Jejak Pagi
membuka mata, pintu jendela terbuka. Berdiri memandang ke arah langit. Tak ada sedikit pun kedip mentari pagi. Hanya putih berkabut menyelinap di sudut halaman taman.
Sosok pohon besar itu kekar menguat. Daun-daun jadi putih berselimut. Tak lagi menguap di antara sela titisan gerimis. Kakunya dingin tersandung mimpi. Kerjapun jadi bayangan tak terbatas.
Hentikan air matamu dari langit sebelah. Rupa berdansa sendirian. Kesana kemari membawa berita angin dan gemuruh rusuh hati.
“ Ini pagiku. Bukan pagimu. Di antara kita ada ruang. Ruang batin tak tersambung”.
Jejak Siang
bunga dalam kabut. Tak seindah kumbang terbang bersayap. Mengelilingi setiap sudut rajut rasa. Senang merayap. Tapi duka hinggap di setiap putik. Lemas dihisap wangi pada bulan madu.
Rona pipi ini sudah terhapus budi. Butir-butir air bekas hujan semalam. Menempel di dinding setiap kelopak bunga. Ingin rasanya mengibas segala duka.
“Siapakah yang akan menyiapkan makanan siang. Aku lapar. Lapar pada keadilan negeri”
Jejak Malam
hanyalah kabut di perjalanan ini. Tak seperti biasa. Langkah terangmu bak polusi. Hanya dingin berdiri. Membeku ironi malam.
Dua lampu menyala. Menempel pada tiang kemustahilan. Tak sedap dipandang seperti bunga tadi siang. Rasakan kalau kau pulang larut malam. Dihadang segudang pertanyaan. Digadang sepanjang jalan ini.
Mau dibawa kemana hidup ini? Pemimpin adalah aku. Bukan pemimpinku. Jejak ini yang membawaku kemana langkah malam, pagi lalu siang.
“Setiap perjalanan adalah langkah. Setiap langkah adalah jejak. Dan jejakku menuju ke kabut”.
untuk teman-teman malamku, Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar