[WPC 3]: Menangkap Garis Mitos Gunung Lokon

Gunung Lokon Saat Sunrise (Foto: trilokon)


Gunung Lokon (1.579, 6 m dpl), Tomohon, Sulawesi Utara masih menyimpan “misteri” bagi masyarakat yang tinggal di kaki gunung berapi itu. Aktivitas Gunung Lokon, pasca letusan 1 Mei yang lalu, belum “berhenti” hingga detik ini. Bahkan tanda-tanda akan meletus lebih hebat lagi, diberitakan oleh media lokal berdasarkan informasi yang diterima dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Pos Pemantaun Gung Lokon dan Mahawu di Tomohon, mencatat masih ada aktivitas gempa vulkanik susulan di kawah Tompaluan, pasca letusan Selasa, 1 Mei 2012, pukul 11.55 wita.  

Tak ingin terjadi banyak korban, Dinas Kesehatan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kapolres, Sarkolak, Desa-desa dan persekolahan di sekitar rawan bencana mendapat kucuran dana untuk tanggap darurat.  Contohnya, SMA Lokon yang berada tak kurang dari 3 km dari kawah dan setiap kali ada letusan menjadi langganan “disiram” debu vulkanik dan “digoyang” gempa yang mengakibatkan kaca-kaca bangunannya bergetar dan pintu-pintu kelasnya seperti ada orang yang menggebrak dari luar.

“Satu unit kendaraan AVP, lima unit alat komunikasi kami terima dari pemerintah untuk tanggap darurat bencana Gunung Lokon”, kata Pak Ferry, Kepala Sekolah SMA Lokon baru-baru ini. Di pihak lain, “2 unit kendaraan telah siap untuk dijadikan rumah sakit darurat, bagi korban bencana” jelas Kapolres Tomohon. “500 juta rupiah juga sudah dialokasikan untuk menopang kebutuhan para pengungsi di 23 titik pengungsian yang sudah ditentukan. Ribuan masker sudah tersedia untuk mencegah abu vulkanik saat terjadi hujan abu. Demikian juga, tenaga sukarelawan yang dikoordinir oleh SAR dan BNPB” ungkap pejabat Pemkot.

Meski sudah terprogram secara sistematis bagaimana mengantisipasi ‘tanggap darurat” terhadap bencana letusan Gunung Lokon, tapi bagi masyarakat Kakaskasen, Kinilow yang berdomisili di kaki Gunung Lokon merasa “aman” sehingga kadang tidak langsung mengungsi. Meski sirene meraung-raung sebagai tanda bahaya, namun masyarakat tetap tenang karena percaya pada garis mitos yang memang sudah dari jaman dulu dikisahkan turun temurun.

Mengapa masyarakat tidak begitu mudah untuk segera mengungsi, pada saat Gunung Lokon meletus?  Jika pertanyaan ini diajukan kepada warga masyarakat, maka yang terdengar hanyalah kata-kata ini “Ya bagaimana ya”. Keraguan mereka bisa dimaklumi. Selama ini, jika Gunung Lokon meletus, Opo (baca: opok) Lokon telah menyelamatkan mereka.

“Beberapa kali Gunung Lokon “polote”, debu vulkaniknya terbawa angin ke Utara hingga kami aman dari hujan debu. Pernah sekali debunya lari ke Selatan, tapi desa kami hanya dilewati saja tapi debunya jatuh ke pusat kota” kata Pala Lorong Kakaskasen Dua, saat ditanya soal mengapa desanya selalu terselamatkan dari bencana.

Pegunungan Mondoinding, Dilihat Dari Bukit Doa Mahawu (Foto: trilokon)


Mitos Opo Lokon dipercaya oleh masyarakat karena telah menyelamatkan dari setiap kali Gunung Lokon meletus atau sering disebut “ba sembur” atau “polote”. Masyarakat seperti mendapat perlindungan keselamatan karena apa yang disyaratkan oleh Opo Lokon sudah dipenuhi.  “Torang samua basaudara, Karena itu, torang mesti hidup saling berdampingan satu sama lain dengan damai dan kasih serta tolong menolong” lanjut Pala. Budaya Damai inilah yang diyakini sebagai salah satu syarat “keselamatan” yang sudah menjadi keharusan moral bagi setiap warga yang berdomisili di kaki Gunung Lokon.

Jejak kaki raksasa yang pernah ditemukan tempo hari di ladang sayuran warga juga menjadi garis mitos yang dipercayai bahwa Opo Lokon memang ada. Tampaknya, tapak jejak kaki raksasa yang posisinya mengarah ke kawah Tompaluan, diyakini sebagai kaki Opo Lokon.  Sampai saat ini belum ada sanggahan ilmiah termasuk dari kalangan agamawan, tentang garis mitos itu.

Baru-baru ini beredar foto gumpalan debu vulkanik letusan Gunung Lokon yang membentuk mirip wajah orang dan mirip salib. Foto itu beredar di Facebook dan menuai banyak komentar. Facebooker menduga bahwa bentuk wajah itu mirip Opo Lokon. Atas fenomena alam itu, masyarakat meyakini bahwa selain “diselamatkan” oleh Opo Lokon, juga menjadi tanda peringatan kepada masyarakat agar tetap menjaga kerukunan dan kedamaian antar sesama.

Memang, banyak pendatang yang mengakui bahwa garis-garis mitos yang beredar di tengah masyarakat itu adalah gari-garis kehidupan sosial masyarakat di Tomohon. Tak jarang orang luar Tomohon sering memberikan apresiasi bahwa kehidupan masyarakat Tomohon kondusif, terutama dalam kerukunan umat beragama dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Seperti misalnya, memarkir kendaraan di depan rumah atau, di pinggir jalan saat berkebun, aman-aman saja. Yang mengherankan, saya tidak pernah berjumpa dengan pengemis dan pengamen di jalan atau di warung-warung. Ketika saya tanya kepada salah satu teman saya, ia hanya mengatakan dengan singkat, “ah beking malu torang” (bikin malu kami saja).

Garis mitos itu masih menyimpan misteri dan tak ada jawabannya. Namun demikian, masyarakat Tomohon tentu perlu bercermin pada kisah Mbah Maridjan yang menjadi korban “wedhus gembel” (awan panas) letusan Gunung Merapi tahun lalu. Namun demikian, saya yakin masyarakat setuju bahwa tak akan ada jatuh korban bencana yang disebabkan karena garis mitos itu.

Foto-foto yang ditampilkan dalam tulisan ini adalah “Line Photography” yang mencerminkan garis-garis kehidupan alam dan masyarakat di sekitar Gunung Lokon yang mempercayai adanya mitos dan bersemboyan “Torang Samua Basaudara” (Kita semua adalah bersaudara).

Foto-foto tersebut adalah Koleksi pribadi dan diikutkan dalam WPC 3.




0 komentar:

Posting Komentar