Menggapai Prestasi Di Clasroom E-Learning, Siswa Papua Itu Tampak Serius




Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan Enos dan Eneas, dua siswa asal Timika Papua, yang mendapat bea siswa pendidikan dari Freeport melalui LPMAK untuk belajar di Sekolah Boarding School Lokon, Tomohon. Sekarang dua siswa itu sudah duduk di kelas XII yang dua minggu lagi akan menghadapi Ujian Nasional bersama dengan 111 teman lainnya.

“Rencana mau kuliah ke mana setelah lulus nanti?” tanya saya pada Enos yang masih suka mengunyah buah pinang. “Ke Philipina, pak” jawabnya. Mendengar jawaban ini hati saya sedikit meradang senang. “Sudah daftar?” sambung saya. “Lho pak, LPMAK ada “chanel” dengan salah satu Universitas di Philipina sebagai mitra pendidikannya”.  Mendengar jawaban itu, dalam hati semoga asa Enos tercapai.

“Oh ya saya ada foto kalian berdua sedang mengerjakan soal-soal UAS dengan menggunakan laptop biru bersama teman-teman lain. Kok wajahmu tegang? Tegang apa serius? “ tanya saya lagi sedikit bercanda. “Ah, Bapak. Pokoknya beres. Saya jadi ingin beli laptop sendiri. Dua juta boleh dapat pak?” jawab Enos dan didukung Eneas  yang asyik mengunyah buah pinang .

Kemajuan teknologi informasi bagi anak-anak remaja memang sudah menjadi kebutuhan guna mempermudah metode belajarnya. Dalam obrolan itu saya juga bertanya apa suka dengan facebook dan twitter. Mereka menjawab suka sekali karena bisa berkomunikasi dengan teman-teman lainnya. Apalagi koneksi Wifi di sekolah dan asrama lancar meski dibatasi hingga jam 9 malam.

Di lain pihak, “Sekarang warnet di rumah saya, sebulan hanya mendapat pemasukan kurang dari 500 ribu. Dua tahun lalu saya bisa meraup keuntungan bersih lebih dari satu hingga dua juta. Ini akibat dari kemajuan teknologi. Di mana-mana orang bisa internetan pakai hape. Modem untuk koneksi internet selain murah juga mudah didapatkan. Ya sudah”, cerita salah satu teman komunitas fotografer yang punya usaha warnet di rumahnya.

Kemudahan demi kemudahan untuk “online” terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kecanggihan perangkat pendukungnya. Tak heran kalau teman saya, Kepala Bagian Sarpras Sekolah, pernah bilang pada saya, “Tahun 2013 nanti, sekolah ini sudah menjadi “Cyber School” untuk mengembangkan kurikulum berbasis internet. Semoga saja 6 koneksi speedy yang tersambung ke sekolah tidak mengalami gangguan. Katanya, dengan kabel serat optik, kinerja koneksi internet bisa bertambah lancar” katanya penuh berharap sekaligus mengeluh jika koneksinya lemot.

Terkait dengan harapan-harapan itu, Agnito Moningka, guru ICT SMA Lokon dan senior trainer dari Intel Education, memberi keterangan pada foto yang diunggah di FB,  “Suasana Ujian Akhir Sekolah kelas XII. Bagi mereka yang membawa Laptop sendiri diadakan di kelas lain sedangkan yang tidak membawa Laptop sendiri melaksanakan UAS dengan mempergunakan CMPC dan dikombinasikan dengan LMS (moodle)”

Caption foto itu membuat saya penasaran apa yang dimaksudkan dengan CMPC dan LMS (moodle). Tak lama kemudian, Agnito menjelaskan bahwa CMPC singkatan dari Class Mate Personal Computer.  Tersedia 30 buah CMPC  berwarna biru dengan ukuran layar 9”, sumbangan dari Intel  Education Indonesia. Sedangkan LMS (Learning Management System) buatan Moodle adalah bagian lain dari Sistem pembelajaran berbasis web dengan mempergunakan software Moodle.

