Berebut Lulus UN

Detik-detik menjelang UN telah beredar kunci jawaban soal UN yang disebarkan secara berjemaah lewat SMS dan diterima oleh siswa peserta ujian...

Pesona Pulau Pasir Putih Lihaga

“Pak Rory, berapa sewa kapal ke Lihaga?” tanya saya seusai foto-foto. “Enam ratusan ribu. Tergantung juga permintaan..

Puisi: Jejak Kehidupan

“Setiap perjalanan adalah langkah. Setiap langkah adalah jejak. Dan jejakku menuju ke kabut”.

Age Quod Agis

Age Quod Agis, ungkapan bahasa Latin ini, mempunyai arti, "lalukanlah apa yang harus dilakukan". Tentu, artinya bukan asal mengerjakan..

Menangkap Garis Mitos Gunung Lokon

Mitos Opo Lokon dipercaya oleh masyarakat karena telah menyelamatkan dari setiap kali Gunung Lokon meletus atau sering disebut “ba sembur” atau “polote”.

Lagi-lagi, Lokon Meletus



Selasa, 1 Mei 2012, pukul 12.00 wita, Gunung Lokon meletus lagi. Tanda letusan dimulai dari bunyi dentuman yang menggelegar sebanyak dua kali lebih.

Mendengar suara letusan itu, saya pun bergegas keluar sambil menenteng kamera. Setelah berlarian menuju tempat strategis di Bukit Doa, saya pun mengarahkan kamera saya untuk tak mau ketinggalan momen letusan Lokon kali ini.

Sementara saya mengambil foto, beberapa pengunjung Bukit Doa berlarian mendekat ke tempat saya berdiri untuk ikut menyaksikan gumpalan hitam mirip brokoli yang keluar dari lubang kawah Tompaluan. Melihat arah gumpalan itu, orang di sebelah saya berkomentar, “Kayaknya debu akan turun ke Kinilow. Wah bisa jadi, warga Kinilow senang kalau disuruh mengungsi. Soalnya mendapat perhatian yang memuaskan dari pemkot”.

Awan gumpalan letusan Gunung Lokon, tak begitu ketara karena awan menutupi pergerakkan abu vulkanik. Kali ini debu vulkanik itu tampak membumbung hingga mencapai lebih dari 500 meter menembus awan abu-abu. Diperkirakan hujan abu jatuh ke arah Barat melewati desa Warembungan dan sekitarnya.

Dari tempat saya mengambil foto, terdengar suara sirene meraung-raung menembus keramaian desa Kakaskasen. Pengumuman agar masyarakat diharapkan waspada terhadap dampak abu letusan juga terdengar samar-samar lewat pengeras suara.

Suara Marching Band yang sejak tadi pagi berlatih untuk pawai Pendidikan memperingati Hardiknas esok hari, sempat terhenti setelah mengetahui Gunung Lokon meletus. Aktivitas sekolah di SMA Lokon yang jaraknya kurang dari 5 km pun terhenti sesaat karena guru, pegawai dan siswa berhamburan keluar kelas untuk menonton.



Saat saya membuat tulisan ini, belum ada informasi dan konfirmasi resmi dari pihak PVMBG dan BNPB dari kota Tomohon. Namun sejauh mata memandang dari tempat saya yang tinggi, desa di kaki Gunung Lokon aman dari lahar panas atau abu vulkanik.

Gunung Lokon memang sering meletus. Tanggap darurat bencana sudah disiapkan dengan baik. Tak hanya itu, 23 titik lokasi pengungsian konon sudah disiapkan bila sewaktu-waktu Lokon meletus lagi.  Yang diperlukan hanyalah kesigapan dan kesiagaan petugas. Apalagi, beberapa hari lalu utusan dari PBB secara khusus datang untuk ikut memonitor Gunung Lokon dan tanggap darurat yang dikelola oleh Pemkot Tomohon.

Foto BW Pendidikan Nasional

 Entah mengapa. Setiap kali teman-teman Kamprets berbicara tantangan foto BW (Hitam Putih), pikiran saya selalu tertuju pada pendidikan di Indonesia. Apakah karena menjelang peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei nanti (dua hari lagi)? Atau karena perasaan saya saja yang ingin mengatakan bahwa bukan hanya foto yang BW tetapi dunia pendidikan kita pun juga ada BW-nya?

Yang jelas aroma Hardiknas sudah terasa di sekitar saya. Jumat dan Sabtu kemarin saya diminta untuk mengisi session “Character Building” bagi 112 siswa kelas X, Angkatan 10th, SMA Lokon berasrama. Dalam dua hari itu, saya disuruh untuk membentuk karakter para remaja itu dengan sebaik-baiknya. “Pokoknya terima beres”, kata salah satu guru BK sekolah itu.

Bukan tanpa alasan kalau sekolah menunjuk saya untuk “mengisi” kegiatan Character Building. Mulai dari angkatan 5 hingga angkatan 9, saya bersama tim selalu mendampingi dalam setiap kegiatan outbound dari pagi hingga sore. Seakarang mereka minta untuk dua hari. Siang, sore dan malam harus ada kegiatan yang berfokus pada pembentukan karakter.

Ketika sedang menjamu guru BK dan Wakasek Bidang Kesiswaan itu, tedengar dari kejauhan suara marching band yang sedang latihan. “Nah, suara marching band itu menjadi tanda bahwa Hardiknas makin dekat. Biasa, setiap Hardiknas ada pawai pendidikan. Siap-siap marching band, drum band, musik bambu, kolintang dan tarian tradisional dari setiap sekolah, ikut pawai” kata pak Tommy,  Wakasek Bidang Kesiswaan, saat ketemu dengan saya untuk acara Character Building.

Apakah kegiatan Character Building ini juga dalam rangka untuk memperingati Hardiknas? Yang jelas memang dari segi waktu berdekatan dengan Hardiknas, 2 Mei.  Setelah mereka pulang, lalu saya mulai berpikir tentang materi pembentukan karakter bagi 112 siswa sekolah berasrama itu.

Kemudian saya ingat ada seorang dosen filsafat yang mengatakan bahwa “Hidup yang berhasil itu berbeda dengan hidup yang bermakna. Lazimnya keberhasilan seorang diukur dari apa yang dicapai dan diperoleh. Sedangkan seseorang hidupnya bermakna terletak pada kemampuannya untuk memberi. Jadi, seorang guru yang sejati adalah seorang pribadi yang ingin memberikan dirinya agar hidup orang lain (siswa) menjadi bermakna”.

Tak jauh dari arti itu, pepatah dalam bahasa Latin menyebutnya, “Non scholae sed vitae discimus” (saya belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup). Karena itu, pemaknaan tentang pendidikan tak hanya untuk meraih prestasi setinggi mungkin di bidang akademis, (termasuk lulus UN 100%) tetapi aspek budi pekerti, etika moral, spiritual dan fisik termasuk dalam ranah intelgensia yang penting untuk pembentukan kepribadian siswa.



“Pendidikan memang harus diprioritaskan oleh negara. Saat ini yang dibutuhkan adalah revitalisasi persekolahan dan pendidikan secara umun untuk kembali pada tujuannya.  Karena itu, ada tiga syarat agar negara ini bisa maju. Yang pertama, pendidikan. Yang kedua, pendidikan dan yang  ketiga pendidikan.” kata Om Ronald, owner sekolah berasrama. “Mengapa pendidikan? Karena esensi dari pendidikan itu adalah pembentukan anak cucu bangsa yang utuh dan berkualitas serta takut akan Tuhan. Kalau pendidikannya saja tidak berkualitas, mana bisa membentuk manusia secara utuh dan berkualitas sebagai penerus bangsa ini?” lanjutnya dengan nada sedkit menggerutu terhadap sikon pendidikan di Indonesia dewasa ini.

Referensi itu, lalu saya jadikan bahan dasar untuk membuat materi pembentukan karakter selama dua hari itu. Hari pertama peserta yang terbagi dalam 10 kelompok, saya ajak untuk mengikuti Mahawu Jungle Trekking di hutan kaki Gunung Mahawu. Dalam trekking itu, setiap kelompok harus melalui 10 pos dan di setiap pos setiap kelompok mengerjakan tugas seperti asah otak, jembatan manusia, kapal pecah, estafet balon, menara air dll.

Dalam kegiatan itu, metode learning by doing atau sering disebut juga Experiential Learning kami pakai karena dengan cara itu, peserta bisa belajar banyak hal seperti leadership, kekompakan, team work, kecepatan memecahkan masalah, kepedulian, kebersamaan, motivasi, kreativitas, bela rasa dll. Sejauh pengamatan saya, saat mereka mendapatkan tugas di pos, setiap kelompok bisa menunjukkan sebagai team work dan leadership yang bagus.

Sebelum makan malam, diadakan pengayaan dan refleksi atas kegiatan trekking, di ruang meeting. Tema “Global Warming” dipilih terkait dengan kegiatan pengalaman perjalanan mereka di hutan. Kemudian benang berah trekking dan global warming diolah dan diekspresikan pada sebuah lukisan di atas karton Manila yang sesudah makan malam dipresentasikan. Monitoring pembentukan karakter dilakukan dengan cara menayangkan lewat proyektor foto-foto kegiatan mereka tadi.

Hari kedua , kegiatan berfokusn pada pembentukan karakter berbasis angkatan, bukan kelompok-kelompok lagi. Di Amphiteater terbuka, semua kegiatan seperti oposite, Pedang Samurai, Maju Mundur, Bangun bersama, Komunikasi, Folding Carpet, Labirin, dll dilaksanakan hingga sore hari.

Malam harinya kami adakan api unggun untuk menilai Yel-yel terbaik dan pementasan setiap kelompok. Hadiah bagi yang terbaik sudah kami siapkan dan kami beritahu sejak awal untuk memotivasi mereka bahwa fun games itu sebuah permainan namun tidak main-main.  Sebelum api unggun, dikumpulkan di ruang meeting untuk merefleksikan melalui foto-foto kegiatan pagi hingga sore hari. Sesudah itu, saya mengajak mereka untuk bergandengan sambil menyanyikan lagu-lagu kebersamaan.

Proses pembentukan karakter itu tidak semudah membalik tangan. Menjadi sebuah tantangan besar ketika saya mengetahui bahwa asal-usul siswa berasal dari Timika, Kaimana, Jayapura, Manado, Maluku, Makasar, Palu, Kotamobagu, Bitung, Sangir Talaud, Jawa, Kalimantan. Dalam pluralitas itulah pembentukan karakter harus dijalankan agar mereka paham bahwa untuk menjadi seorang pemimpin mereka harus bisa memimpin dirinya sendiri kendati keanekaragaman budaya, ekonomi,  bahasa, watak itu berbeda-beda.

Saya pun terpaksa dengan nada marah menggertak siswa-siswa yang berbicara sendiri ketika temannya sedang mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Masuk melalui telinga kiri keluar dari telinga kanan, dan tidak peduli serta kurang berpatisipasi terhadap setiap kegiatan, sudah saya pikirkan sejak awal seiring dengan perkembangan keremajaan mereka yang masih labil dan emosional.

