Berebut Lulus UN

Detik-detik menjelang UN telah beredar kunci jawaban soal UN yang disebarkan secara berjemaah lewat SMS dan diterima oleh siswa peserta ujian...

Pesona Pulau Pasir Putih Lihaga

“Pak Rory, berapa sewa kapal ke Lihaga?” tanya saya seusai foto-foto. “Enam ratusan ribu. Tergantung juga permintaan..

Puisi: Jejak Kehidupan

“Setiap perjalanan adalah langkah. Setiap langkah adalah jejak. Dan jejakku menuju ke kabut”.

Age Quod Agis

Age Quod Agis, ungkapan bahasa Latin ini, mempunyai arti, "lalukanlah apa yang harus dilakukan". Tentu, artinya bukan asal mengerjakan..

Menangkap Garis Mitos Gunung Lokon

Mitos Opo Lokon dipercaya oleh masyarakat karena telah menyelamatkan dari setiap kali Gunung Lokon meletus atau sering disebut “ba sembur” atau “polote”.

[WPC 4]: Malam Di Batas Kota, Memang Cantik Kok


“Mari berbicara lewat foto”, demikian narasi pembuka pada komunitas Kampret (Kompasianer Hobi Jepret) di Facebook. Sepintas membaca kalimat ini, terasa ambigu. “Masak sih, kita bisa berkomunikasi dengan foto?” sanggah saya tapi dalam batin saja.

Terpancing dengan statemen itu, lalu saya ingat dengan apa yang diajarkan oleh dosen Filsafat Antropologi ketika saya masih kuliah. “Semua ciptaan Tuhan, bisa diajak bicara. Hanya kualitas bicaranya tidak masif dan bergradasi secara intens. Manusia bisa berbicara dengan hewan atau semua mahkluk hidup. Hanya kualitas komunikasinya menengah. Manusia juga bisa mengajak ngobrol dengan batu atau benda mati lainnya. Hanya kualitasnya rendah sekali. Yang paling berkualitas adalah komunikasi  antar manusia.”

Atas dasar itu, foto pun, termasuk benda mati, namun secara visual ia menghidupkan diri lewat ekspresi yang tergambarkan. Artinya, kemampuan berdialog dan berbicara pada manusia boleh dikata berkualitas karena konsep otonomi dan korelasinya. Semua foto berpotensi untuk bisa berbicara secara intens atau bisa saja kurang komunikatif tergantung hasil fotonya.

Kendati begitu, adalah sebuah kesulitan besar untuk mendapatkan foto yang “mampu berbicara’ atau sering disebut foto yang berkarakter. Sejauh pengalaman saya sebagai pemula dalam dunia fotografi, menghasilkan foto yang baik, bukan tanpa perjuangan. Tak ada foto yang baik, tanpa terlebih dahulu melewati proses “learning by doing”. Setidak-tidaknya itulah proses pembelajaran saya ketika fotografi menjadi hobi. Belum sampai ke level profesional.

Menjadikan foto itu bisa berbicara, atau lewat foto, saya bisa berkomunikasi dengan siapa saja terutama dengan teman-teman penggila fotografi, adalah sebuah tantangan tersendiri yang mengasyikan. Berkali-kali saya “lamu” (banyak ngomong), bahwa semakin orang suka dengan fotografi semakin mendapatkan sebuah terapi yang menyehatkan. Maksudnya, saya bisa berlatih sabar, bijak, konsisten dan tentu saja yang namanya pembelajaran akhirnya menambah ilmu dan pengetahuan saya tentang fotografi.

Di mana saya bisa belajar berkomunikasi lewat foto? Ada dua tempat. Yang pertama ikut bergabung dalam komunitas fotografer ( de’kodakens) di sekitar tempat tinggal saya. Sebenarnya saya minder ikut komunitas fotografer itu. Alasannya saya, “gear” atau kamera dan lensa saya sangat standard. Saya beli kamera dulu tujuannya untuk motret dalam rangka mendokumentasikan setiap kegiatan. Atau tepatnya disebut sebagai “asal jepret” yang penting fotonya jelas. Memang saya akui saat itu, teknik pemotretan saya jauh dari semua teori fotografi. Tak heran, setting auto (warna hijau) dan P, sangat saya sukai.

Yang kedua, saya ikut bergabung dalam Kampret. Banyak hal saya diperkaya oleh kampretos (julukan para anggota Kampret). Mulai dari teknik, kategori dalam setiap foto sampai diskusi tentang perangkat kamera dan lensa. Pokoknya, ilmu saya tentang fotografi ditambahkan oleh Kampret. Apalagi akhir-akhir ini setiap minggu diadakan WPC (Weekly Photo Chalenge). Lebih lengkapnya, silahkan yang suka fotografi bisa bergabung dengan komunitas Kamprets melaui facebook.

