidup, dan apalagi mereka akan berpencar ke mana-mana. Jadi, berpakaain modis fesyen, dengan penampilan impresif dan penuh percaya diri seakan-akan menjadi syarat utama setiap peserta prom-night. Bayangkan saja dari seragam abu-abu khas anak sekolah, mengubah diri menjadi lebih feminim dan macho. Wouw cantiknya dan cakepnya….

Menurut saya, gaya hidup anak sekolah itu ya prom night itu? Lho kok bisa. Setidak-tidaknya, itulah inti sari pengalaman saya mendampingi mereka selama masa pendidikan di sekolah dan di asrama. Lifestyle mereka kelihatan dalam acara prom night. Mereka suka bersenang-senang atau sesuatu hal yang membuat mereka senang secara pribadi dan komunitas. Alasannya masih muda dan masih boleh punya soul-mate dan angkatan.


Prom night saya rasa tidak jauh dari gaya hidup narsis. Lihat gaya mereka di depan kamera, waduhhh lebay dan agresif. Nggak hanya itu, foto-foto mereka pun juga narsis dan suka diupload di facebook. Narsis dan foto narsis, nggak ada bedanya. Sama saja. Suka tampil modis dan fesyen. “Yang penting tampilannya, donk Pak” kata Jojo sesaat sebelum berangkat ke prom night.

Namun, gaya ini sebenarnya tidak selalu negatif kalau dilihat dari kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang mereka sukai dan ujung-ujungnya suka tampil juga. Pernah lihat pertandingan bola basket DBL?. Ajang kompetisi bola basket antar SLTA itu adalah ajang gensi yang mencapurkan antara olah raga dan entertaiment. Penampilan squad modern dance dan yel-yel supporter serta pakain seragamnya menjadi indikator bahwa sportaiment mulai marak di kalangan remaja.

Marching Band Sekolah juga menjadi ajang untuk entertaiment karena dilihat banya orang dalam kegiatan seperti  pawai tujuh belasan. event wisata dan hari pendidikan. Bak Carnival mereka tampil dengan seragam yang baru dan dandanan yang  modis hingga menghibur para penonton di pinggir jalan.

Kegiatan Val-day (Valentine Day) tak jarang menjadi entaertaiment di antara mereka. Kesempatan untuk mengekspresikan gejolak pertumbuhan diri dalam bentuk cinta dan kasih kepada lawan jenis tanpa harus menjadi pacarnya. Bunga dan coklat tanda mata yang disukai oleh mereka untuk ditaruh di tempat tidur, meja belajar, meja makan, lemari pakaian sebagai tanda sayang kepada lawan jenisnya.

Jadi, saya melihat gaya hidup anak sekolah sekarang ini berkisar antara prom night, sportaiment, narsis dan fashion. Tapi di balik itu semua, mereka juga sepakat mengatakan, “We are not the best, but we are going to be the best for our school and friends”. Sebab di balik gelora jiwa mereka yang membara, ada hal yang wajib mereka jadikan gaya hidupnya yaitu prestasi akademis dan succesful in life.

click this link Muda, Kompasiana




Esktrimnya, 10 Kuliner Pesta Dari Manado



“Torang mo pesan kapal ke Bunaken for tanggal 24 Maret, boleh? “, tanya saya kepada Fadly melalui hp-nya. Fadly adalah salah satu koordinator yang mengelola pemakaian kapal-kapal Katamaran yang biasa melayani wisatawan ke Bunaken.  Sehari-hari Fadly berada di pelabuhan Pantai Marina Manado, dermaga resmi menuju ke Bunaken.

“For tanggal itu, kapal kita so ada yang pesan. Jumlah orang yang mo pake sekitar 350 orang. Jadi semua kapal nanti dipakai.”. Informasi ini membuat saya berpikir untuk mencari kapal lain. Namun, sebelum ditutup hp-nya, ia mengingatkan bahwa berdasarkan peraturan sekarang, satu kapal dibatasi hanya 15 orang saja. Bayangkan berapa kapal yang disewa pada hari itu.

Informasi tentang kedatangan wisatawan dalam jumlah besar ke Manado pada tanggal itu membuat saya tertarik untuk membuat tulisan tentang 10 kuliner pesta dari Manado. Saya berharap wisatawan yang datang ke Manado dan sekitarnya tidak perlu kaget melihat ekstrimnya hidangan kuliner Manado. Untuk para pencinta wisata kuliner pesan saya jangan melewatkan jalan-jalan anda untuk wisata kuliner khas Manado.