Cerita pendidikan ini rasanya tak sesuai bagi mereka yang karena miskin lalu tidak bisa bersekolah. Miris memang jika mendengar bahwa sekolah itu mahal, sementara jumlah orang miskin makin bertambah seiring dengan minimnya lapangan pekerjaan.  Kendati ada istilah arisan pendidikan, namun toh bukan solusi instan. Lebih ironis, apabila diketahui, subsidi pendidikan yang seharusnya untuk memajukan pendidikan dan memberikan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu, ujung-ujungnya dikorupsi. Hati siapa yang tak galau ketika tersiar kabar dana BOS dipakai untuk plesiran ke luar negeri oleh segelintir wakil rakyat? (trilokon)

“Hujan Pece”, Sesudah Letusan Gunung Lokon Siang ini




Siang tadi sekitar pukul 11.25 wita, kembali letusan Gunung Lokon menggetarkan kaca-kaca di kantor. Saat itu saya sedang mengetik bahan untuk acara Character Building siswa SMA. Begitu mendengar suara dentuman keras dua kali dan derik getaran kaca, saya dan teman-teman langsung ke luar kantor dan mencari tempat untuk melihat abu vulkanik yang dikeluarkan dari kawah Tompaluan Gunung Lokon.

Tapi semua kecewa. Semburan awan hitam pekat ke udara tak kelihatan dalam jarak mata memandang. Awan tebal sudah menyelimuti lebih dahulu. Tak hanya itu, posisi halaman kantor yang berada di pintu masuk Bukit Doa sebelah Selatan kurang ideal untuk “menonton” Gunung Lokon meletus. Rumah penduduk dan pepohonan menghalangi pandangan kami. Posisi ini berbeda dengan spot di atas, tempat biasa saya mengambil foto aktivitas Gunung Lokon.

Baru sekitar 10 menit kemudian tampak dari lubang kawah, abu vulkanik masih terlihat menyembur ke udara. Sementara itu tersiar kabar bahwa di daerah KInilow, yang jaraknya kurang dari 2 km dari kawah, turun hujan. Masyarakat bilang “hujang pece”, yaitu bercampurnya debu vulkanik dengan air hujan sehingga membuat halaman rumah dan atap-atapmya “becek”, atau berlumpur.

“Itu bahaya kalau kena mata” kata Pikal sepulang mengantar salah satu Ibu cleaning service yang rumahnya di Kinilow. Ibu ini pulang karena mendapat telpon dari rumah yang mengabarkan bahwa hujan abu telah menimpa atap dan halaman rumah. “Tak sedikit kendaraan yang di parkir di halaman rumah, jadi kotor terkena hujan abu” lanjut Pikal bercerita kepada kami.

Letusan siang ini, memang sudah diprediksi oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) seperti yang disampaikan oleh Pak Surono.  Sejak Senin 23/4/2012 terjadi 50 kali gempa tremor di Gunung Lokon. Dikatakan, gempa ini meliputi gempa tektonik, gempa vulkanik, gempa hembusan, dan gempa kecil lainnya. Peringatan dini sudah disampaikan oleh Badan Penanggulang Bencana Kota Tomohon lewat media cetak dan radio. Sejak Senin status Gunung Lokon Siaga sehingga masyarakat harus waspada tanpa perlu ada pengungsian.

Pasca letusan tadi belum terdengan adanya korban. Namun diperkiraan masyarakat di daerah rawan bencana selamat karena abu vulkanik “dipaksa” turun oleh hujan di daerah Kinilow yang posisinya berada di sebelah Barat dari kawah.  Akibatnya daerah Patar, Kinilow, Kakaskasen terkena dampak hujan abu.  Aktifitas berkebun pun sempat berhenti sejenak di sekitar kaki Gunung Lokon.

Saya dan teman-teman kantor berada di kaki Gunung Mahawu, yang masuk wilayah Kaskasen II, Tomohon Utara, merasa bersyukur karena tidak kena hujan abu. “Hanya yang berjarak 2,5 km yang terkena. Kita kan ada di sekitar 5 km dari kawah Gunung Lokon”, kata teman saya dengan tenangnya.

“Turunnya hujan memang melegakan hati semua pihak. Abu vulkanik yang terpancar ke udara seakan tertahan oleh hujan. Kendati demikian pengguna ruas jalan Tomohon ke Manado harus ekstra hati-hati di sekitar Kinilow.” demikian himbauan disampaikan oleh pihak keamanan. Pengumuman ini sekaligus mengantispasi kepanikan masyatakat yang berhamburan keluar rumah. Masker sudah disiapkan oleh pemerintah untuk mencegah terjadi penyakit sesak napas akibat dari letusan itu.

Saat tulisan ini saya buat, cuaca di sebagian kota Tomohon diliputi mendung dan habis turun hujan. Saya sempat menengok lubang kawah dari bukit di sekitar saya dan tampak hanya asap putih keluar dari lubang. Itu tandanya sudah normal kembali.

Pesona, Pulau Pasir Putih Lihaga




Deru mesin diesel minibus warna Silver, berkapasitas 12 orang, berubah menjadi musik sepanjang perjalanan wisata kami ke Pulau Lihaga. Kami berangkat dari Moyaporong, salah satu spot wisata religi bagian dari Bukit Doa di Tomohon sekitar pukul 9 pagi sehabis sarapan. 

Melihat birunya langit, saya dan rombongan yang berjumlah 10 orang tak langsung mengarah ke pulau tapi menuju ke Selatan untuk singgah ke Danau Linow, Lahendong. Tak kurang dari 20 menit menikmati danau vulkanik biru bergradasi hijau putih, kami kemudian bergerak ke pulau Lihaga.
Ke pelabuhan Serei di Kecamatan Likupang, Minahasa Utara itulah rute yang akan kami tempuh. dan dalam waktu dua jam lebih beberapa menit kami tiba di tujuan. Lamanya perjalanan tak membuat kami bosan karena sepanjang perjalanan kami ngobrol.

“Pak Bambang dan Bu Ira, sudah beberapa kali ke Manado?” tanya Jeff teman saya. “Kalau saya baru pertama kali datang ke Manado. Beda dengan bu Ira. Seringkali.” Jawab Pak Bambang dan sementara saya lihat wajah Ibu Ira tersenyum sambil mengiyakan ucapan Pak Bambang.