Kembali ke sebuah pertanyaan dan pernyataan awal. Berbicara lewat foto. Kali ini, saya mau mencoba berkomunikasi dengan foto malam. Untuk lebih mudahnya saya ambil foto-foto malam saya ketika saya jalan-jalan malam di tengah kota. Kalau ada lagu berjudul “senja di batas kota”, foto-foto malam saya saya beri judul “malam di batas kota”.



Suatu hari, teman saya mengajak saya untuk hunting malam di kota Semarang. Pada malam yang cerah kami keluar rumah dan saat itu sudah pukul sembilan malam. Kota Tua, Pelabuhan Tanjung Emas, Seputaran Tugu Muda dan Lawang Sewu adalah target bidikan kamera kami. Mengapa spot-spot itu menjadi buronan kami, karena spot itu tak lain adalah ikon kota Semarang dan sudah dikenal secara meluas.

Setelah jepret sana jepret sini, saya kemudian menyimpulkan bahwa foto di malam hari tidak semudah foto di siang hari. Settingannya pada kamera harus pas. Kalau tidak pas, maka hasilnya blur atau shake. Teman saya mengusulkan agar main di slow speed dan pakai tripod. Saat membidik gunakan lat bantu senter untuk menimbulkan efek jelas pada foregroundnya. Sesekali nasehat itu, saya ikuti dan sifatnya join tripod karena saya belum punya tripod.

Setelah hunting, kami lalu pulang dan esoknya kami berdiskus soal foto hasil jepretan malam itu. Intinya, penguasaan teknik harus ditingkatkan lagi. Namun, ada yang lebih menarik. Foto-foto yang dihasilkan itu berbicara tentang masa lalu kota Semarang yang secara historis, mencerminkan tentang pengaruh penjajahan Belanda bagi masyarkat kota Semarang. “Belanda memang hebat dalam tata ruang kota dan pembangunan gedung-gedung yang tahan ratusan tahun. Sangat visioner” kata teman saya dengan polosnya, pada hal ia lahir di tahun 80-an.

Berbeda dengan foto malam saat saya di Jakarta. Kali ini teman saya mengajak saya ke puncak gedung Grand Indonesia yang katanya tingginya hingga 56 tingkat. Saat di puncak, angin begitu kencang hingga terasa seperti mau diterbangkan. Dengan semangat nekat, kendala kencangnya angin saya atasi dengan cara berlindung pada salah satu tembok yang menahan kencangnya angin.

Di atas puncak Grand Indonesia itu, Bunderan HI, Jalan Tamrin dan gemerlapnya kota Jakarta, menjadi target bidikan kamera saya berkali-kali hingga setengah putaran gedung GI itu. “Itulah kehidupan malam kota Jakarta. Tak kenal lelah sedikitpun kendati malam semakin melarutkan asa. Rasanya 24 jam hidup masih saja kurang kalau ada di Jakarta”, batin saya.  

Foto malam di batas kota, memang asyik. Tapi dibutuhkan nyali untuk memotretnya. Selain melawan angin malam dan waktu, teknik memotret malam perlu dikuasai. Untuk itulah saya belajar foto pada malam di batas kota dengan kamera dan lensa terbatas serta minimnya pengetahuan fotografi karena saya masih pemula dalam fotografi.  Akhirnya, mari kita berbicara lewat foto.

Untuk lebih lengkapnya tentang Weekly Photo Chalenge 4, Night Photography, silahkan klik di sini. Jika anda ingin mengenal lebih dalam tentang Kampret silahkan klik di sini.

Musik Pipa Pralon dan Pendidikan Karakter Anak


Musik Pralon, Pawai Pendidikan 2 Mei 2012

Lirik lagu Minahasa Opo Wananatase terdengar merdu ketika didendangkan oleh sekolompok pemain musik pipa pralon,  

“Opo wana natas'se/Tembone se mengale ngale/Tembone se mengale ngale/
Pakatuan pakalawiren…. Kuramo kalalei u langit/Tentumo kalalei un tana/Kuramo kalalei un tana/Tentumo kalalei ta in tou…”

Lagu itu dilantunkan di muka panggung kehormatan oleh siswa-siswi SD dengan pipa pralonnya sebagai alat musik. Masyarakat yang menonton pun ikut menyanyikan lagu rakyat Minahasa yang sangat populer bagi mereka. Meski siang itu terasa gerah karena teriknya mentari, namun rasanya sejuk setelah terlibat bersama dalam menyanyikan lagu “Opo Wananatase”

“Boleh foto akang tape anak yang iko pawai?” tiba-tiba terdengar suara dari hape teman yang berdiri di samping saya. “Yang mana Tanta?” “Itu rombongan SD yang bawa musik pipa pralon” “oke-oke” jawab Oten, teman fotografer yang sama-sama meliput Pawai Pendidikan Tomohon dalam rangka Hardiknas 2 Mei yang lalu.