1. Tinutuan

Apa itu Tinutuan? Kuliner yang satu ini adalah nama lain dari bubur Manado.  Kesan pertama kali melihat tinutuan, pasti anda akan berkomentar, “Kok klentrek-klentrek ya”.  (lembek cair). Memang seperti itu. Namun, soal rasa jangan ditanya. Bubur Manado  yang diolah dengan sedikit beras, dan dicampur dengan aneka  sayuran,  seperti kangkung, daun bayam, sambiki (labu kuning), ubi, jagung muda, gedi, dan disantap masih panas dengan dicampur “rica rowa” (sambel yang terbuat dari ikan Rowa), rasanya “Sadap butul, ini makanan”.  Nah, jika bubur Manado ini ditambah mie, maka namanya berubah menjadi “midal’. Di tambah dengan mie, semakin sedap bubur Manado ini. Maka, sarapan pagi anda akan terasa nikmat dan kenyang.

2. Pangi

Anda pasti pernah mendengan “kluwak”? Kluwak adalah buah penyedap rasa yang digunakan untuk membuat rawon yang  kuahnya berwarna hitam. Nah, dari pohon yang sama, masyarakat Manado justru memanfaatkan daun mudanya untuk dijadikan sayuran “pangi”. Proses pembuatannya sangat unik. Daun dirajam tipis-tipis mirip seperti rajaman daun tembakau. Namun sebelumnya, batang daun pangi dikurangi ketebalannya. Sesudah dirajam, dan ditaruh bumbu lalu masuk dalam buluh. Bumbunya terdiri dari daun bawang, kemangi, biji pala, jahe (goraka) dan cabe yang diulek. Adakalanya pangi direbus setengah matang dulu, Tapi ada juga yang tidak direbus, tergantung kebiasaan masing-masing. Lebih enak lagi dicampur daging tawak (lemak) babi yang berfungsi melembekkan daun pangi. Buluh yang sudah diisi pangi tadi lalu dipanaskan di dekat bara api tapi bukan dibakar supaya buluh tidak pecah, Setelah kira-kira satu jam secara merata kena bara api, pangi buluh ini siap disantap.

3. Saut

Sayuran dari batang pisang muda (batang paling dalam setelah pelepahnya dikeluarkan) termasuk sayuran favorit kesukaan orang Manado. Dengan diiris menjadi kecil-kecil batang pohon pisang muda itu dibumbui sama persis dengan pangi. Biasanya dicampur dengan daging ayam atau babi. Saut termasuk hidangan pesta, karena selalu tersedia saat kita datang ke acara. Rasanya enak dan gurih, serta sedikit keras. Warnanya coklat.

4. Tumis Daun Pepaya

Rata-rata sayuran kuliner khas Manado itu organik. Maksudnya, sayur-sayurnya memang diambil dari hutan atau kebun yang tidak perlu pakai obat kimiawi. Salah satu contohnya ada daun pepaya ini.  Sayuran ini diolah mirip dengan pangi. Bedanya dimasak di wajan atau digaro. Umumnya, daun pepaya ini dicampur dengan daging dalam setiap pengolahannya.  Supaya rasa pahit hilang biasanya dicampur dengan jantung pisang. Jadi, direbus dulu dan airnya dibuang lalu dimasukkan dalam wajan dan diberi bumbu dan sedikit minyak kelapa. Daun papaya disukai karena berkasiat mencegah segala penyakit.


5. Kangkung Tumis

Tidak seperti daun pepaya buluh, sayuran kangkung ini alih-alih menjadi pelengkap yang harus ada jika  anda mampir di rumah makan Minahasa Food atau rumah makan terapung. Pengolahannya seperti biasa saja yaitu ditumis. Hanya bedanya pada kangkungnya. Di Manado dan sekitarnya, kangkung mudah didapatkan di daerah yang banyak air seperti Danau Tondano, atau di lereng-lereng Gunung atau Bukit yang mempunyai sumber air yang mengalir. Warnya hijau bersih (bukan agak kehitaman) dan rata-rata ukurannya besar. Uniknya, batang kangkung pun tetap dimasak. Jika dikunyah, selain rasanya sedap,suaranya sedikit “kriuk-kriuk”.  Dicampur dengan bunga pepaya, enak juga kok.


6. Tinoransak

Awal mulanya, Tinoransak adalah makanan tradisional yang bahan utamanya adalah daging babi. Bumbu dan cara memasaknya hampir sama dengan pangi, yaitu dimasukan dalam buluh lalu dipanaskan dalam bara api. Supaya warna masakannya menarik dan tidak kusam biasanya dicampur dengan sedikit darah sebelum dimasukkan dalam buluh.  Sekarang, tinoransak sudah menjadi jenis masakan yang meng-Indonesia sehingga dagingnya bisa diganti daging kambing, sapi, ayam atau lainnya. Cara masaknya pun tidak harus dimasukan di buluh, tetapi bisa di atas wajan.

