Berebut Lulus UN

Detik-detik menjelang UN telah beredar kunci jawaban soal UN yang disebarkan secara berjemaah lewat SMS dan diterima oleh siswa peserta ujian...

Pesona Pulau Pasir Putih Lihaga

“Pak Rory, berapa sewa kapal ke Lihaga?” tanya saya seusai foto-foto. “Enam ratusan ribu. Tergantung juga permintaan..

Puisi: Jejak Kehidupan

“Setiap perjalanan adalah langkah. Setiap langkah adalah jejak. Dan jejakku menuju ke kabut”.

Age Quod Agis

Age Quod Agis, ungkapan bahasa Latin ini, mempunyai arti, "lalukanlah apa yang harus dilakukan". Tentu, artinya bukan asal mengerjakan..

Menangkap Garis Mitos Gunung Lokon

Mitos Opo Lokon dipercaya oleh masyarakat karena telah menyelamatkan dari setiap kali Gunung Lokon meletus atau sering disebut “ba sembur” atau “polote”.

Twitter Puisi




Kalau saya ditanya, apa itu puisi, maka saya akan mendefinisikan puisi adalah kristalisasi penulis (penyair) dari bahasa tubuhnya (body language) terhadap objek yang dilihat. Lebih detailnya, yang dimaksud dengan kristalisasi adalah proses “rekaman” atau pengolahan data dengan menggunakan semua inderanya (perasaan, batin, pikiran, hati, penciuman) menjadi sebuah kata kalimat indah yang bisa terucapkan atau dituliskan.

Tak semua orang setuju dengan definisi itu. Ada yang mendefinisikan puisi setelah puisi itu jadi. Maksudnya, rangkaian kata kalimat diurai dan dianalisa satu persatu, mulai dari struktur puisinya, pilihan dan makna setiap kata, pesan yang disampaikan oleh penyair, irama atau musik yang diciptakan, hingga bunyi akhir dari setiap baris pun dilirik untuk membuat definisi puisi.

Apa yang saya sampaikan itu, juga merupakan upaya saya untuk memahami dan mengerti apa itu puisi. Pengalaman saya membuat puisi, mengajarkan bahwa puisi lebih sulit ketimbang menulis repotase, opini atau cerpen dan novel. Mengapa ini saya katakan, karena kendati kata-kata atau kalimat yang digunakan untuk puisi itu pendek, namun sulitnya adalah memilih kata yang mempunyai unsur bias, bermakna dan indah.

Media jejaring sosial seperti facebook, twitter atau yang lainnya, kini menjadi media yang mudah untuk menuangkan puisi para penggunanya. Status update diubahnya menjadi media berpuisi oleh penggunanya. Memang tidak semua orang beraktivitas seperti itu. Namun, tak jarang saya membaca status update seseorang dengan kata kalimat puitis. Apakah fenomena ini boleh dikatakan Twitter Puisi? Kicauan berpuisi? Yang jelas saya menghargai para pemilik akun jejaring sosial sudah mencoba memilih kata kalimat puitis itu sesuai dengan rekaman bahasa tubuhnya.

Sebagai contoh saya membaca puisi yang ditulis di wall salah satu pertemanan  fb saya,

Sudah April, Hujan.../ dan rindu itu tak usai/ ketika kau mengetuk senyapku/ menyodorkan dawai lama / yang mesti kupetik lagi/ dan seketika aku tersadar/ oleh rengkuhan mesramu pada malam yang menggigil/dalam diam” ( JL, dalam ketakterjangkauan cinta hujan kepada pemujanya) @Jane AAL, 4 April 2012.

Dari puisinya itu, Jane mencoba menggambarkan suasana hujan yang mengingatkan dia saat pertemuan dengan kekasihnya. Momen seperti itu agaknya akan dihadirkan kembali melalui petikan (gitar) namun diberi makna kuat pada perlindungan suami (setelah menikah) selama-lamanya pun ketika ia merasa sendiri. Berbeda dengan puisi berikutnya. Keharmonisan iman dan perbuatan manusia terhadap Sang Pencipta sedikit terganggu oleh angkara murka manusia yang tak hentinya menyebabkan keluarnya airmata (duka) bagi orang lain. Akibat dosa?  Seperti inilah yang ia tulis di status fb-nya,

Di kedalaman kesadaran kita/ Surga merintih dan memori memori malaikat meneteskan airmata yang tidak sampai ke bumi. / Airmata itu tertahan di lapisan atmosfer bernama angkara./ Dan seketika manusia tidak mampu lagi membedakan airmata surga dan musik yang mengalun dari ruang musik milik malaikat./ Manusia terlalu sibuk dengan airmata airmata dan lagu karangan mereka sendiri” (JL, pada ekstasi selera jiwa) @Jane AAL, 2 April 2012

Saya pun juga sering menulis puisi di wall fb saya. Salah satunya seperti ini.