“Pulau Lihaga itu persisnya ada di mana sih?” ganti Pak Bambang bertanya kepada kami. “Lihaga, kalau dalam peta, berada di ujung atas pulau Sulawesi yang berbentuk huruf K. Kalau disambung bisa sampai ke General Santos, Davao, Philipina. Dan sederet dengan Pulau Sangir Talaud, Talise, Bangka. Gangga, pulau terdekat dengan Lihaga.” Jawab saya ikut menjelaskan.

Ke Lihaga bisa lewat laut. Tak jarang wisatawan datang dari Bunaken dengan kapal bermesin besar agar jarak tempuhnya bisa lebih singkat. Satu jam kira-kira perjalanan dari Bunaken ke Lihaga. Dipertigaan Sukur, kami belok kekiri. Dari sini, terus saja tanpa belok ke arah TPI, pelabuhan Likupang. Setelah itu, terus menuju ke Serei.  Jalan aspal menuju ke Serei sudah mengelupas sehingga laju minibus diperlambat agar tak terlalu keras goncangannya. Setibanya di pelabuhan, kapal perahu nelayan yang telah dipesan oleh Jeff teman saya sudah menunggu kedatangan kami.

Tak lama setelah barang bawaan kami seperti nasi kuning, air mineral, kukis, dan tas-tas masuk dalam kabin, deru suara mesin kapal terdengar. Kami bawa bekal karena di pulau tidak ada orang jual. Pelan namun pasti kapal dengan dua mesin dan berkapasitas penumpang hingga 25 orang, serta beratap bergerak tinggalkan dermaga. 


Indahnya pemandangan laut menggerakkan tangan saya untuk menghidupkan kamera. Agar dapat obyek foto terbaik, saya duduk di atap kapal. Dari atap samar-sama Lihaga sudah terlihat. Teriknya matahari  terasa membakar kulit, tetapi tak menyurutkan niat saya untuk ambil foto. Tiga teman saya ikut pula naik ke atap.

“Pak Rory, berapa sewa kapal ke Lihaga?” tanya saya seusai foto-foto. “Enam ratusan ribu. Tergantung juga permintaan. Kalau ada order keliling pulau, ya nanti nego, karena banyak habiskan minyak. Nambah ongkos lagi” Jawab pak Rory, salah satu awak kapal. Dari percakapan, ternyata pak Rory sudah biasa dipesan wisatawan yang akan datang ke pulau Lihaga. Hari libur, Jumat dan Sabtu paling banyak rombongan datang wisata ke pulau yang luasnya 8 ha.

Sekitar lima belas menit kami sudah mendekati pulau. Sebelum berlabuh, kami keliling pulau itu melihat keindahan bibir pantainya yang sebagian berupa batu karang. Tak kurang dari 7 menit, kami sudah keliling pulau. “Batu karang itu untuk menahan ombak tinggi dari arah Timur karena memang langsung berhadapan dengan perairan lepas Laut Sulawesi” jelas pak Rory sambil menujuk pantai berkarang. 

Akhirnya kami berlabuh sebelah Barat pulau Lihaga. Begitu turun dari kapal, hamparan pasir putih lembut seperti “powder” sambut kedatangan kami. Airnya yang jernih langsung menggoda niat kami untuk langsung berenang atau snorkeling. 

Setelah menurunkan barang bawaan dan meletakkan di meja kayu tak jauh dari bibir pantai, saya pun melanjutkan hunting foto lanskap alam sekitar pulau. Terpesona indahnya, tak terasa saya sudah habiskan banyak frame foto. 

Saya lihat teman-teman saya berkejar-kejaran di pinggir pantai sambil berusaha saling membasahi dan mendorong hingga jatuh bergelimpangan antara pasir putih dan air laut. Sementara yang lain pun tampak berenang di tempat yang tidak dalam. Yang bawa peralatan snorkeling langsung berburu pemandangan di dasar laut. Yang lain duduk di kursi bambu menikmati alam dan ada yang jalan-jalan sepanjang pantai sambil berfoto pakai hapenya. Udara panas tak begitu dihiraukan begitu menyentuh air laut dan pasir putih pantai.
Aktifitas itu terhenti sejenak untuk makan siang bersama. Nasi kuning dan kue akhirnya mengganjal perut lapar saya. Hanya enak dan lahap, yang saya rasakan. Setelah makan, ada yang masih melanjutkan berenang sambil bersendau gurau. 

Di pulau itu sudah tersedia toilet dan ruang ganti. Satu rumah kayu ukuran kecil juga ada. Katanya kadang ada wisatawan yang menginap. Keterbatasan air bilas, membuat kesulitan bagi yang mandi setelah berenang. Tapi bagi teman-teman saya bukan halangan karena sesampai di rumah ia akan langsung mandi. Selain itu, di pulau kini ada penjaganya.  Membersihkan pulau dari sampah dan membantu kebutuhan para pengunjung, menjadi jasa mereka. Untuk jasanya ini kami memberi uang tinggalan secukupnya.

Sekitar jam tiga sore lebih saat teriknya panas matahari tak terlalu terasa lagi, kami memutuskan untuk pulang supaya sampai di Tomohon tidak terlalu malam. Dalam perjalanan pulang, keindahan pulau Lihaga menjadi sentral percakapan kami. 

“Jika dikelola dengan baik dan ditambah dengan fasilitas wisata seperti penginapan, restoran dan perlengkapan wisata bahari seperti jet sky, diving, dan snorkeling. Pasti banyak yang suka datang.” Kata pak Bambang, konsultan pariwisata dan hotel dari Surabaya.  Pulau itu alami dan belum dikelola dengan baik. Meski demikian sudah banyak yang datang ke pulau itu untuk berbagai kegiatan seperti outing, family gathering, hunting foto dan lainnya.

Di muat di Kompasiana, HL, 21 April 2012

Berebut Lulus UN


Pelaksanaan Ujian Nasional 2012 hari ketiga berjalan aman dan terkendali di sekolah-sekolah Sulawesi Utara. Tapi, Ujian Nasional kal ini tak luput dari sorotan kritis para pakar dan pemerhati pendidikan. Yang mulai ramai dibahas adalah tentang kriteria kelulusan siswa.

“UN bukan penentu kelulusan siswa. Yang menentukan siswa itu lulus adalah sekolah yang bersangkutan ditambah hasil UN. Perbandingannya 60 persen UN dan 40 persen Sekolah” demikian komentar Marhany Pua, anggota DPD RI ketika meninjau pelaksanaan UN di SMA Lokon, hari Senin yang lalu. Dalam “sidak” itu Marhany Pua didampingi Plt. Walikota Tomohon, Jimmy F Eman SE Ak, serta para pejabat Pemkot lainnya.

Di pihak lain, Komisi III DPRD Kotamobagu, bidang pendidikan mempertanyakan KepMenDikNas No 59 tahun 2011 tentang Kriteria Kelulusan Ujian Nasional. “Porsi kelulusan itu tidak proporsional dan bias. Bisa jadi siswa yang suka mbolos, berperilaku tidak baik, bisa lulus hanya dengan mengikuti UN” ungkap Agus Supriyanto, anggota DPRD Kotamobagu. Ia justru mengusulkan agar dibalik saja. 60% Sekolah dan 40% UN. Alasannya, yang tahu persis perkembangan karakter dan intelektual siswa adalah sekolah.

“Jika proporsi 60-40 itu tetap diberlakukan, maka apa yang dikeluhkan oleh orang tua bahwa belajar tiga tahun di sekolah hanya ditentukan dalam waktu 4 hari itu memang bukan isapan jempol saja” tambah Agus S, salah satu nggota Komisi III DPRD itu.

Sementara itu, penyelenggaraan UN di hari kedua dan ketiga ini berjalan lebih lancar daripada hari pertama. Bahkan, Wakil Gubenur Sulut, Dr. Djouhari Kasnil MPd, berjanji akan memberikan penghargaan bagi siswa yang meraih nilai terbaik di UN 2012 ini. “Kalau dulu berupa bea siswa, kali ini diupayakan dalam bentuk lain”, kata Kadis Diknas Sulut, Drs Star J. Wowor Msi menegaskan soal apresiasi pemerintah terhadap siswa berpretasi dalam UN.

Janji memberikan pernghargaan kepada siswa terbaik dan pernyataan UN bukan penentu kelulusan siswa ditanggapi oleh pihak sekolah sebagai hal biasa-biiasa saja. “Sama seperti tahun lalu juga begitu. Seharusnya sekolah pun juga mendapat penghargaan jika ada siswanya yang berprestasi” kata Tommy salah satu panitia lokal UN ketika ngobrol bersama saya di saat jam istirahat.

Kami ngobrol sebenarnya untuk membicarakan acara Character Building untu kelas X, setelah usai UN ini. Tetapi obrolan saya dengan Tommy dan Christ melebar hingga sampai pada cerita tentang pelaksanaan UN.

Intinya diakui bahwa detik-detik menjelang UN telah beredar kunci jawaban soal UN yang disebarkan secara berjemaah lewat SMS dan diterima oleh siswa peserta ujian. SMS jawaban soal UN itu makin meyakinkan saya tentang cerita ditemukannya sobekan kertas di toilet yang berisi kunci jawaban di sekolah lain.

Hingga sekarang, hal itu masih misteri siapa yang menyebarkan. Ada berita bahwa polisi akan melacak oknum pengedar jawaban itu dengan bantuan provider yang dipakai untuk SMS. Kehendak baik aparat itu membuat senang hati para guru. “Masak harga kunci jawaban itu katanya dibandrol hingga 7 juta rupiah per mata pelajaran” katanya penuh emosi.

Upaya pemerintah untuk meminimalisir kecurangan yang dilakukan siswa dan mengedepankan kejujuran pengawas dan siswa, disambut positif oleh berbagai pihak. Termasuk keterlibatan polisi dalam upaya mengamankan, terutama mengawal naskah ujian hingga aman sampai di sekolah, sungguh melegakan para guru karena mengutamakan nilai-nilai kejujuran.

Ketika disinggung soal tradisi 100% lulus dengan cara lima paket soal tadi, teman saya hanya berharap semoga masih bisa mempertahankan tradisi 100% lulus.

Tercatat jumlah peserta ujian tahun ini di Sulut ada sebanyak 15.744 siswa SMA, 962 siswa MA dan 11.992 SMK. (Sumber Diknas Propinsi).

Hari Terakhir Pake Seragam!


Hari terakhir Ujian Nasional kembali diwarnai dengan banyak kicauan aneka macam rasa. Hujan yang mengguyur beberapa kali dengan deras, tidak berpengaruh sama sekali pada perasaan setiap siswa. Jejaring sosial facebook dan twitter menjadi tempat penampungan semua rasa kelegaan usai UN. Tak sedikit yang  menganggap, berakhir sudah tahap “belajar” selama tiga tahun di sekolah (juga di asrama).

Inilah kicuan siswa, “ I hate you but I miss you @smaXXXXX, Sapa mo bale ke asrama?@priscilla, Lapor, UN sudah selesai ha ha ha ha @someone, RT@twogirls: selamat kaka2 kelas 3 sudah melewati ujian, RT@guysboy: Hari terakhir pake seragam-nya @smaXXXXX. RT@ayo coret tuh seragam, no need u again. RT@smaXXX:usai sudah UN. Siap tunggu lulus. Siap jadi mahasiswa bukan siswa lagi!, Puas-puasin dulu@smaXXXXX

Dari sekian ratus kicauan mereka di twitter, yang membuat dahi berkenyit adalah sikap yang mengatakan “Hari Terakhir Pake Seragam”.  Apa maksudnya dengan kicauan ini? Apa maunya mereka? Apakah artinya sudah merasa bebas dari kekangan seragam selama tiga tahun atau di balik itu ada rasa tak mau lagi berseragam? 

Memang tidak mudah menebak pikiran dan perasaan anak-anak remaja. Spontanitas kemauannya memang luar biasa. Susah untuk dipahami apalagi dimengerti. Jiwa mudanya kadang tak berkonsep logis dan masuk akal. Hanyalah luapan dan sikap emosional yang kian menggelora di saat UN berakhir.

Kini mereka pasti tidak bilang UN itu momok dan sosok yang menakutkan. UN bukan apa-apa lagi. Hanyalah masa lalu yang mengisyaratkan bahwa berakhir sudah kegiatan belajar mengajar selama tiga tahun di bangku sekolah.

 Mencoba memahami makna yang terkandung dalam kicauan tadi, maka tak heran kalau mereka, setelah UN berakhir,  lalu ramai-ramai mengadakan konvoi keliling kota untuk melepas ketegang “sesaat” di jalan raya dengan sepeda motor yang meraung-raung. Lebih miris lagi sementara mereka berteriak-teriak di atas suara geberan sepeda motornya, baju seragam mereka sudah tak tampak lagi sebagai seragam sekolah. Waduhhhhh…!!!

Baju biru putihnya sudah dipenuhi dengan coretan grafiti aneka warna. Pilox, cat semprot, laku keras karena jadi senjata mengumbar kebiasaan coret-coret baju seragam yang terakhir dipake. Kebiasaan ini ternyata tidak mudah untuk dihilangkan atau dialihkan ke hal yang lebih positif. Kepala Sekolah dan Guru Kesiswaan tak mampu membendung kalau sudah begini.

Pernah suatu ketika, saya bersama para guru memberikan pengumuman supaya kalau sudah tidak mau memakai seragam lebih baik dikumpulkan lalu kita sumbangkan ke teman sebaya yang membutuhkan. Tentu tanpa menyertakan badge atau atribut sekolah. Setelah pengumuman itu, di setiap sudut sekolah disiapkan kotak kardus untuk mengumpulkan baju celana seragam biru putih itu.

Apa yang terjadi? Hanya dua setel yang berkenan memasukkan di kotak itu. Tak mudah untuk mengubah mindset anak remaja ke hal yang positif dan bermanfaat banyak bagi orang lain meskipun  sempat mengutarakan pengertian positif kepada para siswa seperti ini.

“Seragam sekolah dengan atributnya bisa bernilai tinggi, ketika rasa rindu dan nostalgia di SMA menyeruak tiba-tiba di perjalanan hidup. Lihat baju-baju seragam dan pakaian keseharian para tokoh atau para pahlawan hingga kini memiliki nilai historis yang tak terbatas jaman dan bercerita tentang sejarah yang mampu mempresentasikan kepada generasi berikutnya tentang sebuah perjuangan dan kebersamaan. Tak jarang pakaian itu tersimpan hingga ratusan tahun” demikian himbaun itu disampaikan di hadapan mereka yang usai UN.

“Pak kan seragam sekolah itu sudah banyak kali difoto sejak kelas satu. Banyak tuh, di simpan di Facebook. Jadi kalau kangen ya liat aja di facebook” balas salah satu siswa. Sementara yang lain pun kompak menyetujui perkataan temannya.

Kalau sudah demikian, apakah didiamkan saja? Memang terdengar berita bahwa konvoi anak-anak SMA usai UN akan dikawal oleh polisi. Tujuannya meminimalisir tindakan anarkis, kemacetan lalau lintas atau keributan yang muncul akibat berkonvoi di jalan raya. Pengawalan konvoi pelajar SMA atau SMK tidak seratus persen memecahkan masalah kebiasaan coret-coret pada seragam mereka.

Pernah diusulkan dengan membuat museum sekolah. Salah satu isi museum, memajang seragam siswa yang lulus dan dipilih siswa yang menorehkan prestasi atau mengharumkan nama baik sekolah. Untuk lebih publik, maka ada seremoni “pemuseuman” seragam itu di hadapan seluruh civitas akademica sekolah dan yayasan. Tujuannya agar bisa menjadi tradisi yang positif. Seragam siswa lain yang terkumpul bisa disalurkan oleh sekolah kepada yang membutuhkan.

Hanya sayang usul ini tak terkabul karena tidak ada lagi ruang untuk museum sekolah. Katanya, cukup koleksi medali, piala, trophy dan piagam atau pemberian cendera mata dari para tamu yang pernah berkunjung ke sekolah. Itu pun hanya dimasukkan di almari-almari supaya kalau ada tamu bisa melihat langsung capain prestasi sekolah.

Dengan demikian, boleh ditanya kepada orang tua, apakah menyekolahkan anak karena tertarik pada segudang medali, piala dan trophy prestasi sekolah yang dipamerkan di almari di ruang lobby sekolah? Atau pembelajaran terhadap etika moral siswa agar memiliki pemikiran postif adan bermanfaat bagi orang lain? 

Dimuat di Kompasiana, 19 April 2012

Setiap Sekolah Wajib Diujinasionalkan?



Suka atau tidak suka, Ujian Nasional (UN) 2012, “must go on”. Tetap harus dilaksanakan. Karena itu, pagi ini (16/4) Menteri Pendidikan Nasional  RI, Muhammad Nuh mengadakan “sidak” di SMAN 13 Jakarta untuk memantau pelaksanaan ujian nasional. Di setiap kota/kabupaten, Gubenur, Walikota, dan Bupati hari ini menghiasi headline surat kabar dan berita on line karena membuka amplop coklat soal ujian nasional dengan penuh senyum di hadapan para siswa peserta ujian nasional.

