Berebut Lulus UN

Detik-detik menjelang UN telah beredar kunci jawaban soal UN yang disebarkan secara berjemaah lewat SMS dan diterima oleh siswa peserta ujian...

Pesona Pulau Pasir Putih Lihaga

“Pak Rory, berapa sewa kapal ke Lihaga?” tanya saya seusai foto-foto. “Enam ratusan ribu. Tergantung juga permintaan..

Puisi: Jejak Kehidupan

“Setiap perjalanan adalah langkah. Setiap langkah adalah jejak. Dan jejakku menuju ke kabut”.

Age Quod Agis

Age Quod Agis, ungkapan bahasa Latin ini, mempunyai arti, "lalukanlah apa yang harus dilakukan". Tentu, artinya bukan asal mengerjakan..

Menangkap Garis Mitos Gunung Lokon

Mitos Opo Lokon dipercaya oleh masyarakat karena telah menyelamatkan dari setiap kali Gunung Lokon meletus atau sering disebut “ba sembur” atau “polote”.

[WPC 4]: Malam Di Batas Kota, Memang Cantik Kok


“Mari berbicara lewat foto”, demikian narasi pembuka pada komunitas Kampret (Kompasianer Hobi Jepret) di Facebook. Sepintas membaca kalimat ini, terasa ambigu. “Masak sih, kita bisa berkomunikasi dengan foto?” sanggah saya tapi dalam batin saja.

Terpancing dengan statemen itu, lalu saya ingat dengan apa yang diajarkan oleh dosen Filsafat Antropologi ketika saya masih kuliah. “Semua ciptaan Tuhan, bisa diajak bicara. Hanya kualitas bicaranya tidak masif dan bergradasi secara intens. Manusia bisa berbicara dengan hewan atau semua mahkluk hidup. Hanya kualitas komunikasinya menengah. Manusia juga bisa mengajak ngobrol dengan batu atau benda mati lainnya. Hanya kualitasnya rendah sekali. Yang paling berkualitas adalah komunikasi  antar manusia.”

Atas dasar itu, foto pun, termasuk benda mati, namun secara visual ia menghidupkan diri lewat ekspresi yang tergambarkan. Artinya, kemampuan berdialog dan berbicara pada manusia boleh dikata berkualitas karena konsep otonomi dan korelasinya. Semua foto berpotensi untuk bisa berbicara secara intens atau bisa saja kurang komunikatif tergantung hasil fotonya.

Kendati begitu, adalah sebuah kesulitan besar untuk mendapatkan foto yang “mampu berbicara’ atau sering disebut foto yang berkarakter. Sejauh pengalaman saya sebagai pemula dalam dunia fotografi, menghasilkan foto yang baik, bukan tanpa perjuangan. Tak ada foto yang baik, tanpa terlebih dahulu melewati proses “learning by doing”. Setidak-tidaknya itulah proses pembelajaran saya ketika fotografi menjadi hobi. Belum sampai ke level profesional.

Menjadikan foto itu bisa berbicara, atau lewat foto, saya bisa berkomunikasi dengan siapa saja terutama dengan teman-teman penggila fotografi, adalah sebuah tantangan tersendiri yang mengasyikan. Berkali-kali saya “lamu” (banyak ngomong), bahwa semakin orang suka dengan fotografi semakin mendapatkan sebuah terapi yang menyehatkan. Maksudnya, saya bisa berlatih sabar, bijak, konsisten dan tentu saja yang namanya pembelajaran akhirnya menambah ilmu dan pengetahuan saya tentang fotografi.

Di mana saya bisa belajar berkomunikasi lewat foto? Ada dua tempat. Yang pertama ikut bergabung dalam komunitas fotografer ( de’kodakens) di sekitar tempat tinggal saya. Sebenarnya saya minder ikut komunitas fotografer itu. Alasannya saya, “gear” atau kamera dan lensa saya sangat standard. Saya beli kamera dulu tujuannya untuk motret dalam rangka mendokumentasikan setiap kegiatan. Atau tepatnya disebut sebagai “asal jepret” yang penting fotonya jelas. Memang saya akui saat itu, teknik pemotretan saya jauh dari semua teori fotografi. Tak heran, setting auto (warna hijau) dan P, sangat saya sukai.