“[jejak hari] - hari-hari matahari tidak nongol, siang jadi sore, sore jadi rabun, mata jadi pedas menatap silau kaca bersinar, membosankan tetapi bisa ceria tidak seperti jatuhnya gerimis dan sapuan angin hingga dedaunan menari-nari mengejar langit, kalau sudah begitu sebongkah dingin terasa menancap di sendi tulang. Hari ini adalah ruang yang menggigil.”  (Jejak Hari, 13 Maret 2012)

Puisi ini saya buat karena saya terjebak oleh cuaca ekstrem yang membuat saya seakan tak kuasa untuk berbuat yang terbaik bagi orang lain. Ruang yang menggigil adalah hidup yang selalu terbelenggu oleh pekerjaan yang kurang bermanfaat dan membekukan kemanusiaan seorang.

Dalam perjalanan pulang ke Jawa, saya kadang sempat menulis puisi di wall saya tentang situasi sosial masyarkat saya lihat dan menarik untuk diwartakan.

“kubuka pagi pada jendelaku/ tak ada embun menempel lagi pada kaca /hanya goresan berdebu jadi jejak/ wajah langit pun tampak muram seram/ mengapa polusi kota menghapus biru langitmu? // sejukmu bukan dari pohon lagi/ tapi dari mesin kamar AC-ku/ Jejak manusia padat di kota/mengusir embun dari keringat jendela/ menampar setiap langkah pagi/ kapan kau ramah pada sekitarku (bandung | 2011.11.02)

Kicauan atau status update di jejaring sosial, tidak lagi dipakai untuk menulis kegalauan hati atau pemberitahuan keberadaan seorang dengan segala aktivitasnya, namun bisa juga untuk media berpuisi. Karena itu, saya lebih suka menamakan Twitter Puisi. Siapa tahu, kicauan puisinya menarik hati penerbit sehingga dicetak menjadi Kumpulan Twitter Puisi yang barangkali perdana di Indonesia.

Pagi ini saya mendapat tag line yang berbunyi @jokopinurbo: Bulan adalah hosti yang akan dipecah-pecah dan dibagikan kepada ribuan malam. Rupanya ia kutip dari salah satu puisi dari Joko Pinurbo, penyair yang terkenal karena kumpulan puisinya yang berjudul “Celana” (44 puisi) meraih “Sih Award” (2011)

Kreatifitas seseorang bisa disalurkan di media apa saja. Tak terkecuali di jejaring sosial. Jika banyak orang memanfaatkan media jejaring sosial untuk mengekspresikan puisinya, maka perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatkan maju selangkah. Generasi baru penyair sesuai dengan “jamannya” jejaring sosial, niscaya akan bermunculan sehingga disebut generasi penyair twitter. Siapa tahu?

Instagram Android Bisa Untuk Landscape Photography


Cuaca pagi, sekitar pukul 8 wita, hari Minggu ini (8/4) sangat cerah. Dominasi langit biru dengan sedikit awan putih bak kapas melayang, membuat hati saya tergerak untuk jalan-jalan pagi. Hangatnya mentari pelan-pelan membakar tubuh saya yang semalam “direndam” hawa sejuknya pegunungan.

Indahnya panorama alam Gunung Lokon menjadi magnet ke mana langkah kaki saya harus berjalan. Saya pun berhenti di salah satu spot terbuka mengarah ke Gunung Lokon dan sekitarnya. Di tempat itulah, saya kemudian merogoh kantong saya untuk mengambil Galaxy Mini saya, hadiah ke tiga dari Lomba Cincin Api Kompasiana periode pertama.

Dengan menggunakan aplikasi editing dan sharing foto Instagram Android yang baru saja saya benamkan di hape itu, saya mulai beraksi kegirangan untuk mengambil foto-foto indahnya panorama alam pagi itu. Ini untuk pertama kali saya menggunakan instagram android untuk berfoto ria.

