Pada sebuah pesta rakyat
tanpa kertas undangan tersirat
kutuangkan gelas piala berisi anggur
untuk Bapak Presiden dari tanah makmur.
Beliau datang melalui jendela sepi
sendirian tanpa ditemani istri
Galau hatiku sudah kusapu
hanya untuk bisa toast bersama beliau.
“Selamat malam Bapak Presiden,
mohon toast dengan saya kali ini saja”
Kemudian dua gelas piala saling beradu
menggoyang air anggur merah penuh berkah.
Keringnya kerongkongan yang parau akan demokrasi
terpenuhi sudah oleh seremoni malam ini.
Tampak Bapak Presiden tersenyum kental
menutupi kantong matanya yang makin tebal.
“Bapak Presiden terimakasih atas toasnya
malam ini.” kataku dengan antuisias
bersamaan rasa manis pahitnya anggur beras
yang mengalir di rongga asa.
Alunan musik bambu yang mengiringi seremoni
malam itu, makin menghentak memanaskan suasana
aku sendiri makin jauh dari Bapak Presiden
karena beliau sudah siap baca teks di mimbar kenegaraan.
Beliau berkata pada rakyat yang sedang berpesta
“Semua masalah negeri ini sudah saya serahkan kepada
KPK dan biarkan lembaga ini bekerja dengan baik.
Sekali lagi, itu bukan urusan saya lagi.”
Tiba-tiba gelas piala yang kupegang lepas
karena tanganku dingin dan bergetar gerah
selepas mendengar sambutan Bapak Presiden
hingga lantai bumi ini menjadi berdarah oleh anggur merah.
Kemudian aku terkapar
dan selalu jatuh di pangkuan ibu pertiwi..
(2011, November)
0 komentar:
Posting Komentar