Seremoni seperti itu sama persis dengan UN tahun lalu. Biasanya dilakukan pada hari pertama Ujian Nasional.  Dan Jarang (belum pernah sama sekali) mengadakan seremoni buka amplop soal pada hari terakhir ujian. Saya tidak tahu apa alasannya. Terkait dengan itu, sidak para pejabat itu mengisyaratkan kepada masyarakat bahwa tak ada kebocoran soal dan kunci jawaban UN dan dijamin aman karena melibatkan aparat keamanan untuk mensterilkan pelaksanaan ujian yang jujur, adil dan sportif.

Tulisan saya yang berjudul, “Ributnya Kicauan Alumni Jelang UN”, mendapat komentar yang aromanya antara setuju dan tidak setuju diadakan Ujian Nasional. Teman-teman kompasianer sebagian besar mempertanyakan soal esensi dari Ujian Nasional. Apa sih tujuan UN itu? Apakah UN itu syarat untuk lulus dan mengantongi ijasah yang kemudian dipakai untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi?

UN itu digunakan untuk mengukur stadard kualitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah. Dengan diadakan UN, maka akan ketahuan sekolah itu bermutu atau tidak. UN bukan momok seperti anggapan banyak orang. Tetapi UN adalah alat ukur kemampuan belajar siswa dan mutu penyelenggaraan sekolah dalam mengetrapkan kurikulum Pendidikan Nasional.

Mencermati komentar teman-teman kompasianer itu, kesan saya, UN masih menyisakan kasak-kusuk yang tidak jelas kegunaan di masyarakat. Di pihak lain, semua murid sekolah (SD, SMP. SMA/SMK) memang harus diujinasionalkan sebelum mereka lulus atau menyelesaikan kegiatan belajarnya serta sebagai syarat utama untuk melanjutkan ke sekolah lebih tinggi. Soal proyek dan kucuran dana pendidikan juga masih dipertanyakan, karena masih tersiar kabar bahwa ada sekolah yang atapnya bocor, siswa miskin yang tidak melanjutkan sekolah karena terbentur ekonomi yang sulit, masih terlihat anak jalanan yang lebih memilih tidak sekolah, dan lainnya.

Sementara itu, ada sebuah fenomena yang menarik untuk diketahui. Suatu ketika ada seorang murid kelas XI, (kelas 2 SMA) mengajukan diri untuk keluar dari sekolah. Ketika saya tanya alasannya kenapa berhenti sekolah? Murid ini, yang langganan juara kelas saat terima rapor semester, diam saja. Namun, setelah didesak dengan alasan untuk kepentingan membuat alasan keluar, maka akhirnya ia berbicara terus terang.

Katanya, keluarganya mau pindah ke Australia. Karena itu, ia akan sekolah di negara itu. Alasan melanjutkan sekolah ke luar negeri itu, bagi saya, masih aneh. Kenapa. Dalam logika saya, sebaiknya murid ini merampungkan dulu SMAnya sehingga setelah dapat ijasah bisa mendaftarkan diri ke Universitas di luar negeri.

Ternyata pikiran saya itu salah. Teman-temannya pun memberitahukan kepada saya bahwa masuk ke Universitas di Luar Negeri bisa melalui sekolah “graduate” atau sering disebut-sebut sekolah pra universitas, semacam college begitu. Setelah melalui jenjang college ini, siswa bisa diterima di Universitas.  Kejadian siswa keluar untuk pindah ke pra Universitas, bukan untuk pertama kali saya ketahui. Ada beberapa yang menempuh cara seperti ini.

Fenomena pindahnya murid SMA ke pra Universitas, bisa saja menjadi preseden bagi siswa lain ketika orang tua memiliki persepsi bahwa tanpa ijasah SMA pun masih bisa sekolah ke perguruan tinggi seperti di Australia atau di negara tetangga Malaysia dan Singapore. Memang, anggapan itu masih terlalu mahal untuk orang biasa. Dana yang dikeluarkan untuk masuk pra universitas itu, tidak sedikit, kecuali mendapatkan bea siswa dari universitas di luar negeri.

Dalam buku The Currikulum, karangan John Franklin Bobbit, 1918, dikatakan bahwa kurikulum adalah rekayasa sosial para pakar ilmu pengetahuan dalam upayanya mempersiapkan anak-anak agar menjadi orang dewasa yang sukses dalam masyarakat. Pembentukan kedewasaan pribadi anak terjadi di luar dan di dalam sekolah yang mencakup perbuatan dan pengalamannya sehingga menjadi manusia dewasa (sumber dari Wikipedia).

Di lain pihak, para pakar pendiikan mengatakan bahwa hidup berhasil berbeda dengan hidup bermakna. Umumnya, keberhasilan diukur dari apa yang dicapai atau diperoleh. Sedangkan hidup bermakna terletak pada kemampuan seorang untuk memberi. Karena itu, pendidikan (sejatinya) membawa anak ke sekolah untuk berhasil dalam hidupnya, terlebih agar hidupnya bermakna.  Jika definisi ini dirunutkan dalam kegiatan belajar mengajar, maka sekolah bukan hanya mengejar prestasi kog nitifnya saja tetapi pendidikan karakter karakter atau watak budi yang luhur juga dikejar.

Referensi ini semakin meneguhkan pikiran saya bahwa ijasah di tingkat SMA bisa dimonerduakan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.  Untuk menjadi manusia berhasil dan bermakna bisa diraih tanpa harus melalui ijasah. Namun bukan berarti tidak perlu sekolah. Masih butuh sekolah agar siswa memiliki ketrampilan teknis untuk menopang keberhasilan hidupnya. 

