“Mari berbicara lewat foto”, demikian narasi pembuka pada komunitas
Kampret (Kompasianer Hobi Jepret) di Facebook. Sepintas membaca kalimat ini,
terasa ambigu. “Masak sih, kita bisa berkomunikasi dengan foto?” sanggah saya
tapi dalam batin saja.
Terpancing dengan statemen itu, lalu saya ingat dengan apa
yang diajarkan oleh dosen Filsafat Antropologi ketika saya masih kuliah. “Semua
ciptaan Tuhan, bisa diajak bicara. Hanya kualitas bicaranya tidak masif dan
bergradasi secara intens. Manusia bisa berbicara dengan hewan atau semua
mahkluk hidup. Hanya kualitas komunikasinya menengah. Manusia juga bisa
mengajak ngobrol dengan batu atau benda mati lainnya. Hanya kualitasnya rendah
sekali. Yang paling berkualitas adalah komunikasi antar manusia.”
Atas dasar itu, foto pun, termasuk benda mati, namun secara
visual ia menghidupkan diri lewat ekspresi yang tergambarkan. Artinya,
kemampuan berdialog dan berbicara pada manusia boleh dikata berkualitas karena
konsep otonomi dan korelasinya. Semua foto berpotensi untuk bisa berbicara
secara intens atau bisa saja kurang komunikatif tergantung hasil fotonya.
Kendati begitu, adalah sebuah kesulitan besar untuk
mendapatkan foto yang “mampu berbicara’ atau sering disebut foto yang
berkarakter. Sejauh pengalaman saya sebagai pemula dalam dunia fotografi,
menghasilkan foto yang baik, bukan tanpa perjuangan. Tak ada foto yang baik,
tanpa terlebih dahulu melewati proses “learning by doing”. Setidak-tidaknya
itulah proses pembelajaran saya ketika fotografi menjadi hobi. Belum sampai ke
level profesional.
Menjadikan foto itu bisa berbicara, atau lewat foto, saya
bisa berkomunikasi dengan siapa saja terutama dengan teman-teman penggila
fotografi, adalah sebuah tantangan tersendiri yang mengasyikan. Berkali-kali
saya “lamu” (banyak ngomong), bahwa semakin orang suka dengan fotografi semakin
mendapatkan sebuah terapi yang menyehatkan. Maksudnya, saya bisa berlatih
sabar, bijak, konsisten dan tentu saja yang namanya pembelajaran akhirnya
menambah ilmu dan pengetahuan saya tentang fotografi.
Di mana saya bisa belajar berkomunikasi lewat foto? Ada dua
tempat. Yang pertama ikut bergabung dalam komunitas fotografer ( de’kodakens) di
sekitar tempat tinggal saya. Sebenarnya saya minder ikut komunitas fotografer
itu. Alasannya saya, “gear” atau kamera dan lensa saya sangat standard. Saya
beli kamera dulu tujuannya untuk motret dalam rangka mendokumentasikan setiap
kegiatan. Atau tepatnya disebut sebagai “asal jepret” yang penting fotonya
jelas. Memang saya akui saat itu, teknik pemotretan saya jauh dari semua teori
fotografi. Tak heran, setting auto (warna hijau) dan P, sangat saya sukai.
Yang kedua, saya ikut bergabung dalam Kampret. Banyak hal
saya diperkaya oleh kampretos (julukan para anggota Kampret). Mulai dari
teknik, kategori dalam setiap foto sampai diskusi tentang perangkat kamera dan
lensa. Pokoknya, ilmu saya tentang fotografi ditambahkan oleh Kampret. Apalagi
akhir-akhir ini setiap minggu diadakan WPC (Weekly Photo Chalenge). Lebih
lengkapnya, silahkan yang suka fotografi bisa bergabung dengan komunitas
Kamprets melaui facebook.
Kembali ke sebuah pertanyaan dan pernyataan awal. Berbicara
lewat foto. Kali ini, saya mau mencoba berkomunikasi dengan foto malam. Untuk
lebih mudahnya saya ambil foto-foto malam saya ketika saya jalan-jalan malam di
tengah kota. Kalau ada lagu berjudul “senja di batas kota”, foto-foto malam
saya saya beri judul “malam di batas kota”.
Suatu hari, teman saya mengajak saya untuk hunting malam di
kota Semarang. Pada malam yang cerah kami keluar rumah dan saat itu sudah pukul
sembilan malam. Kota Tua, Pelabuhan Tanjung Emas, Seputaran Tugu Muda dan
Lawang Sewu adalah target bidikan kamera kami. Mengapa spot-spot itu menjadi
buronan kami, karena spot itu tak lain adalah ikon kota Semarang dan sudah dikenal
secara meluas.
Setelah jepret sana jepret sini, saya kemudian menyimpulkan
bahwa foto di malam hari tidak semudah foto di siang hari. Settingannya pada
kamera harus pas. Kalau tidak pas, maka hasilnya blur atau shake. Teman saya
mengusulkan agar main di slow speed dan pakai tripod. Saat membidik gunakan lat
bantu senter untuk menimbulkan efek jelas pada foregroundnya. Sesekali nasehat
itu, saya ikuti dan sifatnya join tripod karena saya belum punya tripod.
Setelah hunting, kami lalu pulang dan esoknya kami berdiskus
soal foto hasil jepretan malam itu. Intinya, penguasaan teknik harus
ditingkatkan lagi. Namun, ada yang lebih menarik. Foto-foto yang dihasilkan itu
berbicara tentang masa lalu kota Semarang yang secara historis, mencerminkan
tentang pengaruh penjajahan Belanda bagi masyarkat kota Semarang. “Belanda
memang hebat dalam tata ruang kota dan pembangunan gedung-gedung yang tahan
ratusan tahun. Sangat visioner” kata teman saya dengan polosnya, pada hal ia
lahir di tahun 80-an.
Berbeda dengan foto malam saat saya di Jakarta. Kali ini
teman saya mengajak saya ke puncak gedung Grand Indonesia yang katanya
tingginya hingga 56 tingkat. Saat di puncak, angin begitu kencang hingga terasa
seperti mau diterbangkan. Dengan semangat nekat, kendala kencangnya angin saya
atasi dengan cara berlindung pada salah satu tembok yang menahan kencangnya
angin.
Di atas puncak Grand Indonesia itu, Bunderan HI, Jalan
Tamrin dan gemerlapnya kota Jakarta, menjadi target bidikan kamera saya
berkali-kali hingga setengah putaran gedung GI itu. “Itulah kehidupan malam
kota Jakarta. Tak kenal lelah sedikitpun kendati malam semakin melarutkan asa.
Rasanya 24 jam hidup masih saja kurang kalau ada di Jakarta”, batin saya.
Foto malam di batas kota, memang asyik. Tapi dibutuhkan
nyali untuk memotretnya. Selain melawan angin malam dan waktu, teknik memotret
malam perlu dikuasai. Untuk itulah saya belajar foto pada malam di batas kota
dengan kamera dan lensa terbatas serta minimnya pengetahuan fotografi karena
saya masih pemula dalam fotografi.
Akhirnya, mari kita berbicara lewat foto.
Untuk lebih lengkapnya tentang Weekly Photo Chalenge 4,
Night Photography, silahkan klik di sini. Jika anda ingin mengenal lebih dalam
tentang Kampret silahkan klik di sini.