Tulisan ini dimuat di Kompasiana, silahkan klik di sini.
Berdasarkan keterangan itu, lalu saya mencoba mencari pejelasan lebih lanjut tentang LMC di Wikipedia. “Learning Management System (biasa disingkat LMS) adalah aplikasi perangkat lunak untuk dokumentasi, administrasi, pelacakan, pelaporan program pelatihan, kelas dan kegiatan ‘’online’’, program pembelajaran elektronik (e-learning program)”. Ditambhakan juga bahwa dimensi untuk belajar sistem manajemen meliputi ‘’Students self-service’’ (misalnya, registrasi mandiri yang dipimpin instruktur pelatihan), pelatihan alur kerja, penyediaan pembelajaran ‘’online’’ (misalnya, pelatihan berbasis komputer, membaca & memahami), penilaian ‘’online’’, manajemen pendidikan profesional berkelanjutan (CPE), pembelajaran kolaboratif (misalnya, berbagi aplikasi, diskusi), dan pelatihan manajemen sumber daya (misalnya, instruktur, fasilitas, peralatan).

Sedikit untuk melengkapi  bagaimana  alur e-learning itu beroperasi, silahkan lihat gambar di bawah ini.


Pecanangan e-learning atau di dunia pendidikan disebut Kurikulum Berbasis IT, sudah merambah ke sekolah-sekolah di Indonesia. Laporan Wikipedia menyebutkan,” Sekitar 34.628 sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia telah memiliki akses internet, tinggal mereka mau menerapkannya atau tidak.”

“Sekarang sudah dimulai dengan keterbatasannya. Yang paling sulit adalah mempersiapkan guru agar siap dan memahami pedagogi  dan metodologi mempergunakan IT dalam pembelajaran. Akan ada banyak perubahan aturan di sekolah dan asrama. Yang pasti tahun ajaran depan sudah full. Semua siswa baru SMP dan SMA akan mendapatkan CMPC. Satu siswa satu komputer.” tegas Agnito dalam pembicaraan online melalui komentar fotonya yang diunggah di facebook.

Tidak berhenti di situ saja. Saya pun lalu searching di Kompasiana dengan menggunakan kata kunci “e-learning”. Hasilnya memang luar biasa. Rupanya pembicaraan tentang  e-learning menuai pro dan kontra yang serius. Koneksi internet menjadi biang keladi dari kegagalan pengetrapan e-learning di sekolah-sekolah. Sehingga bisa dibayangkan wajah siswa papua tadi akan galau jika jawaban atas soal ujian UASnya yang dikerjakan dengan perangkat CMPC tak terkoneksi. Asa mereka untuk menguasai teknologi demi masa depannya  membangun tanah Papua bisa sirna jika koneksi internet mengalami gangguan.

Pendidikan itu memang mahal. Namun semahal-mahalnya pendidikan, kemajuan teknologi juga harus disikapi dengan bijaksana oleh semua pihak. Tenaga pendidik dan kependidikan perlu memompa diri agar bisa memanfaatkan kemajauan IT untuk mencerdaskan anak cucu bangsa ini melalui kurikulum berbasis IT atau e-learning. Sikap gaptek kiranya mulai dihilangkan demi memajukan kualitas pendidikan  di Indonesia.

Enos dan Eneas serta teman-temannya kini tidak lagi menjawab soal UAS dengan pensil atau alat tulis lain dan kertas. Hanya dengan mengetik jawaban di atas tombol-tombol  CMPC, jawaban Enos dkk sudah sampai di laptop guru. Tak hanya itu, penilaian benar dan salah pun langsung terdeteksi  sehingga tak berapa lama, nilainya sudah diketahui oleh siswa. Sayangnya belum semua guru bisa menyesuaikan sistem LMS  (e-learning) ini. Ini artinya bahwa Silabus dan RPP setiap guru, selayaknya berbenah diri menyesuaikan Kurikulum berbasis IT, agar tak ada siswa yang berani menyebut, “guruku gaptek”. .

Sumber tulisan dari WIkipedia, Intel Education, dan Agnito Moningka, guru IT SMA Lokon. senior trainer Intel Education.  Kontribusi foto dari Agnito Moningka dan koleksi pribadi.

0 komentar:

Posting Komentar