Permintaan seperti itu bukan untuk pertama kali saya dengar. Dulu ketika ada pawai 17-an, saya sempat diminta hal yang sama oleh seorang Ibu yang sedang menonton pawai. Pengalaman itu kemudian saya kisahkan kepada teman-teman fotografer. “Udah biasa, sering ada permintaan dadakan untuk motret anaknya yang ikut pawai”, ujar teman saya. “Fotonya nanti akan dicetak dan dipasang di album atau dipigurakan dan dipasang di dinding kamar anaknya” jawab yang lain.

Betapa bangganya orang tua terhadap anaknya yang ikut pawai, batin saya. Pantas saja, kalau saya ikut dalam tim liputan saya melihat banyak penonton berjubel ikut memotret dari pingir jalan. Berbagai macam kamera dan video camera dipakai untuk tak mau ketinggalan merekam momen pawai itu. Bukan untuk narsis, saya kira, tetapi betapa berharganya kebanggaan orang tua terhadap anaknya.

Mengapa orang tua bangga terhadap anaknya yang ikut pawai itu? Pertanyaan ini mengingatkan saya akan sebuah banner yang dipegang oleh salah satu peserta pawai, “Mencerdaskan anak cucu bangsa Indonesia adalah tugas mulia orang tua”. Yang dimaksud dengan orang tua di sini tak lain adalah Pemerintah yang mengemban amanat Undang-undang RI. “Bahwa setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dasar dengan sebaik-baiknya demi perkembangan pribadinya yang utuh dan berkualitas”.

Dalam Wikipedia, disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.” 

Paham ini kemudian dikembangkan oleh John Dewey, filsuf dan educator, dari Amerika Serikat pada abad 20 dengan sebutan “pendidikan progresif, yang intinya pendidikan tidak terbatas pada dinding kelas (akademis), tetapi terbuka juga pada ruang luas dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.  “Masyarakat yang hidupnya hanya terpusat pada urusan politik dan ekonomi  dan meninggalkan pendidikan “berpusat pada anak” lewat pengembangan potensi dirinya secara utuh, sangat dibenci oleh John Dewey.

Atasa dasar itu, saya melihat Pawai Pendidikan bukan “toko berjalan” di mana setiap peserta pawai membawa bendera kebanggaannya sendiri dan memamerkan kepada masyarakat tetapi sebuah bentuk pendidikan karakter anak melalui “performance art”nya di jalan. Sejauh saya tahu, untuk menjadi anggota Marching Band atau Drum Band, atau tim musik lainnya siswa harus memiliki potensi untuk berkembang dalam musik, disiplin, bekerja sama dalam tim, dedikasi yang tinggi, kepemimpinan, serta toleransi.

Tradisi pawai pendidikan ini sejauh diberitakan oleh media lokal, tidak hanya di kota Tomohon tetapi juga dilaksanakan di Manado, Bitung, Tondano, Amurang dan kabupaten lainnya di Sulut. Dan yang paling menarik dalam setiap pawai itu adalah tampilnya drum band, marching band, musik pipa pralon, musik bambu, dan tarian adat.  Karena itu, selain menghibur penonton juga membuat bangga orang tua bukan karena melihat anaknya semata-mata sedang “memainkan” alat musik tetapi ada sebuah proses pendidikan karakter yang berlangsung.
Suasana pendidikan karakter melalui pawai saya coba rekam lewat foto-foto itu. Semoga berguna bagi orang tua agar, tak hanya memikirkan prestasi anak, tetapi juga menyadari pentingya keseimbangan otak kanan dan otak kiri melalui kegiatan kesenian.

Pengadaan peralatan Drum Band atau Marching Band itu tidak murah bagi sekolah-sekolah yang kurang mampu. Demi pendidikan karakter seperti itu, semestinya Pemerintah Kota membantu untuk meringankan biaya pengadaan peralatan itu. Namun demikian, musik pipa pralon dan musik bambu bisa menjadi alternatif bagi sekolah lain, bahkan terkesan kreatif dan inovatif.

“Seribu kali mendengar. tidak sehebat sekali melihat. Seribu kali melihat, tidak kalah dengan sekali mengalami”, tutur Pak Ronald, owner Boarding School di Lokon dalam upayanya menjelaskan tentang orang lebih pintar bertanya daripada menjawab.