7. Kawok

Nama lain dari “kawok” adalah tikus hutan ekor putih. Ekornya yang berwarna putih inilah yang secara khusus membedakan dengan tikus rumahan atau jalanan. Kawok mudah didapatkan jika ada pemburu yang pulang dari hutan. Mereka mendapatkan tikus ini di pohon-pohon besar seperti pohon Enau (pohon saguer.  Masyarakat mengolah dagingnya ( tanpa ekor), dengan dibumbui racikan batang bawang, kemangi, sereh, cabe, goraka, daun lemon, kunyit , kepala santan. Istilah kepala santan adalah santan pertama dari hasil remasan pertama buah kelapa. Remasan berikutnya tidak dipakai.

8. Paniki

Cara memasak Paniki sama dengan memasak Kawok. Masak santan dengan aneka macam rempah dicampur jahe khas hutan Manado, jadilah kuliner ekstrim yang sering diburu oleh wisatawan. Paniki adalah kelelawar besar atau kalong. Paniki ukuran besar banyak didapat di Sulawesi Tengah.

Mencari kuliner ekstrim ini sangat mudah. Datangi saja rumah makan yang bertuliskan Minahasa Food. Jika anda pergi ke Tomohon silahkan bersitirahat sejenak di Tinoor, jalan mendaki yang berkelok-kelok dan memiliki view kota Manado dari atas.  Rasa pedasnya Paniki membuat anda tak akan berhenti makan sebelum hidangan itu sungguh tuntas. Jangan lupa sayap-sayapnya pun enak diseruput.

Satu ekor paniki yang belum diolah harganya mulai dari Rp. 25.000 ribu, tergantung besar kecilnya, Kuliner ini sedikit mahal karena kalau orang tidak tahu membersihkannya, daging masakannya terasa anyir. Tak hanya itu, untuk mendapatkan cita rasa yang enak, lebih lama (setengah hari) di belanga dengan api sedang, lebih sadap.  

9. Tuturuga

Kalau yang satu ini sangat langka. Tuturaga adalah sebutan untuk labi-labi atau kura-kura. Sangat jarang didapat di pasar. Kebanyakan terdapat di rumah makan di sepanjang pantai. Langkanya kuliner ini juga disebabkan oleh sadarnya masyarakat dalam melestarikan binatang-binatang yang dilindungi.  Kalau ditanya soal rasa, semua masakan Manado bercita rasa tinggi dan enak karena olahan rempahnya yang hebat. Khasanah kuliner memasukan tuturaga sebagai salah satu jenis masakan, sehingga dagingnya bisa diganti dengan sapi, ayam atau kambing.


10. Woku Belanga

Yang dimaksudkan dengan belanga adalah wajan untuk masak atau goreng. Woku adalah bumbu masakan khas  dengan banyak rempah-rempahnya. Setelah diulek hingga lembut, lalu dioleskan pada ikan sebelum dimasukan dalam belanga. Bumbu ditumis di belanga baru ikannya terakhir. Melihat masakan ini, anda akan teringat dengan bumbu pepes ikan yang warnanya kuning. Mirip pepes katanya.

Apakah masih ada kuliner khas Manado lainnya selain 10 kuliner tadi? Ada dan masih banyak, Sepuluh kuliner itu adalah kuliner tradisional yang kerap disajikan dalam pesta, seperti ulang tahun, perkawinan, masuk rumah baru, atas peringatan arwah. Kuliner pelengkap pesta lainnya antara lain nasi jaha, nasi bungkus, saguer, ragey, kolumbi, bergedel jagung manis, kuah asam dan lainnya.

Pedasnya masakan Manado membuat lidah terus bergoyang. Meski pedas biasanya saya masih mencari rica dabu-dabu dan sambal pelengkapnya. Kuliner Manado bisa saja dalam bentuk makanan yang bisa dibawa pulang oleh wisatawan. Oleh=olhe khas Manado antara lain Ikan Cakalang Fufu (ikan Asap), Rica Roa, Bakasang, Clampertart, Bagea, Manisan pala, Kenari, Kacang Goyang,  Krepek Talas, dan lainnya. Untuk mendapatkan kuliner itu  anda bisa beli di tempat oleh-oleh di sepanjang jalan Tikala, di Wanea atau di supermarket.