Yang kedua, saya ikut bergabung dalam Kampret. Banyak hal saya diperkaya oleh kampretos (julukan para anggota Kampret). Mulai dari teknik, kategori dalam setiap foto sampai diskusi tentang perangkat kamera dan lensa. Pokoknya, ilmu saya tentang fotografi ditambahkan oleh Kampret. Apalagi akhir-akhir ini setiap minggu diadakan WPC (Weekly Photo Chalenge). Lebih lengkapnya, silahkan yang suka fotografi bisa bergabung dengan komunitas Kamprets melaui facebook.

Kembali ke sebuah pertanyaan dan pernyataan awal. Berbicara lewat foto. Kali ini, saya mau mencoba berkomunikasi dengan foto malam. Untuk lebih mudahnya saya ambil foto-foto malam saya ketika saya jalan-jalan malam di tengah kota. Kalau ada lagu berjudul “senja di batas kota”, foto-foto malam saya saya beri judul “malam di batas kota”.



Suatu hari, teman saya mengajak saya untuk hunting malam di kota Semarang. Pada malam yang cerah kami keluar rumah dan saat itu sudah pukul sembilan malam. Kota Tua, Pelabuhan Tanjung Emas, Seputaran Tugu Muda dan Lawang Sewu adalah target bidikan kamera kami. Mengapa spot-spot itu menjadi buronan kami, karena spot itu tak lain adalah ikon kota Semarang dan sudah dikenal secara meluas.

Setelah jepret sana jepret sini, saya kemudian menyimpulkan bahwa foto di malam hari tidak semudah foto di siang hari. Settingannya pada kamera harus pas. Kalau tidak pas, maka hasilnya blur atau shake. Teman saya mengusulkan agar main di slow speed dan pakai tripod. Saat membidik gunakan lat bantu senter untuk menimbulkan efek jelas pada foregroundnya. Sesekali nasehat itu, saya ikuti dan sifatnya join tripod karena saya belum punya tripod.

Setelah hunting, kami lalu pulang dan esoknya kami berdiskus soal foto hasil jepretan malam itu. Intinya, penguasaan teknik harus ditingkatkan lagi. Namun, ada yang lebih menarik. Foto-foto yang dihasilkan itu berbicara tentang masa lalu kota Semarang yang secara historis, mencerminkan tentang pengaruh penjajahan Belanda bagi masyarkat kota Semarang. “Belanda memang hebat dalam tata ruang kota dan pembangunan gedung-gedung yang tahan ratusan tahun. Sangat visioner” kata teman saya dengan polosnya, pada hal ia lahir di tahun 80-an.

Berbeda dengan foto malam saat saya di Jakarta. Kali ini teman saya mengajak saya ke puncak gedung Grand Indonesia yang katanya tingginya hingga 56 tingkat. Saat di puncak, angin begitu kencang hingga terasa seperti mau diterbangkan. Dengan semangat nekat, kendala kencangnya angin saya atasi dengan cara berlindung pada salah satu tembok yang menahan kencangnya angin.

Di atas puncak Grand Indonesia itu, Bunderan HI, Jalan Tamrin dan gemerlapnya kota Jakarta, menjadi target bidikan kamera saya berkali-kali hingga setengah putaran gedung GI itu. “Itulah kehidupan malam kota Jakarta. Tak kenal lelah sedikitpun kendati malam semakin melarutkan asa. Rasanya 24 jam hidup masih saja kurang kalau ada di Jakarta”, batin saya.  

Foto malam di batas kota, memang asyik. Tapi dibutuhkan nyali untuk memotretnya. Selain melawan angin malam dan waktu, teknik memotret malam perlu dikuasai. Untuk itulah saya belajar foto pada malam di batas kota dengan kamera dan lensa terbatas serta minimnya pengetahuan fotografi karena saya masih pemula dalam fotografi.  Akhirnya, mari kita berbicara lewat foto.

Untuk lebih lengkapnya tentang Weekly Photo Chalenge 4, Night Photography, silahkan klik di sini. Jika anda ingin mengenal lebih dalam tentang Kampret silahkan klik di sini.

Musik Pipa Pralon dan Pendidikan Karakter Anak


Musik Pralon, Pawai Pendidikan 2 Mei 2012

Lirik lagu Minahasa Opo Wananatase terdengar merdu ketika didendangkan oleh sekolompok pemain musik pipa pralon,  

“Opo wana natas'se/Tembone se mengale ngale/Tembone se mengale ngale/
Pakatuan pakalawiren…. Kuramo kalalei u langit/Tentumo kalalei un tana/Kuramo kalalei un tana/Tentumo kalalei ta in tou…”

Lagu itu dilantunkan di muka panggung kehormatan oleh siswa-siswi SD dengan pipa pralonnya sebagai alat musik. Masyarakat yang menonton pun ikut menyanyikan lagu rakyat Minahasa yang sangat populer bagi mereka. Meski siang itu terasa gerah karena teriknya mentari, namun rasanya sejuk setelah terlibat bersama dalam menyanyikan lagu “Opo Wananatase”

“Boleh foto akang tape anak yang iko pawai?” tiba-tiba terdengar suara dari hape teman yang berdiri di samping saya. “Yang mana Tanta?” “Itu rombongan SD yang bawa musik pipa pralon” “oke-oke” jawab Oten, teman fotografer yang sama-sama meliput Pawai Pendidikan Tomohon dalam rangka Hardiknas 2 Mei yang lalu.

Permintaan seperti itu bukan untuk pertama kali saya dengar. Dulu ketika ada pawai 17-an, saya sempat diminta hal yang sama oleh seorang Ibu yang sedang menonton pawai. Pengalaman itu kemudian saya kisahkan kepada teman-teman fotografer. “Udah biasa, sering ada permintaan dadakan untuk motret anaknya yang ikut pawai”, ujar teman saya. “Fotonya nanti akan dicetak dan dipasang di album atau dipigurakan dan dipasang di dinding kamar anaknya” jawab yang lain.

Betapa bangganya orang tua terhadap anaknya yang ikut pawai, batin saya. Pantas saja, kalau saya ikut dalam tim liputan saya melihat banyak penonton berjubel ikut memotret dari pingir jalan. Berbagai macam kamera dan video camera dipakai untuk tak mau ketinggalan merekam momen pawai itu. Bukan untuk narsis, saya kira, tetapi betapa berharganya kebanggaan orang tua terhadap anaknya.

Mengapa orang tua bangga terhadap anaknya yang ikut pawai itu? Pertanyaan ini mengingatkan saya akan sebuah banner yang dipegang oleh salah satu peserta pawai, “Mencerdaskan anak cucu bangsa Indonesia adalah tugas mulia orang tua”. Yang dimaksud dengan orang tua di sini tak lain adalah Pemerintah yang mengemban amanat Undang-undang RI. “Bahwa setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dasar dengan sebaik-baiknya demi perkembangan pribadinya yang utuh dan berkualitas”.

Dalam Wikipedia, disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.” 

Paham ini kemudian dikembangkan oleh John Dewey, filsuf dan educator, dari Amerika Serikat pada abad 20 dengan sebutan “pendidikan progresif, yang intinya pendidikan tidak terbatas pada dinding kelas (akademis), tetapi terbuka juga pada ruang luas dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.  “Masyarakat yang hidupnya hanya terpusat pada urusan politik dan ekonomi  dan meninggalkan pendidikan “berpusat pada anak” lewat pengembangan potensi dirinya secara utuh, sangat dibenci oleh John Dewey.

Atasa dasar itu, saya melihat Pawai Pendidikan bukan “toko berjalan” di mana setiap peserta pawai membawa bendera kebanggaannya sendiri dan memamerkan kepada masyarakat tetapi sebuah bentuk pendidikan karakter anak melalui “performance art”nya di jalan. Sejauh saya tahu, untuk menjadi anggota Marching Band atau Drum Band, atau tim musik lainnya siswa harus memiliki potensi untuk berkembang dalam musik, disiplin, bekerja sama dalam tim, dedikasi yang tinggi, kepemimpinan, serta toleransi.

