Musik Pralon, Pawai Pendidikan 2 Mei 2012 |
Lirik lagu Minahasa Opo Wananatase terdengar merdu ketika
didendangkan oleh sekolompok pemain musik pipa pralon,
“Opo wana natas'se/Tembone se mengale ngale/Tembone se mengale ngale/
Pakatuan pakalawiren….
Kuramo kalalei u langit/Tentumo kalalei un tana/Kuramo kalalei un tana/Tentumo
kalalei ta in tou…”
Lagu itu dilantunkan di muka panggung kehormatan oleh
siswa-siswi SD dengan pipa pralonnya sebagai alat musik. Masyarakat yang
menonton pun ikut menyanyikan lagu rakyat Minahasa yang sangat populer bagi
mereka. Meski siang itu terasa gerah karena teriknya mentari, namun rasanya
sejuk setelah terlibat bersama dalam menyanyikan lagu “Opo Wananatase”
“Boleh foto akang tape anak yang iko pawai?” tiba-tiba
terdengar suara dari hape teman yang berdiri di samping saya. “Yang mana
Tanta?” “Itu rombongan SD yang bawa musik pipa pralon” “oke-oke” jawab Oten,
teman fotografer yang sama-sama meliput Pawai Pendidikan Tomohon dalam rangka
Hardiknas 2 Mei yang lalu.
Permintaan seperti itu bukan untuk pertama kali saya dengar.
Dulu ketika ada pawai 17-an, saya sempat diminta hal yang sama oleh seorang Ibu
yang sedang menonton pawai. Pengalaman itu kemudian saya kisahkan kepada
teman-teman fotografer. “Udah biasa, sering ada permintaan dadakan untuk motret
anaknya yang ikut pawai”, ujar teman saya. “Fotonya nanti akan dicetak dan
dipasang di album atau dipigurakan dan dipasang di dinding kamar anaknya” jawab
yang lain.
Betapa bangganya orang tua terhadap anaknya yang ikut pawai,
batin saya. Pantas saja, kalau saya ikut dalam tim liputan saya melihat banyak
penonton berjubel ikut memotret dari pingir jalan. Berbagai macam kamera dan
video camera dipakai untuk tak mau ketinggalan merekam momen pawai itu. Bukan
untuk narsis, saya kira, tetapi betapa berharganya kebanggaan orang tua
terhadap anaknya.
Mengapa orang tua bangga terhadap anaknya yang ikut pawai
itu? Pertanyaan ini mengingatkan saya akan sebuah banner yang dipegang oleh
salah satu peserta pawai, “Mencerdaskan anak cucu bangsa Indonesia adalah tugas
mulia orang tua”. Yang dimaksud dengan orang tua di sini tak lain adalah
Pemerintah yang mengemban amanat Undang-undang RI. “Bahwa setiap anak mempunyai
hak untuk mendapatkan pendidikan dasar dengan sebaik-baiknya demi perkembangan
pribadinya yang utuh dan berkualitas”.
Dalam Wikipedia,
disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya dan masyarakat.”
Paham ini kemudian dikembangkan oleh John Dewey, filsuf dan
educator, dari Amerika Serikat pada abad 20 dengan sebutan “pendidikan
progresif, yang intinya pendidikan tidak terbatas pada dinding kelas
(akademis), tetapi terbuka juga pada ruang luas dalam kehidupan masyarakat yang
demokratis. “Masyarakat yang hidupnya
hanya terpusat pada urusan politik dan ekonomi dan meninggalkan pendidikan “berpusat pada
anak” lewat pengembangan potensi dirinya secara utuh, sangat dibenci oleh John
Dewey.
Atasa dasar itu, saya melihat Pawai Pendidikan bukan “toko
berjalan” di mana setiap peserta pawai membawa bendera kebanggaannya sendiri
dan memamerkan kepada masyarakat tetapi sebuah bentuk pendidikan karakter anak
melalui “performance art”nya di jalan. Sejauh saya tahu, untuk menjadi anggota
Marching Band atau Drum Band, atau tim musik lainnya siswa harus memiliki potensi
untuk berkembang dalam musik, disiplin, bekerja sama dalam tim, dedikasi yang
tinggi, kepemimpinan, serta toleransi.
Tradisi pawai pendidikan ini sejauh diberitakan oleh media
lokal, tidak hanya di kota Tomohon tetapi juga dilaksanakan di Manado, Bitung,
Tondano, Amurang dan kabupaten lainnya di Sulut. Dan yang paling menarik dalam
setiap pawai itu adalah tampilnya drum band, marching band, musik pipa pralon,
musik bambu, dan tarian adat. Karena
itu, selain menghibur penonton juga membuat bangga orang tua bukan karena
melihat anaknya semata-mata sedang “memainkan” alat musik tetapi ada sebuah
proses pendidikan karakter yang berlangsung.
Suasana pendidikan karakter melalui pawai saya coba rekam
lewat foto-foto itu. Semoga berguna bagi orang tua agar, tak hanya memikirkan
prestasi anak, tetapi juga menyadari pentingya keseimbangan otak kanan dan otak
kiri melalui kegiatan kesenian.
Pengadaan peralatan Drum Band atau Marching Band itu tidak
murah bagi sekolah-sekolah yang kurang mampu. Demi pendidikan karakter seperti
itu, semestinya Pemerintah Kota membantu untuk meringankan biaya pengadaan
peralatan itu. Namun demikian, musik pipa pralon dan musik bambu bisa menjadi
alternatif bagi sekolah lain, bahkan terkesan kreatif dan inovatif.
“Seribu kali mendengar. tidak sehebat sekali melihat. Seribu
kali melihat, tidak kalah dengan sekali mengalami”, tutur Pak Ronald, owner
Boarding School di Lokon dalam upayanya menjelaskan tentang orang lebih pintar
bertanya daripada menjawab.
0 komentar:
Posting Komentar