Salam Kuliner Kompasiana.

Nyanyian Ombak dan Karang


kembali aku berdiri di atas dermaga
pada senja itu perahu-perahu mulai menderu
kembali mesin dihidupkan untuk berlayar
pada ombak dan karang, yang diarungi

kutatap cakrawala memerah pada garis bumi
di antara langit dan laut terbentang kisah
kutatap desah yang tak kesampaian saat lengah
pada lelah perjalanan mengisi ruang batin

“adinda, naiklah perahu itu dan jangan risi
pada ombak dan karang yang menghadang
adinda, pada layar putih perahu yang membentang
ada asa yang menjala rembulan sunyi”

aku dan adinda adalah nyanyian ombak dan karang
merdu terdengar di antara jejak perahu
aku dan dan adinda adalah nyanyian ombak dan karang
yang setiap pagi terdengar lewat jendela hati

“adinda, naiklah perahu itu dan jangan risi
pada jejak perahunya yang tergulung ombak
karena aku tahu hatimu tulus dan suci
melantunkan nyanyian ombak dan karang kita”

aku masih berdiri di atas demaga sendiri
mengumpulkan sunyi buat adinda agar esok tetap ada
lagu yang adinda nyanyikan itu ada di ruang batin
antara ketulusan dan kejujuran pada kasih

“selamat malam adinda”


(2011)

Ayam Pengemis Di Grand Indonesia



Kriteria kuliner yang unik. ekstrim dan sedikit aneh dijadikan pegangan untuk mengantar saya,(setelah puas berfoto dari lantai teratas Grand Indonesia), ke “Chicken Master” di salah satu restoran di Mall Grand Indonesia. Kata teman saya, “kita pesan ayam pengemis saja, belum pernah mencicipi kan?” Kembali saya mengangguk-angguk kepala. Kami berlima lalu memesan satu porsi “the beggar’s chicken”, (nama populernya dari ayam pengemis), serta makanan lainnya.

Kata teman saya, dinamakan ayam pengemis karena dulu di daerah Hangzhou, Cina ada seorang pengemis yang karena laparnya mencuri ayam milik penduduk kampung. Bagi pengemis, ternyata tidak mudah membawa ayam curiannya yang berkotek-kotek. Karena itu, diambilnya daun teratai untuk membungkus ayam itu sekalian dibalut dengan lumpurnya. Dengan cara demikian, pengemis itu tidak ketahuan mencuri ayam. Keesokan harinya, terdorong oleh rasa lapar, ayam yang dibalut dengan daun teratai dan lumpur kemudian dibakar dan menimbulkan aroma sedap sampai ke hidung Kaisar yang sedang lewat dan lapar. Kaisar itu kemudian memerintahkan kepada prajuritnya untuk mencari asal usul aroma sedap itu. Tak lama kemudian, ayam pengemis itu dsantap oleh Kaisar dan pengemis tadi akhirnya hidup bahagia di Istina berkat “beggar’s chicken”.

Cerita teman saya itu semakin menambah semangat saya untuk segara menyantap ayam pengemis yang sudah ada di meja makan. Kami tidak bisa langsung menyantapnya. Tanah liat pembungkus Ayam pengemis itu harus dipecahkan dulu. Kemudian, terlihat ayam terbungkus dengan kertas alumunium. Lalu pembungkus kertas alumunium dibuka, ternyata masih dibungkus lagi dengan daun (daun teratai?) dan kemudian daun pembungkusnya dibuka. Kalau sudah demikian, siap untuk disantap. Rasanya, yummy, dan olahan ayamnya harum. Tulangnyanya pun lunak seperti ayam presto tapi basah.


Setelah itu, teman saya mengajak saya jalan-jalan ke Mall dan istirahat sejenak untuk minum kopi di hotel Indonesia. Saya sempat melihat foto-foto sejarah ketika Presiden Soekarno meresmikan dan menerima tamu asing yang datang ke Hotel Indonesia diantar dengan becak. Sungguh sangat historis sekali suasananya.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman SMA saya, Bapak Koentjoro dan istri serta Bapak Benny dan Istri yang sudah menemani saya hingga hati init terasa sangat puas melihat indahnya kota Jakarta di waktu malam beserta ekstrimnya kuliner. Tentu saja, rasa puas saya ini akan menambah kenyamanan saya dalam penerbangan saya ke Manado pada esok harinya.