Tradisi pawai pendidikan ini sejauh diberitakan oleh media lokal, tidak hanya di kota Tomohon tetapi juga dilaksanakan di Manado, Bitung, Tondano, Amurang dan kabupaten lainnya di Sulut. Dan yang paling menarik dalam setiap pawai itu adalah tampilnya drum band, marching band, musik pipa pralon, musik bambu, dan tarian adat.  Karena itu, selain menghibur penonton juga membuat bangga orang tua bukan karena melihat anaknya semata-mata sedang “memainkan” alat musik tetapi ada sebuah proses pendidikan karakter yang berlangsung.
Suasana pendidikan karakter melalui pawai saya coba rekam lewat foto-foto itu. Semoga berguna bagi orang tua agar, tak hanya memikirkan prestasi anak, tetapi juga menyadari pentingya keseimbangan otak kanan dan otak kiri melalui kegiatan kesenian.

Pengadaan peralatan Drum Band atau Marching Band itu tidak murah bagi sekolah-sekolah yang kurang mampu. Demi pendidikan karakter seperti itu, semestinya Pemerintah Kota membantu untuk meringankan biaya pengadaan peralatan itu. Namun demikian, musik pipa pralon dan musik bambu bisa menjadi alternatif bagi sekolah lain, bahkan terkesan kreatif dan inovatif.

“Seribu kali mendengar. tidak sehebat sekali melihat. Seribu kali melihat, tidak kalah dengan sekali mengalami”, tutur Pak Ronald, owner Boarding School di Lokon dalam upayanya menjelaskan tentang orang lebih pintar bertanya daripada menjawab.

[WPC 3]: Menangkap Garis Mitos Gunung Lokon

Gunung Lokon Saat Sunrise (Foto: trilokon)


Gunung Lokon (1.579, 6 m dpl), Tomohon, Sulawesi Utara masih menyimpan “misteri” bagi masyarakat yang tinggal di kaki gunung berapi itu. Aktivitas Gunung Lokon, pasca letusan 1 Mei yang lalu, belum “berhenti” hingga detik ini. Bahkan tanda-tanda akan meletus lebih hebat lagi, diberitakan oleh media lokal berdasarkan informasi yang diterima dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Pos Pemantaun Gung Lokon dan Mahawu di Tomohon, mencatat masih ada aktivitas gempa vulkanik susulan di kawah Tompaluan, pasca letusan Selasa, 1 Mei 2012, pukul 11.55 wita.  

Tak ingin terjadi banyak korban, Dinas Kesehatan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kapolres, Sarkolak, Desa-desa dan persekolahan di sekitar rawan bencana mendapat kucuran dana untuk tanggap darurat.  Contohnya, SMA Lokon yang berada tak kurang dari 3 km dari kawah dan setiap kali ada letusan menjadi langganan “disiram” debu vulkanik dan “digoyang” gempa yang mengakibatkan kaca-kaca bangunannya bergetar dan pintu-pintu kelasnya seperti ada orang yang menggebrak dari luar.

“Satu unit kendaraan AVP, lima unit alat komunikasi kami terima dari pemerintah untuk tanggap darurat bencana Gunung Lokon”, kata Pak Ferry, Kepala Sekolah SMA Lokon baru-baru ini. Di pihak lain, “2 unit kendaraan telah siap untuk dijadikan rumah sakit darurat, bagi korban bencana” jelas Kapolres Tomohon. “500 juta rupiah juga sudah dialokasikan untuk menopang kebutuhan para pengungsi di 23 titik pengungsian yang sudah ditentukan. Ribuan masker sudah tersedia untuk mencegah abu vulkanik saat terjadi hujan abu. Demikian juga, tenaga sukarelawan yang dikoordinir oleh SAR dan BNPB” ungkap pejabat Pemkot.

Meski sudah terprogram secara sistematis bagaimana mengantisipasi ‘tanggap darurat” terhadap bencana letusan Gunung Lokon, tapi bagi masyarakat Kakaskasen, Kinilow yang berdomisili di kaki Gunung Lokon merasa “aman” sehingga kadang tidak langsung mengungsi. Meski sirene meraung-raung sebagai tanda bahaya, namun masyarakat tetap tenang karena percaya pada garis mitos yang memang sudah dari jaman dulu dikisahkan turun temurun.

