Hari Selasa kemarin (3/4/2012), adalah hari penerimaan rapor mid-semester bagi siswa-siswi sebuah SMA di kaki Gunung Lokon. Tidak seperti biasanya. Penerimaan rapor yang wajib diambil oleh orang tua atau wali, tidak lagi di kelas-kelas. Semua kegiatan dipusatkan di Sporthall yang sehari-hari dipakai untuk olah raga Basket atau Badminton indoor.
Cuaca cerah. Sporthall hari itu dipenuhi lebih dari 500
orang, termasuk orang tua/wali siswa yang datang mengambil rapor sekaligus
menjemput anak dari asrama untuk liburan Paskah selama 1 minggu. Bisa
dibayangkan betapa gaduhnya suasana penerimaan rapor saat itu.
Siapapun yang memasuki sporthall pada hari itu, seperti
saya, dibuat tercengang melihat gedung olah raga itu disulap menjadi ajang
pameran dan performance art dari para
siswa. Setiap kelas baik SMP maupun SMA mempunyai booth atau ruang pamer yang sekaligus tempat
pembagian rapor. Tak ketinggalan booth dari OSIS SMP dan SMA. Jadi dalam gedung
itu, berdiri 16 booth dan setiap booth
memamerkan karya seni dan kreatifitas para siswa. Sungguh pemandangan yang luar
biasa.
Menempati ruang tengah, telah disiapkan meja moderator dan
kursi-kursi yang nantinya dipakai untuk mendengarkan ceramah dari salah satu
anggota DPD RI asal Propinsi Sulut, Bapak Ferry FX Tinggogoy yang diundang untuk
memberikan “motivation training” bagi siswa, guna memicu semangat siswa untuk
tekun dan disiplin dalam belajar demi masa depan . Inilah slah satu aplikasi
dari kurikulum berbasis kehidupan yang menjadi ciri khas sekolah berasrama ini.
“Penerimaan rapor kali ini merupakan hasil dari PBL dan
Performance art” tulis Agnito, salah satu guru ICT dan senior training Intel
Corp. yang menyebarkan foto-foto kegiatan di jejaring sosial. Membaca caption-nya,
saya bertanya apa itu PBL? Lalu dijawab oleh Agnuto, PBL singkatang dari Project Based Learning. Bukan Problem
Based Learning (Belajar Berdasar Masalah).
“Bedanya, kalau problem based terserah masalahnya bisa apa
saja sedangkan Project Based masalah lebih ditekankan pada masalah riil yang
dihadapi sehari-hari oleh peserta didik dan menghasilkan produk yang nantinya
akan dipertunjukkan pada siapa saja tergantung stake-holder dalam proses KBM kita.
Sama-sama Problem Solving, tapi ada riset terlebih dahulu” demikian kata Agnito
yang mendampingi proses PBL siswa.
“Setelah ceramah Bapak Ferry FX Tinggogoy selesai, Kepala
Sekolah bersama guru wali kelas mengumumkan siapa yang menjadi juara di
kelasnya. Penghargaan diberikan kepada siswa yang meraih rangking juara 1, 2
dan 3 dalam bentuk piagam penghargaan. Di lain pihak, orang tua yang hadir
mendapatkan informasi bahwa untuk meraih prestasi belajar siswa harus
berkompetisi dengan siswa lain”, demikian sambutan salah seorang guru untuk
mengantar acara penerimaan rapor.
Lalu apa hubungan antara PBL (Belajar Berdasar Proyek) dan
semua kegiatan yang diselenggarakan di sporthall itu? Pertanyaan itu membuat
saya gundah karena saya belum menemukan jawaban dari manfaatnya metode PBL itu.
Apakah orang tua atau wali yang hadir saat itu menangkap pesan di balik
keramaian sport hall? Entahlah.
Yang jelas, hasil karya seni kreatifitas siswa yang dipajang
di masing-masing booth, ternyata dijual. Yang membeli, ya orang tua dan wali
yang datang. Tak ada pembeli lain. Satu dua terlihat ada guru yang tertarik
untuk membelinya. “Kami sedang cari duit untuk mendanai iven Lokon Cup yang
akan melibatkan seluruh tim Basket se-Sulut bulan Juni yang akan datang.
Berdasarkan pengalaman, subsidi tidak mencukupi. Karena itu, sejak awal kami
bertekad mencari dana dengan berbagai macam cara sesuai dengan kemampuan kami.
Kami sudah terbiasa menjual pisang goreng atau martabak kepada siswa. Kali ini
kami ingin produk kreatifitas kami mampu menghasilkan uang. Keuntungan
penjualan itu, untuk menambah pundi-pundi OSIS guna mensukseskan kegiatan akbar
nanti.” kata salah satu pengurus OSIS.
Kegiatan di sport hall itu baru gelaran pertama dari sebuah
langkah awal yang memberi suasana gembira kepada orang tua setelah melihat
produk-produk kreatif siswa yang dipamerkan. Mengelola masalah riil yang
dihadapi siswa menjadi produk yang bernilai secara ekonomis, menjadi acuan
dalam kegiatan itu. Semoga dengan metode PBL ini siswa, bukan menjadi konsumen
yang konsumtif tetapi mampu menghasilkan dan menciptakan produk yang diminati
pasar.
0 komentar:
Posting Komentar