Konon, “kurang dari 24 jam setelah dirilis pada Selasa (3/4/2012), Instagram diunduh lebih dari 1 juta kali di toko aplikasi online Google Play” demikian berita dari Kompas.com. “ Pengguna Android akan bergabung dengan 30 juta pengguna Instagram dari pengguna iOS (iPhone, iPad, iPod touch) yang telah menghasilkan 5 juta foto per harinya” lanjutnya. Bagi saya, berita ini terlalu sensasional. Kenapa? Karena pengguna sebaiknya membuktikan dulu keampuhan Instagram dalam menghasilkan foto-foto yang bagus.

Karena dorongan ingin membuktikan keampuhan Instagram Android itu, maka saya ingin mencobanya untuk “test drive” aplikasi yang sudah saya install di Galaxy Mini saya. Saatnya sekarang untuk beraksi. Namun, sebelum berklik ria dengan hape saya, di benak saya sudah saya tanamkan pilihan Landscape Photography yang saya konsepkan.

Inilah hasil foto-foto saya bertema Landscape dengan menggunakan Instagram Android dari hape Galaxy Mini saya.



Bagaimana prosesnya? Dari layar sentuh hape, saya buka aplikasi Instagram. Terlihat tampilan fitur siap memotret dengan lima panel di bawah frame foto yang akan loading otomatis menampilkan foto yang terdahulu. Tak perlu menunggu selesai loading, saya sentuh panel tengah bergambar foto. Lalu muncul dua pilihan pick a source, yaitu “camera” atau “photo galery”.

Saya pilih “camera” karena saya akan memotret pemandangan alam di hadapan saya. Obyek foto , sudah saya bidik lalu saya sentuh tombol gambar kamera dan sedapat mungkin jangan goyang. Setelah saya potret, di layar muncul 2 pilihan “simpan” atau “buang”.  Setelah tombol simpan saya sentuh, kemudian muncul di layar kotak crop beberntuk bujur sangkar dengan empat titik tombol pada setiap garisnya. Fungsinya adalah meng-cropping bear kecilnya foto dengan cara zoom-in atau zoom-out. Jika croppingnya terlalu dekat, foto bisa blur dan hasilnya kurang baik.

Setelah editing foto, lalu ada dua pilhan yaitu Discard atau Accept. Jika pilih Discard berarti foto tersimpan dalam memory yang sewaktu-waktu bisa dibuka untuk diedit. Jika pilih Accept, selain menyimpan foto juga pemakai bisa edit dengan 18 filter yang disediakan. Untuk Landscape saya suka pilih filter, Normal, Hudson, X-Pro, Lo-Fi, Sutro dan Nashville.


Untuk membuat kesan jadul bisa menggunakan filter Earlybird, Toaster, 1977 atau Kelvin. Cuma filter ini tidak saya gunakan dalam mengedit foto Landscape karena hasilnya kurang enak dilihat.

Setelah selesai mengedit dengan pilhan filter, kemudian saya coba upload dan share ke facebook. Saya belum coba mensharingkan foto saya ke Twitter atau Foursquare.  Melihat foto yang saya upload ke facebook, dalam hati saya berkomentar, bagus juga hasilnya. Landscape dengan langit birunya tampah indah sekali. Dalam hati, boleh juga aplikasi instagram dipakai untuk foto pemandangan.

Itu cara yang pertama. Cara yang kedua adalah setelah mempotret obyek yang kita pilih, langsug saja pilih sentuh “discard” untuk menyimpan foto dan seterusnya. Di kamar, saya edit dulu foto-foto saya tadi, baru dengan bantuan wi-fi, saya upload ke jejaring sosial. Jadi, tidak langsung di edit setelah memotret obyek, karena saya ingin mengedit sesuai dengan selera saya.


Itulah pengalaman pertama saya menggunakan aplikasi instagram di Galaxy Mini saya. Bagaimana pendapat anda setelah melihat hasil foto-foto Landscape versi Instagram Andorid itu? Apakah anda akan me-anaktiri-kan DSLR atau Camera Pocket anda dan mengankemaskan Instagram?  Yang jelas, saat ini saya mempunyai mainan baru dan mainan baru itu akan saya gunakan lagi untuk memotret obyek-obyek yang saya sukai.

Menggapai Prestasi Di Clasroom E-Learning, Siswa Papua Itu Tampak Serius




Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan Enos dan Eneas, dua siswa asal Timika Papua, yang mendapat bea siswa pendidikan dari Freeport melalui LPMAK untuk belajar di Sekolah Boarding School Lokon, Tomohon. Sekarang dua siswa itu sudah duduk di kelas XII yang dua minggu lagi akan menghadapi Ujian Nasional bersama dengan 111 teman lainnya.

“Rencana mau kuliah ke mana setelah lulus nanti?” tanya saya pada Enos yang masih suka mengunyah buah pinang. “Ke Philipina, pak” jawabnya. Mendengar jawaban ini hati saya sedikit meradang senang. “Sudah daftar?” sambung saya. “Lho pak, LPMAK ada “chanel” dengan salah satu Universitas di Philipina sebagai mitra pendidikannya”.  Mendengar jawaban itu, dalam hati semoga asa Enos tercapai.

“Oh ya saya ada foto kalian berdua sedang mengerjakan soal-soal UAS dengan menggunakan laptop biru bersama teman-teman lain. Kok wajahmu tegang? Tegang apa serius? “ tanya saya lagi sedikit bercanda. “Ah, Bapak. Pokoknya beres. Saya jadi ingin beli laptop sendiri. Dua juta boleh dapat pak?” jawab Enos dan didukung Eneas  yang asyik mengunyah buah pinang .

Kemajuan teknologi informasi bagi anak-anak remaja memang sudah menjadi kebutuhan guna mempermudah metode belajarnya. Dalam obrolan itu saya juga bertanya apa suka dengan facebook dan twitter. Mereka menjawab suka sekali karena bisa berkomunikasi dengan teman-teman lainnya. Apalagi koneksi Wifi di sekolah dan asrama lancar meski dibatasi hingga jam 9 malam.

Di lain pihak, “Sekarang warnet di rumah saya, sebulan hanya mendapat pemasukan kurang dari 500 ribu. Dua tahun lalu saya bisa meraup keuntungan bersih lebih dari satu hingga dua juta. Ini akibat dari kemajuan teknologi. Di mana-mana orang bisa internetan pakai hape. Modem untuk koneksi internet selain murah juga mudah didapatkan. Ya sudah”, cerita salah satu teman komunitas fotografer yang punya usaha warnet di rumahnya.

Kemudahan demi kemudahan untuk “online” terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kecanggihan perangkat pendukungnya. Tak heran kalau teman saya, Kepala Bagian Sarpras Sekolah, pernah bilang pada saya, “Tahun 2013 nanti, sekolah ini sudah menjadi “Cyber School” untuk mengembangkan kurikulum berbasis internet. Semoga saja 6 koneksi speedy yang tersambung ke sekolah tidak mengalami gangguan. Katanya, dengan kabel serat optik, kinerja koneksi internet bisa bertambah lancar” katanya penuh berharap sekaligus mengeluh jika koneksinya lemot.

Terkait dengan harapan-harapan itu, Agnito Moningka, guru ICT SMA Lokon dan senior trainer dari Intel Education, memberi keterangan pada foto yang diunggah di FB,  “Suasana Ujian Akhir Sekolah kelas XII. Bagi mereka yang membawa Laptop sendiri diadakan di kelas lain sedangkan yang tidak membawa Laptop sendiri melaksanakan UAS dengan mempergunakan CMPC dan dikombinasikan dengan LMS (moodle)”

Caption foto itu membuat saya penasaran apa yang dimaksudkan dengan CMPC dan LMS (moodle). Tak lama kemudian, Agnito menjelaskan bahwa CMPC singkatan dari Class Mate Personal Computer.  Tersedia 30 buah CMPC  berwarna biru dengan ukuran layar 9”, sumbangan dari Intel  Education Indonesia. Sedangkan LMS (Learning Management System) buatan Moodle adalah bagian lain dari Sistem pembelajaran berbasis web dengan mempergunakan software Moodle.

Tulisan ini dimuat di Kompasiana, silahkan klik di sini.
Berdasarkan keterangan itu, lalu saya mencoba mencari pejelasan lebih lanjut tentang LMC di Wikipedia. “Learning Management System (biasa disingkat LMS) adalah aplikasi perangkat lunak untuk dokumentasi, administrasi, pelacakan, pelaporan program pelatihan, kelas dan kegiatan ‘’online’’, program pembelajaran elektronik (e-learning program)”. Ditambhakan juga bahwa dimensi untuk belajar sistem manajemen meliputi ‘’Students self-service’’ (misalnya, registrasi mandiri yang dipimpin instruktur pelatihan), pelatihan alur kerja, penyediaan pembelajaran ‘’online’’ (misalnya, pelatihan berbasis komputer, membaca & memahami), penilaian ‘’online’’, manajemen pendidikan profesional berkelanjutan (CPE), pembelajaran kolaboratif (misalnya, berbagi aplikasi, diskusi), dan pelatihan manajemen sumber daya (misalnya, instruktur, fasilitas, peralatan).