[WPC 3]: Menangkap Garis Mitos Gunung Lokon

Gunung Lokon Saat Sunrise (Foto: trilokon)


Gunung Lokon (1.579, 6 m dpl), Tomohon, Sulawesi Utara masih menyimpan “misteri” bagi masyarakat yang tinggal di kaki gunung berapi itu. Aktivitas Gunung Lokon, pasca letusan 1 Mei yang lalu, belum “berhenti” hingga detik ini. Bahkan tanda-tanda akan meletus lebih hebat lagi, diberitakan oleh media lokal berdasarkan informasi yang diterima dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Pos Pemantaun Gung Lokon dan Mahawu di Tomohon, mencatat masih ada aktivitas gempa vulkanik susulan di kawah Tompaluan, pasca letusan Selasa, 1 Mei 2012, pukul 11.55 wita.  

Tak ingin terjadi banyak korban, Dinas Kesehatan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kapolres, Sarkolak, Desa-desa dan persekolahan di sekitar rawan bencana mendapat kucuran dana untuk tanggap darurat.  Contohnya, SMA Lokon yang berada tak kurang dari 3 km dari kawah dan setiap kali ada letusan menjadi langganan “disiram” debu vulkanik dan “digoyang” gempa yang mengakibatkan kaca-kaca bangunannya bergetar dan pintu-pintu kelasnya seperti ada orang yang menggebrak dari luar.

“Satu unit kendaraan AVP, lima unit alat komunikasi kami terima dari pemerintah untuk tanggap darurat bencana Gunung Lokon”, kata Pak Ferry, Kepala Sekolah SMA Lokon baru-baru ini. Di pihak lain, “2 unit kendaraan telah siap untuk dijadikan rumah sakit darurat, bagi korban bencana” jelas Kapolres Tomohon. “500 juta rupiah juga sudah dialokasikan untuk menopang kebutuhan para pengungsi di 23 titik pengungsian yang sudah ditentukan. Ribuan masker sudah tersedia untuk mencegah abu vulkanik saat terjadi hujan abu. Demikian juga, tenaga sukarelawan yang dikoordinir oleh SAR dan BNPB” ungkap pejabat Pemkot.

Meski sudah terprogram secara sistematis bagaimana mengantisipasi ‘tanggap darurat” terhadap bencana letusan Gunung Lokon, tapi bagi masyarakat Kakaskasen, Kinilow yang berdomisili di kaki Gunung Lokon merasa “aman” sehingga kadang tidak langsung mengungsi. Meski sirene meraung-raung sebagai tanda bahaya, namun masyarakat tetap tenang karena percaya pada garis mitos yang memang sudah dari jaman dulu dikisahkan turun temurun.

Mengapa masyarakat tidak begitu mudah untuk segera mengungsi, pada saat Gunung Lokon meletus?  Jika pertanyaan ini diajukan kepada warga masyarakat, maka yang terdengar hanyalah kata-kata ini “Ya bagaimana ya”. Keraguan mereka bisa dimaklumi. Selama ini, jika Gunung Lokon meletus, Opo (baca: opok) Lokon telah menyelamatkan mereka.

“Beberapa kali Gunung Lokon “polote”, debu vulkaniknya terbawa angin ke Utara hingga kami aman dari hujan debu. Pernah sekali debunya lari ke Selatan, tapi desa kami hanya dilewati saja tapi debunya jatuh ke pusat kota” kata Pala Lorong Kakaskasen Dua, saat ditanya soal mengapa desanya selalu terselamatkan dari bencana.

Pegunungan Mondoinding, Dilihat Dari Bukit Doa Mahawu (Foto: trilokon)


Mitos Opo Lokon dipercaya oleh masyarakat karena telah menyelamatkan dari setiap kali Gunung Lokon meletus atau sering disebut “ba sembur” atau “polote”. Masyarakat seperti mendapat perlindungan keselamatan karena apa yang disyaratkan oleh Opo Lokon sudah dipenuhi.  “Torang samua basaudara, Karena itu, torang mesti hidup saling berdampingan satu sama lain dengan damai dan kasih serta tolong menolong” lanjut Pala. Budaya Damai inilah yang diyakini sebagai salah satu syarat “keselamatan” yang sudah menjadi keharusan moral bagi setiap warga yang berdomisili di kaki Gunung Lokon.

Jejak kaki raksasa yang pernah ditemukan tempo hari di ladang sayuran warga juga menjadi garis mitos yang dipercayai bahwa Opo Lokon memang ada. Tampaknya, tapak jejak kaki raksasa yang posisinya mengarah ke kawah Tompaluan, diyakini sebagai kaki Opo Lokon.  Sampai saat ini belum ada sanggahan ilmiah termasuk dari kalangan agamawan, tentang garis mitos itu.