Tulisan ini dimuat di Lifestyle, Kompasiana

Gemerlap Malam Kota Jakarta



Terus terang sejak saya bergabung di Kompasiana, kalau saya ditawari “mau makan apa, dan di mana” maka pikiran saya langsung mengarah pada wisata kuliner yang sekaligus bisa jalan-jalan. Tentu saja yang saya inginkan adalah tempat kuliner yang unik, ekstrim dan populer. Karena itu saya berharap setelah berwisata kuliner dan jalan-jalan, saya  bisa berbagi cerita dan pengalaman kepada anda.

Percakapan soal kuliner itu terjadi di mobil dalam perjalanan menuju ke Grand Indonesia (GI), tempat di mana teman saya bekerja. Malam itu, saya diajak oleh teman saya ke GI. Bagi saya, masuk ke gedung GI merupakan yang pertama kali. Bahkan, saya baru tahu kalau dalam gedung Grand Indonesia ini terdapat Perkantoran, Apartemen, Hotel Indonesia, dan Mall.

Suasana jalan menuju ke Grand Indonesia pada Sabtu malam itu, diwarnai dengan kemacetan. Kami sedikit berjuang dan sabar untuk masuk ke tempat parkir di P7 Grand Indonesia. Setelah memarkirkan kendaraan, teman saya bertanya. “Jadi mau lihat kota Jakarta di waktu malam? Ada tempat yang bagus untuk menonton kota Jakarta di waktu malam. Sangat eksotik dan indah untuk difoto.” ujar teman saya membuat hati saya tergoda. Bak orang asing, saya hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda ikut saja.

Didampingi oleh Satpam, kami masuk lift menuju ke lanai 37. Lalu pindah lift lain, menuju ke lantai 56. Setelah sampai di lantai 56, kami diarahkan ke teras luar. Ketka posisi sudah sampai di teras luar, seketika saya berdecak kagum melihat indahnya kota Jakarta di waktu malam. Panorama alam Jakarta di waktu malam sungguh mengagumkan. Gedung pencakar lagit, hunian urban dengan lampu-lampunya serta lalu lintas kota yang ramai makin mempesonakan Jakarta di waktu malam hari. Suasana ini seakan menghapus bayangan penat akibat kemacetan kota di siang hari dan riuhnya isu korupsi akhir-akhir ini.


Berdiri di teras luar pada lantai 56 di gedung Grand Indonesia memang suatu anugerah tersendiri bagi saya. Tidak semua orang bisa mendapat akses ke lokasi itu. Berkat teman, saya bisa menikmati pemandangan panorama alam kota Jakarta yang indah. Keberuntungan saya ini kemudian saya abadikan lewat kamera yang sejak tadi saya bawa. Ini kesempatan yang sangat langka untuk belajar “night shoot” pada fotografi.

Malam itu, banyak frame saya ambil untuk Night Shoot dari atas gedung Grand Indonesia. Sepanjang saya masih bisa berdiri di atas gedung itu, saya bidikan kamera saya ke bawah mulai dari Bunderan HI. lalu lintas jalan Thamrin hingga memutar sampai ke gedung-gedung di sebelah GI. Dalam pengambilan foto itu, saya memang harus ekstra hati-hati memegang kamera saya karena angin begitu kuat menerpa seluruh tubuh saya. Sebaiknya memang menggunakan jaket. Tetapi malam itu, karena keinginan saya untuk memotret lebih kuat dibarengi dengan kesempatan yang langka, maka saya tetap nekat memotret indahnya panorama lama Jakarta d iwaktu malam.

Setelah selesai memotret saya lalu menuju ke kantor teman saya di lantai 32. Dalam pembicaraan saya baru tahu bahwa, fotografer dari National Geoprahic, pernah mengadakan pemotretan di lantai atas itu. Bahkan saya mendapat kabar bahwa lokasi di lantai 56 tadi rencananya akan dibuat restoran untuk umum. Sekarang dalam proses pembuatan sekaligus sedang konsultasi tentang bagaimana mengatasi kencangya angin. Lalu saya bisa membayangkan jika seandainya restoran itu sudah jadi, pasti banyak orang akan datang untuk menikmati panorama alam Jakarta di waktu malam. 

Tulisan ini dimuat di Lifestyle, Kompasiana

“Human Touch” Alih Bahasa Para Jurnalis


Suatu ketika saya diajak oleh teman saya, seorang wartawan senior sebuah Koran cetak terkenal di Indonesia, ke kantor seorang narasumber. Sebenarnya saya tidak diperkenan untuk ikut masuk ke ruang kerjanya. Akan tetapi, entah bagaimana caranya, akhirnya saya disuruh masuk ke ruang kerjanya.

