Kalau saya ditanya, apa itu puisi, maka saya akan
mendefinisikan puisi adalah kristalisasi penulis (penyair) dari bahasa tubuhnya
(body language) terhadap objek yang dilihat. Lebih detailnya, yang dimaksud
dengan kristalisasi adalah proses “rekaman” atau pengolahan data dengan
menggunakan semua inderanya (perasaan, batin, pikiran, hati, penciuman) menjadi
sebuah kata kalimat indah yang bisa terucapkan atau dituliskan.
Tak semua orang setuju dengan definisi itu. Ada yang
mendefinisikan puisi setelah puisi itu jadi. Maksudnya, rangkaian kata kalimat
diurai dan dianalisa satu persatu, mulai dari struktur puisinya, pilihan dan
makna setiap kata, pesan yang disampaikan oleh penyair, irama atau musik yang
diciptakan, hingga bunyi akhir dari setiap baris pun dilirik untuk membuat
definisi puisi.
Apa yang saya sampaikan itu, juga merupakan upaya saya untuk
memahami dan mengerti apa itu puisi. Pengalaman saya membuat puisi, mengajarkan
bahwa puisi lebih sulit ketimbang menulis repotase, opini atau cerpen dan
novel. Mengapa ini saya katakan, karena kendati kata-kata atau kalimat yang
digunakan untuk puisi itu pendek, namun sulitnya adalah memilih kata yang
mempunyai unsur bias, bermakna dan indah.
Media jejaring sosial seperti facebook, twitter atau yang
lainnya, kini menjadi media yang mudah untuk menuangkan puisi para penggunanya.
Status update diubahnya menjadi media berpuisi oleh penggunanya. Memang tidak
semua orang beraktivitas seperti itu. Namun, tak jarang saya membaca status
update seseorang dengan kata kalimat puitis. Apakah fenomena ini boleh
dikatakan Twitter Puisi? Kicauan berpuisi? Yang jelas saya menghargai para
pemilik akun jejaring sosial sudah mencoba memilih kata kalimat puitis itu
sesuai dengan rekaman bahasa tubuhnya.
Sebagai contoh saya membaca puisi yang ditulis di wall salah
satu pertemanan fb saya,
“Sudah April, Hujan.../
dan rindu itu tak usai/ ketika kau mengetuk senyapku/ menyodorkan dawai lama / yang
mesti kupetik lagi/ dan seketika aku tersadar/ oleh rengkuhan mesramu pada
malam yang menggigil/dalam diam” ( JL, dalam ketakterjangkauan cinta hujan
kepada pemujanya) @Jane AAL, 4 April
2012.
Dari puisinya itu, Jane mencoba menggambarkan suasana hujan
yang mengingatkan dia saat pertemuan dengan kekasihnya. Momen seperti itu
agaknya akan dihadirkan kembali melalui petikan (gitar) namun diberi makna kuat
pada perlindungan suami (setelah menikah) selama-lamanya pun ketika ia merasa
sendiri. Berbeda dengan puisi berikutnya. Keharmonisan iman dan perbuatan
manusia terhadap Sang Pencipta sedikit terganggu oleh angkara murka manusia
yang tak hentinya menyebabkan keluarnya airmata (duka) bagi orang lain. Akibat
dosa? Seperti inilah yang ia tulis di
status fb-nya,
“Di kedalaman
kesadaran kita/ Surga merintih dan memori memori malaikat meneteskan airmata
yang tidak sampai ke bumi. / Airmata itu tertahan di lapisan atmosfer bernama
angkara./ Dan seketika manusia tidak mampu lagi membedakan airmata surga dan
musik yang mengalun dari ruang musik milik malaikat./ Manusia terlalu sibuk
dengan airmata airmata dan lagu karangan mereka sendiri” (JL, pada ekstasi
selera jiwa) @Jane AAL, 2 April 2012
Saya pun juga sering menulis puisi di wall fb saya. Salah
satunya seperti ini.
“[jejak hari] -
hari-hari matahari tidak nongol, siang jadi sore, sore jadi rabun, mata jadi
pedas menatap silau kaca bersinar, membosankan tetapi bisa ceria tidak seperti
jatuhnya gerimis dan sapuan angin hingga dedaunan menari-nari mengejar langit,
kalau sudah begitu sebongkah dingin terasa menancap di sendi tulang. Hari ini
adalah ruang yang menggigil.” (Jejak Hari, 13 Maret 2012)
Puisi ini saya buat karena saya terjebak oleh cuaca ekstrem
yang membuat saya seakan tak kuasa untuk berbuat yang terbaik bagi orang lain.
Ruang yang menggigil adalah hidup yang selalu terbelenggu oleh pekerjaan yang
kurang bermanfaat dan membekukan kemanusiaan seorang.
Dalam perjalanan pulang ke Jawa, saya kadang sempat menulis
puisi di wall saya tentang situasi sosial masyarkat saya lihat dan menarik
untuk diwartakan.
“kubuka pagi pada
jendelaku/ tak ada embun menempel lagi pada kaca /hanya goresan berdebu jadi
jejak/ wajah langit pun tampak muram seram/ mengapa polusi kota menghapus biru
langitmu? // sejukmu bukan dari pohon lagi/ tapi dari mesin kamar AC-ku/ Jejak
manusia padat di kota/mengusir embun dari keringat jendela/ menampar setiap
langkah pagi/ kapan kau ramah pada sekitarku (bandung | 2011.11.02)
Kicauan atau status update di jejaring sosial, tidak lagi dipakai
untuk menulis kegalauan hati atau pemberitahuan keberadaan seorang dengan
segala aktivitasnya, namun bisa juga untuk media berpuisi. Karena itu, saya
lebih suka menamakan Twitter Puisi. Siapa tahu, kicauan puisinya menarik hati
penerbit sehingga dicetak menjadi Kumpulan Twitter Puisi yang barangkali
perdana di Indonesia.
Pagi ini saya mendapat tag line yang berbunyi @jokopinurbo: Bulan adalah hosti yang akan dipecah-pecah
dan dibagikan kepada ribuan malam. Rupanya ia kutip dari salah satu puisi
dari Joko Pinurbo, penyair yang terkenal karena kumpulan puisinya yang berjudul
“Celana” (44 puisi) meraih “Sih Award” (2011)
Kreatifitas seseorang bisa disalurkan di media apa saja. Tak
terkecuali di jejaring sosial. Jika banyak orang memanfaatkan media jejaring
sosial untuk mengekspresikan puisinya, maka perkembangan sastra di Indonesia
boleh dikatkan maju selangkah. Generasi baru penyair sesuai dengan “jamannya”
jejaring sosial, niscaya akan bermunculan sehingga disebut generasi penyair
twitter. Siapa tahu?