Sedikit untuk melengkapi  bagaimana  alur e-learning itu beroperasi, silahkan lihat gambar di bawah ini.


Pecanangan e-learning atau di dunia pendidikan disebut Kurikulum Berbasis IT, sudah merambah ke sekolah-sekolah di Indonesia. Laporan Wikipedia menyebutkan,” Sekitar 34.628 sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia telah memiliki akses internet, tinggal mereka mau menerapkannya atau tidak.”

“Sekarang sudah dimulai dengan keterbatasannya. Yang paling sulit adalah mempersiapkan guru agar siap dan memahami pedagogi  dan metodologi mempergunakan IT dalam pembelajaran. Akan ada banyak perubahan aturan di sekolah dan asrama. Yang pasti tahun ajaran depan sudah full. Semua siswa baru SMP dan SMA akan mendapatkan CMPC. Satu siswa satu komputer.” tegas Agnito dalam pembicaraan online melalui komentar fotonya yang diunggah di facebook.

Tidak berhenti di situ saja. Saya pun lalu searching di Kompasiana dengan menggunakan kata kunci “e-learning”. Hasilnya memang luar biasa. Rupanya pembicaraan tentang  e-learning menuai pro dan kontra yang serius. Koneksi internet menjadi biang keladi dari kegagalan pengetrapan e-learning di sekolah-sekolah. Sehingga bisa dibayangkan wajah siswa papua tadi akan galau jika jawaban atas soal ujian UASnya yang dikerjakan dengan perangkat CMPC tak terkoneksi. Asa mereka untuk menguasai teknologi demi masa depannya  membangun tanah Papua bisa sirna jika koneksi internet mengalami gangguan.

Pendidikan itu memang mahal. Namun semahal-mahalnya pendidikan, kemajuan teknologi juga harus disikapi dengan bijaksana oleh semua pihak. Tenaga pendidik dan kependidikan perlu memompa diri agar bisa memanfaatkan kemajauan IT untuk mencerdaskan anak cucu bangsa ini melalui kurikulum berbasis IT atau e-learning. Sikap gaptek kiranya mulai dihilangkan demi memajukan kualitas pendidikan  di Indonesia.

Enos dan Eneas serta teman-temannya kini tidak lagi menjawab soal UAS dengan pensil atau alat tulis lain dan kertas. Hanya dengan mengetik jawaban di atas tombol-tombol  CMPC, jawaban Enos dkk sudah sampai di laptop guru. Tak hanya itu, penilaian benar dan salah pun langsung terdeteksi  sehingga tak berapa lama, nilainya sudah diketahui oleh siswa. Sayangnya belum semua guru bisa menyesuaikan sistem LMS  (e-learning) ini. Ini artinya bahwa Silabus dan RPP setiap guru, selayaknya berbenah diri menyesuaikan Kurikulum berbasis IT, agar tak ada siswa yang berani menyebut, “guruku gaptek”. .

Sumber tulisan dari WIkipedia, Intel Education, dan Agnito Moningka, guru IT SMA Lokon. senior trainer Intel Education.  Kontribusi foto dari Agnito Moningka dan koleksi pribadi.

Project Based Learning (PBL): Masalah Riil Diubah Jadi Produk Oleh Siswa





Hari Selasa kemarin (3/4/2012), adalah hari penerimaan rapor mid-semester bagi siswa-siswi  sebuah SMA di kaki Gunung Lokon. Tidak seperti biasanya. Penerimaan rapor yang wajib diambil oleh orang tua atau wali, tidak lagi di kelas-kelas.  Semua kegiatan dipusatkan di Sporthall yang sehari-hari dipakai untuk olah raga Basket atau Badminton indoor.

Cuaca cerah. Sporthall hari itu dipenuhi lebih dari 500 orang, termasuk orang tua/wali siswa yang datang mengambil rapor sekaligus menjemput anak dari asrama untuk liburan Paskah selama 1 minggu. Bisa dibayangkan betapa gaduhnya suasana penerimaan rapor saat itu.