Baru-baru ini beredar foto gumpalan debu vulkanik letusan Gunung Lokon yang membentuk mirip wajah orang dan mirip salib. Foto itu beredar di Facebook dan menuai banyak komentar. Facebooker menduga bahwa bentuk wajah itu mirip Opo Lokon. Atas fenomena alam itu, masyarakat meyakini bahwa selain “diselamatkan” oleh Opo Lokon, juga menjadi tanda peringatan kepada masyarakat agar tetap menjaga kerukunan dan kedamaian antar sesama.

Memang, banyak pendatang yang mengakui bahwa garis-garis mitos yang beredar di tengah masyarakat itu adalah gari-garis kehidupan sosial masyarakat di Tomohon. Tak jarang orang luar Tomohon sering memberikan apresiasi bahwa kehidupan masyarakat Tomohon kondusif, terutama dalam kerukunan umat beragama dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Seperti misalnya, memarkir kendaraan di depan rumah atau, di pinggir jalan saat berkebun, aman-aman saja. Yang mengherankan, saya tidak pernah berjumpa dengan pengemis dan pengamen di jalan atau di warung-warung. Ketika saya tanya kepada salah satu teman saya, ia hanya mengatakan dengan singkat, “ah beking malu torang” (bikin malu kami saja).

Garis mitos itu masih menyimpan misteri dan tak ada jawabannya. Namun demikian, masyarakat Tomohon tentu perlu bercermin pada kisah Mbah Maridjan yang menjadi korban “wedhus gembel” (awan panas) letusan Gunung Merapi tahun lalu. Namun demikian, saya yakin masyarakat setuju bahwa tak akan ada jatuh korban bencana yang disebabkan karena garis mitos itu.

Foto-foto yang ditampilkan dalam tulisan ini adalah “Line Photography” yang mencerminkan garis-garis kehidupan alam dan masyarakat di sekitar Gunung Lokon yang mempercayai adanya mitos dan bersemboyan “Torang Samua Basaudara” (Kita semua adalah bersaudara).

Foto-foto tersebut adalah Koleksi pribadi dan diikutkan dalam WPC 3.




Lagi-lagi, Lokon Meletus



Selasa, 1 Mei 2012, pukul 12.00 wita, Gunung Lokon meletus lagi. Tanda letusan dimulai dari bunyi dentuman yang menggelegar sebanyak dua kali lebih.

Mendengar suara letusan itu, saya pun bergegas keluar sambil menenteng kamera. Setelah berlarian menuju tempat strategis di Bukit Doa, saya pun mengarahkan kamera saya untuk tak mau ketinggalan momen letusan Lokon kali ini.

Sementara saya mengambil foto, beberapa pengunjung Bukit Doa berlarian mendekat ke tempat saya berdiri untuk ikut menyaksikan gumpalan hitam mirip brokoli yang keluar dari lubang kawah Tompaluan. Melihat arah gumpalan itu, orang di sebelah saya berkomentar, “Kayaknya debu akan turun ke Kinilow. Wah bisa jadi, warga Kinilow senang kalau disuruh mengungsi. Soalnya mendapat perhatian yang memuaskan dari pemkot”.

Awan gumpalan letusan Gunung Lokon, tak begitu ketara karena awan menutupi pergerakkan abu vulkanik. Kali ini debu vulkanik itu tampak membumbung hingga mencapai lebih dari 500 meter menembus awan abu-abu. Diperkirakan hujan abu jatuh ke arah Barat melewati desa Warembungan dan sekitarnya.

Dari tempat saya mengambil foto, terdengar suara sirene meraung-raung menembus keramaian desa Kakaskasen. Pengumuman agar masyarakat diharapkan waspada terhadap dampak abu letusan juga terdengar samar-samar lewat pengeras suara.

Suara Marching Band yang sejak tadi pagi berlatih untuk pawai Pendidikan memperingati Hardiknas esok hari, sempat terhenti setelah mengetahui Gunung Lokon meletus. Aktivitas sekolah di SMA Lokon yang jaraknya kurang dari 5 km pun terhenti sesaat karena guru, pegawai dan siswa berhamburan keluar kelas untuk menonton.



Saat saya membuat tulisan ini, belum ada informasi dan konfirmasi resmi dari pihak PVMBG dan BNPB dari kota Tomohon. Namun sejauh mata memandang dari tempat saya yang tinggi, desa di kaki Gunung Lokon aman dari lahar panas atau abu vulkanik.