Di ruang kerjanya yang rapih, ber-AC dan di dindingnya terpajang foto-foto pejabat dan para tokoh nomer satu di Indonesia, terjadilah pembicaraan serius namun santai. Sebelumnya, kami ditawari minum panas atau dingin. Saya pilih kopi hitam sedangkan teman saya air putih. Meski hanya disuguhi minuman, tapi saya merasa betapa indahnya keramah-tamahan di ruang kerja nara sumber itu.

“Jadi, apa yang mesti saya tulis?” tanya teman saya kepada narasumber, orang nomer satu di Propinsi. Pertanyaan itu tidak langsung ditanggapi. Tampak beliau sedang berfikir sejenak, sambil meluruskan kedua kakinya dengan santai, “Yang jelas cerita dimulai sebelum adanya Densus. Sejak terjadinya bom di tempat ibadat, hotel hingga Bali.” ujar narasumber dengan senyuman tipisnya hingga tampak gagah dan berwibawa.

Saya melihat teman saya begitu serius mencatat apa yang dikatakan oleh narasumber. Tanpa alat perekam, ia kemudian menyampaikan banyak pertanyaan kepada narasumber seperti koboi memuntahkan pelurunya kepada musuh-musuh yang mengincar dirinya. Suasana hangat seperti itu makin menarik rasanya untuk diikuti.  Saya pun ikut menikmatinya dan sekali-kali berbicara dalam hati, “Di hadapan siapapun, tanpa pandang bulu seorang wartawan bisa mengendalikan suasana”.

Setelah banyak informasi didapat, serta mendapat nomer kontak untuk melengkapi tulisan, tiba-tiba teman saya mempersoalkan gaya penulisan yang akan digunakan dalam buku nanti. “Saya sudah baca buku tentang Densus dan terorisme di Indonesia. Gaya bahasanya sangat teknis dan teoritis. Bisa jadi, pembaca tidak begitu nyaman dalam membaca buku itu. Sangat teknis dan kaku rasanya,” ungkap teman saya.

Komentar teman saya rupanya dirasakan juga oleh beliau. “Sebenarnya, sebuah buku atau berita itu diterbitkan untuk dibaca oleh sebanyak-banyaknya orang. Buku bukan untuk “euforia” masa lalu, melainkan dengan mendapatkan informasi dari buku itu, pembaca bisa ikut merasakan bagaimana beratnya membela dan mengamankan negara. Di lain pihak,ranah edukasi buku itu jelas-jelas ikut mendewasakan pembaca” ujar beliau dalam tutur suara yang ringan enak didengar.

Barangkali karena jam terbangnya sebagai wartawan senior koran terkemuka, teman saya tadi lalu meminta peneguhan kepada nara sumber agar buku yang nanti dia tulis akan menggunakan gaya penulisan “human touch”. Untuk memperjelas arti itu, lalu teman saya memberikan ilustrasi dengan bertanya kepada narasumber dan kemudian dijawab oleh narasumber.

“Istri dan anak-anak saya diancam dan diteror siang malam oleh seorang tak dikenal lewat hape dan telpon rumah.  Ini gara-gara saya telah menangkap gebong teroris itu. Saya saat itu merasakan bahwa ternyata di lapangan mencengkam, di rumah pun juga ikut mencengkam hingga semua penghuni rumah menjadi trauma” ujar narasumber. Fakta-fakta seperti inilah yang nanti ia ramu dalam gaya penulisan “human touch”.

Jadi, semakin dipahami bahwa gaya penulisan yang mengandung unsur-unsur kemanusiaan atau sentuhan manusiawinya dalam sebauah tulisan yang diturunkan, dan kemudian karena itu mampu menggugah emosi, menghibur bahkan menimbul kan empati pembaca,  itulah gaya penulisan human touch.

Contohnya, wartawan tidak hanya menaikan tulisan soal persidangan kasus korupsi Wisma Atlet Palembang dengan tersangka Angie, tetapi juga meramu berita faktualnya itu dengan reaksi emosional anak-anak tiri Anggie. Dengan menurunkan berita ini pembaca bisa jadi cuek atau justru empati terhadap masa depan anak-anak tiri Anggie.

Saya merasa, alih bahasa tidak sekedar mentrasfer informasi faktual yang didapatnya dalam sebuah tulisan repotase atau lainnya. Bukan sekedar membahasakan informasi faktual itu dengan gayanya bahasanya sendiri, melainkan bagaimana tulisan beritanya ia ramu sedemikian rupa hingga pembaca semakin tertarik karena ditulis dengan menarik dan memikat meski sebenarnya beritanya biasa-biasa saja.