Selengkapnya lihat di postingan Kompasiana, 16 April 2012

Ributnya Kicauan Alumni Jelang UN 2012


“Good luck for natinonal exam”, “Semangat, yah buat ade angkatan 8 yang mau UAN”, “Pray for you, guys”, “Mari kita doakan buat ade-ade yang UAN, besok”, “Do the best and make your school proud of you!”, “Air matamu mahal harganya, jangan buang air matamu untuk buat yang ndak guna”.

Betapa ributnya kicaun mereka di twitter jelang Ujian Nasional besok. Memang, tidak semua kicauan yang berhubungan dengan UN 2012, saya tulis di sini. Menururt pantuan saya terhadap salah satu akun twitter sekolah berasrama dan terhubung dengan SMA-SMA lainnya, mereka ramai berkicau seputar menghadapi Ujian Nasional besok seperti yang saya tulis di alinea pertama.

Yang menarik dari ributnya kicauan itu adalah kicauan para alumni. Kepedulian dan saling mendoakan dan memberi semangat kepada adik kelas begitu besar. Empati dan simpati kepada alma mater dan adik-adik kelasnya yang besok menghadapi Ujian Nasional, datang bertubi-tubi.

Seperti tak menghiraukan terhadap ramainya pendapat pro dan kontra penyelenggaraan Ujian Nasional oleh pemerintah, para alumni sepakat mendukung dalam doa dan semangat buat adik-adik kelasnya. UN 2012 sudah di depan mata. Karena itu, buatlah yang terbaik untuk alma mater. “I’m not the best but I want to do the besf for all” Begitulah, inti pesan yang mau disampaikan buat adik-adik kelas.

Sikap realitis para alumni ini membungkam segala nasehat bijak dan silang pendapat tentang perlu tidaknya Ujian Nasional. Target dukungan mereka, tentu bukan tanpa alasan. Para alumni mempunyai alasan kuat. Sejauh ini tradisi sekolah lulus 100% sudah mereka pegang. Tak heran kalau tradisi lulus seratus persen juga diharapkan kepada adik-adik kelasnya. Ini bukan masalah gengsi sekolah. Tetapi tradisi itu membuat mereka makin mencintai alma mater dan membuktikan bahwa sekolah mereka memang berkualitas dan layak disebut sekolah yang menghasilkan siswa yang bermutu juga.

Sedemikian gawat dan gentingkah Ujian Nasional kali ini? Atau mengapa para alumni turun tangan dalam memberi empati dan simpati kepada adik-adik kelasnya sedang UN? Di pihak lain, apakah kicauan para alumni justru menjadi “beban psikologis” bagi mereka yang akan dan sedang melaksanakan UN 2012?

Memang rasanya tak perlu dijawab pertanyaan itu. Mengapa? Karena itulah realita pendidikan di Indonesia. Bahwa siswa wajib mengikuti Ujian Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah hingga sekarang.  Apapun alasannya, tetap harus mengikuti ujian. Bahwa ada yang bilang UN hanyalah alat untuk mengukur standar kelulusan seoarang siswa dari setiap sekolah, tetap saja menegangkan buat yang ujian. Masak disuruh sabar kalau ujian?

Nah, jika terdapat ada yang tidak lulus UN, air mata kedukaan begitu deras mengalir bersamaan dengan sikap beberapa orang tua yang mengatakan bahwa “sekolah tiga tahun hanya ditentukan dalam empat hari”.  Sikap sinis lain juga muncul begitu terbukti ada siswa yang beli jawaban ujian nasional dari oknum tertentu dengan harga mahal. Meski ada resiko bahwa jawaban itu tidak seratus persen dapat dipertanggungjawabkan karena terbukti ada sekolah yang 100 persen siswanya tidak lulus karena beli jawaban yang salah.

Jadi, bukan hanya rasa malu yang ditanggung oleh siswa yang tidak lulus. Tetapi sekolah pun juga malu jika tidak mencapai target kelulusan sempurna. Tak dapat dipungkiri, UN menjadi “beban spikologis”  yang mempertaruhkan muka sekolah di hadapan orang tua siswa dan masyarakat. Bisa jadi, kegagalan mencapai target siswa 100% lulus menjadi bumerang yang nantinya, menurunkan “pamor” atau citra sekolah sendiri.

Oleh karena itu, doa dan dorongan semangat dari berbagai pihak buat mereka yang UN sangat diperlukan dan penting karena “beban psikologis” itu tadi. Rupanya, situasi dan kondisi itu sudah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Mengubah tradisi itu, sama halnya mencari jarum dalam tumpukan ilalang. Sangat sulit.

Semakin sulitnya menghentikan tradisi UN karena UN sudah terkait dengan “proyek”  yang tak sedikit dana penyelenggaraannya. Apalagi UN membuat sibuk Kepala Sekolah dan Polisi yang “mengamankan” soal dan kunci jawabannya. Lalu, apa mau dikata kalau kunci jawaban soal UN kemudian diketahui bocor dan diperjualbelikan oleh oknum tertentu meski sudah ada sistem keamanannya?

Kicauan para alumni terhadap para adik-adiknya akan berubah menjadi “Selamat ya, sudah jaga tradisi lulus 100%”. Soal bagaimana caranya adik-adik kelasnya mengerjakan soal-soal UN itu, apakah pakai kunci jawaban yang dibeli atau murni ia kerjakan sendiri, bukan urusannya. Yang penting, alma mater atau sekolah dibanggakan karena sudah sukses menjaga tradisi siswa lulus 100%.

Begitulah suara kicaun mereka jelang pelaksanaan Ujian Nasional 2012 menurut pantaun saya dari twitter mereka. Untuk lebih jelasnya, kita tunggu bersama pengumuman hasil ujian nasional dan berita seputar pelaksanaan UN.