Gunung Lokon memang sering meletus. Tanggap darurat bencana sudah disiapkan dengan baik. Tak hanya itu, 23 titik lokasi pengungsian konon sudah disiapkan bila sewaktu-waktu Lokon meletus lagi.  Yang diperlukan hanyalah kesigapan dan kesiagaan petugas. Apalagi, beberapa hari lalu utusan dari PBB secara khusus datang untuk ikut memonitor Gunung Lokon dan tanggap darurat yang dikelola oleh Pemkot Tomohon.

Foto BW Pendidikan Nasional

 Entah mengapa. Setiap kali teman-teman Kamprets berbicara tantangan foto BW (Hitam Putih), pikiran saya selalu tertuju pada pendidikan di Indonesia. Apakah karena menjelang peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei nanti (dua hari lagi)? Atau karena perasaan saya saja yang ingin mengatakan bahwa bukan hanya foto yang BW tetapi dunia pendidikan kita pun juga ada BW-nya?

Yang jelas aroma Hardiknas sudah terasa di sekitar saya. Jumat dan Sabtu kemarin saya diminta untuk mengisi session “Character Building” bagi 112 siswa kelas X, Angkatan 10th, SMA Lokon berasrama. Dalam dua hari itu, saya disuruh untuk membentuk karakter para remaja itu dengan sebaik-baiknya. “Pokoknya terima beres”, kata salah satu guru BK sekolah itu.

Bukan tanpa alasan kalau sekolah menunjuk saya untuk “mengisi” kegiatan Character Building. Mulai dari angkatan 5 hingga angkatan 9, saya bersama tim selalu mendampingi dalam setiap kegiatan outbound dari pagi hingga sore. Seakarang mereka minta untuk dua hari. Siang, sore dan malam harus ada kegiatan yang berfokus pada pembentukan karakter.

Ketika sedang menjamu guru BK dan Wakasek Bidang Kesiswaan itu, tedengar dari kejauhan suara marching band yang sedang latihan. “Nah, suara marching band itu menjadi tanda bahwa Hardiknas makin dekat. Biasa, setiap Hardiknas ada pawai pendidikan. Siap-siap marching band, drum band, musik bambu, kolintang dan tarian tradisional dari setiap sekolah, ikut pawai” kata pak Tommy,  Wakasek Bidang Kesiswaan, saat ketemu dengan saya untuk acara Character Building.

Apakah kegiatan Character Building ini juga dalam rangka untuk memperingati Hardiknas? Yang jelas memang dari segi waktu berdekatan dengan Hardiknas, 2 Mei.  Setelah mereka pulang, lalu saya mulai berpikir tentang materi pembentukan karakter bagi 112 siswa sekolah berasrama itu.

Kemudian saya ingat ada seorang dosen filsafat yang mengatakan bahwa “Hidup yang berhasil itu berbeda dengan hidup yang bermakna. Lazimnya keberhasilan seorang diukur dari apa yang dicapai dan diperoleh. Sedangkan seseorang hidupnya bermakna terletak pada kemampuannya untuk memberi. Jadi, seorang guru yang sejati adalah seorang pribadi yang ingin memberikan dirinya agar hidup orang lain (siswa) menjadi bermakna”.

Tak jauh dari arti itu, pepatah dalam bahasa Latin menyebutnya, “Non scholae sed vitae discimus” (saya belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup). Karena itu, pemaknaan tentang pendidikan tak hanya untuk meraih prestasi setinggi mungkin di bidang akademis, (termasuk lulus UN 100%) tetapi aspek budi pekerti, etika moral, spiritual dan fisik termasuk dalam ranah intelgensia yang penting untuk pembentukan kepribadian siswa.



“Pendidikan memang harus diprioritaskan oleh negara. Saat ini yang dibutuhkan adalah revitalisasi persekolahan dan pendidikan secara umun untuk kembali pada tujuannya.  Karena itu, ada tiga syarat agar negara ini bisa maju. Yang pertama, pendidikan. Yang kedua, pendidikan dan yang  ketiga pendidikan.” kata Om Ronald, owner sekolah berasrama. “Mengapa pendidikan? Karena esensi dari pendidikan itu adalah pembentukan anak cucu bangsa yang utuh dan berkualitas serta takut akan Tuhan. Kalau pendidikannya saja tidak berkualitas, mana bisa membentuk manusia secara utuh dan berkualitas sebagai penerus bangsa ini?” lanjutnya dengan nada sedkit menggerutu terhadap sikon pendidikan di Indonesia dewasa ini.