Untuk makin paham dengan “human touch” ini, saya persilahkan menganalisa setiap tulisan kompasianer yang diposting. Apakah anda merasa “gerah” dengan tutur kata kompasianer yang gayanya menggurui? Atau “curcol” saja? Atau emosi anda tergugah gara-gara tulisannya yang memikat? Silahkan anda jawab sendiri sebelum anda menilai tulisan kompasianer itu aktual, inspiratif, menarik, bermanfaat atau anda justru merasa jengkel  setelah membaca tulisan yang terrekomendasi ?

Silahkan anda jawab sendiri. Salam Kompasiana!


Berita Foto Atau Tulisan Baru Berfoto?


“Mari berbicara lewat foto” begitu kalimat awal Ajie Nugroho, memberikan info tentang hadirnya group baru FB yang diberi nama KAMPRETS (kompasianer hobi jepret). Saat saya menulis ini, anggota Kamprets sudah mencapai 137 orang, dan 360 foto yang diupload, serta 7 docs dilampirkan.

Saya harus mengakui, bahwa Kamprets telah mengubah kebiasaan saya dalam ber- FB. Kalau dulu saya suka langsung melihat status update, tetapi sekarang, saya suka membuka Kamprets. Mungkin, sharing dan koneksi antar anggota di group ini telah memikat hati saya. Tak sekedar itu saja, tulisan kompasianer yang di share di group ini, juga membuat saya tergerak untuk membacanya. Demikian juga foto-foto yang diupload di group ini.

Mengapa ini saya sampaikan? Atau mengapa hal itu menarik hati dan pikiran saya? Sebenarnya saya hanya tertarik dengan kalimat ini saja, “Mari berbicara lewat foto”.  Bagi saya kalimat itu lebih sarat makna dan arti daripada saya mengatakan “Biarkan foto berbicara sendiri”.  Munculnya perbandingan dua kalimat ini, mungkin karena selama ini saya lebih suka pada postingan yang ada fotonya daripada sama sekali tidak ada foto yang dilampirkan.

Dalam konteks repotase, tulisan tanpa foto itu rasanya hambar. Seperti sayuran tanpa garam. Bahkan, saya yakin seorang jurnalis warga tidak asal jepret obyek yang dirasa menarik atau memancing perhatiannya. Namun, ia akan memegang prinsip yang dibenamkan dalam mindset-nya yaitu pesan apa yang mau disampaikan dalam foto ini. Adakah relevansi antara foto dan pembaca? Demikian juga jika tulisannya dilampirkan foto.

Terus terang, ketika ada tulisan terbaru di tampilkan di Kompasiana, saya lebih tertarik melihat foto lebih dulu daripada tulisannya. Mengapa? Karena saya ingin melihat relevansi atau hubungan sebab akibat antara yang ditulis dengan foto yang ditampilkan. Jika diketahui tersambung dengan baik, tulisan seorang Kompasianer saya anggap berbobot. Meski demikian, saya sering terperangah oleh foto yang dilampirkan hanya karena dia suka atau hobi jepret. Cuma ilustrasi yang dipamerkan dalam tulisan.

Memang benar bahwa foto dalam tulisan yang diposting, tak jarang admin berusaha mengisi dengan foto yang relevan sama tulisan dan ini biasanya untuk keperluan HL. Kalau tidak HL, ngapain dikasih foto oleh admin. Bukankah begitu bung admin?

“Setiap tahun, Kompasiana berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk para penggunanya. Mulai dari penambahan fitur, perbaikan tampilan sampai peningkatan kinerja” demikian kata admin dalam mempublikasikan tampilan baru Kompasiana. Silahkan dicek di link ini Sambutlah Tampilan Baru Kompasiana 2012.

Apakah dengan alasan memberikan pelayanan terbaik bagi para penggunanya, kolom “Berita Foto” dimunculkan kembali? Apakah ada alasan yang tak terkatakan? Saya tidak tahu tetapi saya mencoba menebak dalam kapasitas saya sebagai kompasianer yang suka memposting tulisan berfoto.

Dewasa ini, jurnalis warga (Citizen Journalism) makin berkembang di level jejaring sosial karena memiliki kekuatan yang dahsyat dalam sharing dan koneksi antar warga. Kehadirannya makin berkelas ketika terhubung dengan jejaring sosial yang lain. Tak hanya itu, Kompasiana menempatkan diri sebagai media sosial yang banyak diakses oleh siapapun. Bahkan, sekarang televisi pun ikut-ikutan  menayangkan video-video hasil liputan warga. Ini sebuah perkembangan journalism yang signifikan.