Siapapun yang memasuki sporthall pada hari itu, seperti saya, dibuat tercengang melihat gedung olah raga itu disulap menjadi ajang pameran dan performance art dari para siswa. Setiap kelas baik SMP maupun SMA mempunyai  booth atau ruang pamer yang sekaligus tempat pembagian rapor. Tak ketinggalan booth dari OSIS SMP dan SMA. Jadi dalam gedung itu,  berdiri 16 booth dan setiap booth memamerkan karya seni dan kreatifitas para siswa. Sungguh pemandangan yang luar biasa.

Menempati ruang tengah, telah disiapkan meja moderator dan kursi-kursi yang nantinya dipakai untuk mendengarkan ceramah dari  salah satu  anggota DPD RI asal Propinsi Sulut,  Bapak Ferry FX Tinggogoy yang diundang untuk memberikan “motivation training” bagi siswa, guna memicu semangat siswa untuk tekun dan disiplin dalam belajar demi masa depan . Inilah slah satu aplikasi dari kurikulum berbasis kehidupan yang menjadi ciri khas sekolah berasrama ini.

“Penerimaan rapor kali ini merupakan hasil dari PBL dan Performance art” tulis Agnito, salah satu guru ICT dan senior training Intel Corp. yang menyebarkan foto-foto kegiatan di jejaring sosial. Membaca caption-nya, saya bertanya apa itu PBL? Lalu dijawab oleh Agnuto,  PBL singkatang dari Project Based Learning. Bukan Problem Based Learning (Belajar Berdasar Masalah). 

“Bedanya, kalau problem based terserah masalahnya bisa apa saja sedangkan Project Based masalah lebih ditekankan pada masalah riil yang dihadapi sehari-hari oleh peserta didik dan menghasilkan produk yang nantinya akan dipertunjukkan pada siapa saja tergantung stake-holder dalam proses KBM kita. Sama-sama Problem Solving, tapi ada riset terlebih dahulu” demikian kata Agnito yang mendampingi proses PBL siswa.

“Setelah ceramah Bapak Ferry FX Tinggogoy selesai, Kepala Sekolah bersama guru wali kelas mengumumkan siapa yang menjadi juara di kelasnya. Penghargaan diberikan kepada siswa yang meraih rangking juara 1, 2 dan 3 dalam bentuk piagam penghargaan. Di lain pihak, orang tua yang hadir mendapatkan informasi bahwa untuk meraih prestasi belajar siswa harus berkompetisi dengan siswa lain”, demikian sambutan salah seorang guru untuk mengantar acara penerimaan rapor. 

 Lalu apa hubungan antara PBL (Belajar Berdasar Proyek) dan semua kegiatan yang diselenggarakan di sporthall itu? Pertanyaan itu membuat saya gundah karena saya belum menemukan jawaban dari manfaatnya metode PBL itu. Apakah orang tua atau wali yang hadir saat itu menangkap pesan di balik keramaian sport hall? Entahlah.

Yang jelas, hasil karya seni kreatifitas siswa yang dipajang di masing-masing booth, ternyata dijual. Yang membeli, ya orang tua dan wali yang datang. Tak ada pembeli lain. Satu dua terlihat ada guru yang tertarik untuk membelinya. “Kami sedang cari duit untuk mendanai iven Lokon Cup yang akan melibatkan seluruh tim Basket se-Sulut bulan Juni yang akan datang. Berdasarkan pengalaman, subsidi tidak mencukupi. Karena itu, sejak awal kami bertekad mencari dana dengan berbagai macam cara sesuai dengan kemampuan kami. Kami sudah terbiasa menjual pisang goreng atau martabak kepada siswa. Kali ini kami ingin produk kreatifitas kami mampu menghasilkan uang. Keuntungan penjualan itu, untuk menambah pundi-pundi OSIS guna mensukseskan kegiatan akbar nanti.” kata salah satu pengurus OSIS.

Kegiatan di sport hall itu baru gelaran pertama dari sebuah langkah awal yang memberi suasana gembira kepada orang tua setelah melihat produk-produk kreatif siswa yang dipamerkan. Mengelola masalah riil yang dihadapi siswa menjadi produk yang bernilai secara ekonomis, menjadi acuan dalam kegiatan itu. Semoga dengan metode PBL ini siswa, bukan menjadi konsumen yang konsumtif tetapi mampu menghasilkan dan menciptakan produk yang diminati pasar.