Referensi itu, lalu saya jadikan bahan dasar untuk membuat materi pembentukan karakter selama dua hari itu. Hari pertama peserta yang terbagi dalam 10 kelompok, saya ajak untuk mengikuti Mahawu Jungle Trekking di hutan kaki Gunung Mahawu. Dalam trekking itu, setiap kelompok harus melalui 10 pos dan di setiap pos setiap kelompok mengerjakan tugas seperti asah otak, jembatan manusia, kapal pecah, estafet balon, menara air dll.

Dalam kegiatan itu, metode learning by doing atau sering disebut juga Experiential Learning kami pakai karena dengan cara itu, peserta bisa belajar banyak hal seperti leadership, kekompakan, team work, kecepatan memecahkan masalah, kepedulian, kebersamaan, motivasi, kreativitas, bela rasa dll. Sejauh pengamatan saya, saat mereka mendapatkan tugas di pos, setiap kelompok bisa menunjukkan sebagai team work dan leadership yang bagus.

Sebelum makan malam, diadakan pengayaan dan refleksi atas kegiatan trekking, di ruang meeting. Tema “Global Warming” dipilih terkait dengan kegiatan pengalaman perjalanan mereka di hutan. Kemudian benang berah trekking dan global warming diolah dan diekspresikan pada sebuah lukisan di atas karton Manila yang sesudah makan malam dipresentasikan. Monitoring pembentukan karakter dilakukan dengan cara menayangkan lewat proyektor foto-foto kegiatan mereka tadi.

Hari kedua , kegiatan berfokusn pada pembentukan karakter berbasis angkatan, bukan kelompok-kelompok lagi. Di Amphiteater terbuka, semua kegiatan seperti oposite, Pedang Samurai, Maju Mundur, Bangun bersama, Komunikasi, Folding Carpet, Labirin, dll dilaksanakan hingga sore hari.

Malam harinya kami adakan api unggun untuk menilai Yel-yel terbaik dan pementasan setiap kelompok. Hadiah bagi yang terbaik sudah kami siapkan dan kami beritahu sejak awal untuk memotivasi mereka bahwa fun games itu sebuah permainan namun tidak main-main.  Sebelum api unggun, dikumpulkan di ruang meeting untuk merefleksikan melalui foto-foto kegiatan pagi hingga sore hari. Sesudah itu, saya mengajak mereka untuk bergandengan sambil menyanyikan lagu-lagu kebersamaan.

Proses pembentukan karakter itu tidak semudah membalik tangan. Menjadi sebuah tantangan besar ketika saya mengetahui bahwa asal-usul siswa berasal dari Timika, Kaimana, Jayapura, Manado, Maluku, Makasar, Palu, Kotamobagu, Bitung, Sangir Talaud, Jawa, Kalimantan. Dalam pluralitas itulah pembentukan karakter harus dijalankan agar mereka paham bahwa untuk menjadi seorang pemimpin mereka harus bisa memimpin dirinya sendiri kendati keanekaragaman budaya, ekonomi,  bahasa, watak itu berbeda-beda.

Saya pun terpaksa dengan nada marah menggertak siswa-siswa yang berbicara sendiri ketika temannya sedang mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Masuk melalui telinga kiri keluar dari telinga kanan, dan tidak peduli serta kurang berpatisipasi terhadap setiap kegiatan, sudah saya pikirkan sejak awal seiring dengan perkembangan keremajaan mereka yang masih labil dan emosional.

Cerita pendidikan ini rasanya tak sesuai bagi mereka yang karena miskin lalu tidak bisa bersekolah. Miris memang jika mendengar bahwa sekolah itu mahal, sementara jumlah orang miskin makin bertambah seiring dengan minimnya lapangan pekerjaan.  Kendati ada istilah arisan pendidikan, namun toh bukan solusi instan. Lebih ironis, apabila diketahui, subsidi pendidikan yang seharusnya untuk memajukan pendidikan dan memberikan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu, ujung-ujungnya dikorupsi. Hati siapa yang tak galau ketika tersiar kabar dana BOS dipakai untuk plesiran ke luar negeri oleh segelintir wakil rakyat? (trilokon)

“Hujan Pece”, Sesudah Letusan Gunung Lokon Siang ini




Siang tadi sekitar pukul 11.25 wita, kembali letusan Gunung Lokon menggetarkan kaca-kaca di kantor. Saat itu saya sedang mengetik bahan untuk acara Character Building siswa SMA. Begitu mendengar suara dentuman keras dua kali dan derik getaran kaca, saya dan teman-teman langsung ke luar kantor dan mencari tempat untuk melihat abu vulkanik yang dikeluarkan dari kawah Tompaluan Gunung Lokon.