Karena itu, apakah anda senang dengan kehadiran “Berita Foto” di lembar Kompasiana? Namun, sebelum anda mengungkapkan perasaan, silahkan anda coba klik dahulu salah satu judul di bawah foto yang nge-flash itu. Jika anda  sudah meng-klik, lembar kompasiana hilang dan berubah menjadi Kompas Citizen Image. Jadi, admin dengan sengaja menggiring anda ke tautan itu. Menggiring anda untuk ikut berpartisipasi bukan hanya Citizen Jurnalism saja tetapi Citizen Image.

Saya dulu pernah sedikit aktif mengirim foto-foto bernuansa kejadian atau peristiwa ke Kompas Citizen Image. Berharap foto saya dilihat oleh banyak orang supaya mereka tahu bahwa di Indonesia Timur sana sedang ada gejolak atau bencana alam. Asa saya ini belum sepenuhnya memuaskan hati. Foto yang saya kirim tak pernah mendapat tanggapan dari “pembaca” dan berapa jumlah yang melihat foto juga tak terdeteksi dengan jelas.  Bahkan tak ada HL untuk berita foto ini. Juga tak ada lomba untuk kehadiran foto ini. Akibatnya saya segan mengirim foto ke Kompas Citizen Image, kecuali ada foto peristiwa yang sangat langka dan tidak ada duanya di Indonesia atau dunia.

Kebosanan saya mengirim foto ke Kompas Citizen Image (yang sekarang terpampang dengan nama Berita Foto Kompasiana), janganlah di tiru. Biarkan asa saya didengar saja, bukan lalu membuat anda jadi malas berbagi foto berita. Meski masih ada tempat indah buat foto anda dalam setiap tulisan yang anda posting dan nyatanya langsung terbaca oleh siapa pun. 

Sebagai penggemar/hobi jepret dan salah satu member Kamprets, rasanya Berita Foto sebagai bentuk lain dari jurnalis warga, akan berkembang di kemudian hari. Betapa tidak. Saya amati, ada fenomena baru dalam Facebook. Yaitu, pergeseran minat facebooker, dari orang yang narsis ke fotonya yang narsis dan suka diupload di FB, meski bukan foto dirinya sendiri. Maksudnya, penggemar fotografi dewasa ini meningkat signifikan seiring dengan kecanggihan resolusi kamera di handphone, digital camera, dslr, laptop, tablet dll. Munculnya kelompok fotografer di mana-mana, salah satunya karena fotografi ternyata banyak manfaatnya di dunia jurnalism warga.

Jadi, anda lebih suka memposting berita foto atau tulisan berfoto? Tanpa menunggu jawaban anda, kesukaan anda akan terlihat dengan jelas pada tampilan Kompasiana terbaru (versi 2012) ini.

Salam Kompasiana.

About


In Finem Omnia, dari bahasa Latin, yang artinya, "semuanya mempunyai tujuan akhir". Secara bebas In Finem Omnia maksudnya adalah semua perbuatan atau kegiatan selalu mengarah pada satu tujuan.

Soal tujuan yang dimaksudkan di sini. bisa dimengerti sebagai tujuan hidup kita yang sebenarnya.

Quo vadis? atau mau dibawa kemana? Qua vadis, sebuah pertanyaan yang kerap muncul ketika terjadi situasi kondisi carut marut sudah dirasakan oleh banyak orang. Misalnya, fenomena politik, korupsi dan kemiskinan yang nota bene adalah tidak menyejahterakan rakyat justru makin terpuruk dalam stigmata kemiskinan. Karena itu, mau dibawa kemanakah negara ini? Quo vadis Indonesia?

Age Quod Agis, ungkapan bahasa Latin ini, mempunyai arti, "lalukanlah apa yang harus dilakukan". Tentu, artinya bukan asal mengerjakan. Namun, dua kalimat latin terdahulu, bisa menjadi acuan untuk mengambil sikap melakukan sesuatu karena memang harus dilakukan.

Misalnya, harus bangun pagi karena ada tugas dari kantor. Atau menulis reportase, tentang kenaikan harga bbm dan dampak kenaikan terhadap kehidupan masyarakat.

Tulisan-tulisan saya saya kumpulkan di blog ini, silahkan dianalisa dengan menggunakan ungkapan bahasa Latin itu.

Saya harap dengan membaca blog ini, waktu luang anda makin indah karena ada gunanya juga. Salam menulis.

Rabu, 7 Maret 2012



Pondok Kemiri, di lereng Gunung Mahawu
Tomohon, Sulawesi Utara