Mengapa masyarakat tidak begitu mudah untuk segera mengungsi, pada saat Gunung Lokon meletus?  Jika pertanyaan ini diajukan kepada warga masyarakat, maka yang terdengar hanyalah kata-kata ini “Ya bagaimana ya”. Keraguan mereka bisa dimaklumi. Selama ini, jika Gunung Lokon meletus, Opo (baca: opok) Lokon telah menyelamatkan mereka.

“Beberapa kali Gunung Lokon “polote”, debu vulkaniknya terbawa angin ke Utara hingga kami aman dari hujan debu. Pernah sekali debunya lari ke Selatan, tapi desa kami hanya dilewati saja tapi debunya jatuh ke pusat kota” kata Pala Lorong Kakaskasen Dua, saat ditanya soal mengapa desanya selalu terselamatkan dari bencana.

Pegunungan Mondoinding, Dilihat Dari Bukit Doa Mahawu (Foto: trilokon)


Mitos Opo Lokon dipercaya oleh masyarakat karena telah menyelamatkan dari setiap kali Gunung Lokon meletus atau sering disebut “ba sembur” atau “polote”. Masyarakat seperti mendapat perlindungan keselamatan karena apa yang disyaratkan oleh Opo Lokon sudah dipenuhi.  “Torang samua basaudara, Karena itu, torang mesti hidup saling berdampingan satu sama lain dengan damai dan kasih serta tolong menolong” lanjut Pala. Budaya Damai inilah yang diyakini sebagai salah satu syarat “keselamatan” yang sudah menjadi keharusan moral bagi setiap warga yang berdomisili di kaki Gunung Lokon.

Jejak kaki raksasa yang pernah ditemukan tempo hari di ladang sayuran warga juga menjadi garis mitos yang dipercayai bahwa Opo Lokon memang ada. Tampaknya, tapak jejak kaki raksasa yang posisinya mengarah ke kawah Tompaluan, diyakini sebagai kaki Opo Lokon.  Sampai saat ini belum ada sanggahan ilmiah termasuk dari kalangan agamawan, tentang garis mitos itu.

Baru-baru ini beredar foto gumpalan debu vulkanik letusan Gunung Lokon yang membentuk mirip wajah orang dan mirip salib. Foto itu beredar di Facebook dan menuai banyak komentar. Facebooker menduga bahwa bentuk wajah itu mirip Opo Lokon. Atas fenomena alam itu, masyarakat meyakini bahwa selain “diselamatkan” oleh Opo Lokon, juga menjadi tanda peringatan kepada masyarakat agar tetap menjaga kerukunan dan kedamaian antar sesama.

Memang, banyak pendatang yang mengakui bahwa garis-garis mitos yang beredar di tengah masyarakat itu adalah gari-garis kehidupan sosial masyarakat di Tomohon. Tak jarang orang luar Tomohon sering memberikan apresiasi bahwa kehidupan masyarakat Tomohon kondusif, terutama dalam kerukunan umat beragama dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Seperti misalnya, memarkir kendaraan di depan rumah atau, di pinggir jalan saat berkebun, aman-aman saja. Yang mengherankan, saya tidak pernah berjumpa dengan pengemis dan pengamen di jalan atau di warung-warung. Ketika saya tanya kepada salah satu teman saya, ia hanya mengatakan dengan singkat, “ah beking malu torang” (bikin malu kami saja).

Garis mitos itu masih menyimpan misteri dan tak ada jawabannya. Namun demikian, masyarakat Tomohon tentu perlu bercermin pada kisah Mbah Maridjan yang menjadi korban “wedhus gembel” (awan panas) letusan Gunung Merapi tahun lalu. Namun demikian, saya yakin masyarakat setuju bahwa tak akan ada jatuh korban bencana yang disebabkan karena garis mitos itu.

Foto-foto yang ditampilkan dalam tulisan ini adalah “Line Photography” yang mencerminkan garis-garis kehidupan alam dan masyarakat di sekitar Gunung Lokon yang mempercayai adanya mitos dan bersemboyan “Torang Samua Basaudara” (Kita semua adalah bersaudara).

Foto-foto tersebut adalah Koleksi pribadi dan diikutkan dalam WPC 3.