Tapi semua kecewa. Semburan awan hitam pekat ke udara tak kelihatan dalam jarak mata memandang. Awan tebal sudah menyelimuti lebih dahulu. Tak hanya itu, posisi halaman kantor yang berada di pintu masuk Bukit Doa sebelah Selatan kurang ideal untuk “menonton” Gunung Lokon meletus. Rumah penduduk dan pepohonan menghalangi pandangan kami. Posisi ini berbeda dengan spot di atas, tempat biasa saya mengambil foto aktivitas Gunung Lokon.

Baru sekitar 10 menit kemudian tampak dari lubang kawah, abu vulkanik masih terlihat menyembur ke udara. Sementara itu tersiar kabar bahwa di daerah KInilow, yang jaraknya kurang dari 2 km dari kawah, turun hujan. Masyarakat bilang “hujang pece”, yaitu bercampurnya debu vulkanik dengan air hujan sehingga membuat halaman rumah dan atap-atapmya “becek”, atau berlumpur.

“Itu bahaya kalau kena mata” kata Pikal sepulang mengantar salah satu Ibu cleaning service yang rumahnya di Kinilow. Ibu ini pulang karena mendapat telpon dari rumah yang mengabarkan bahwa hujan abu telah menimpa atap dan halaman rumah. “Tak sedikit kendaraan yang di parkir di halaman rumah, jadi kotor terkena hujan abu” lanjut Pikal bercerita kepada kami.

Letusan siang ini, memang sudah diprediksi oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) seperti yang disampaikan oleh Pak Surono.  Sejak Senin 23/4/2012 terjadi 50 kali gempa tremor di Gunung Lokon. Dikatakan, gempa ini meliputi gempa tektonik, gempa vulkanik, gempa hembusan, dan gempa kecil lainnya. Peringatan dini sudah disampaikan oleh Badan Penanggulang Bencana Kota Tomohon lewat media cetak dan radio. Sejak Senin status Gunung Lokon Siaga sehingga masyarakat harus waspada tanpa perlu ada pengungsian.

Pasca letusan tadi belum terdengan adanya korban. Namun diperkiraan masyarakat di daerah rawan bencana selamat karena abu vulkanik “dipaksa” turun oleh hujan di daerah Kinilow yang posisinya berada di sebelah Barat dari kawah.  Akibatnya daerah Patar, Kinilow, Kakaskasen terkena dampak hujan abu.  Aktifitas berkebun pun sempat berhenti sejenak di sekitar kaki Gunung Lokon.

Saya dan teman-teman kantor berada di kaki Gunung Mahawu, yang masuk wilayah Kaskasen II, Tomohon Utara, merasa bersyukur karena tidak kena hujan abu. “Hanya yang berjarak 2,5 km yang terkena. Kita kan ada di sekitar 5 km dari kawah Gunung Lokon”, kata teman saya dengan tenangnya.

“Turunnya hujan memang melegakan hati semua pihak. Abu vulkanik yang terpancar ke udara seakan tertahan oleh hujan. Kendati demikian pengguna ruas jalan Tomohon ke Manado harus ekstra hati-hati di sekitar Kinilow.” demikian himbauan disampaikan oleh pihak keamanan. Pengumuman ini sekaligus mengantispasi kepanikan masyatakat yang berhamburan keluar rumah. Masker sudah disiapkan oleh pemerintah untuk mencegah terjadi penyakit sesak napas akibat dari letusan itu.

Saat tulisan ini saya buat, cuaca di sebagian kota Tomohon diliputi mendung dan habis turun hujan. Saya sempat menengok lubang kawah dari bukit di sekitar saya dan tampak hanya asap putih keluar dari lubang. Itu tandanya sudah normal kembali.

Pesona, Pulau Pasir Putih Lihaga




Deru mesin diesel minibus warna Silver, berkapasitas 12 orang, berubah menjadi musik sepanjang perjalanan wisata kami ke Pulau Lihaga. Kami berangkat dari Moyaporong, salah satu spot wisata religi bagian dari Bukit Doa di Tomohon sekitar pukul 9 pagi sehabis sarapan. 

Melihat birunya langit, saya dan rombongan yang berjumlah 10 orang tak langsung mengarah ke pulau tapi menuju ke Selatan untuk singgah ke Danau Linow, Lahendong. Tak kurang dari 20 menit menikmati danau vulkanik biru bergradasi hijau putih, kami kemudian bergerak ke pulau Lihaga.
Ke pelabuhan Serei di Kecamatan Likupang, Minahasa Utara itulah rute yang akan kami tempuh. dan dalam waktu dua jam lebih beberapa menit kami tiba di tujuan. Lamanya perjalanan tak membuat kami bosan karena sepanjang perjalanan kami ngobrol.

“Pak Bambang dan Bu Ira, sudah beberapa kali ke Manado?” tanya Jeff teman saya. “Kalau saya baru pertama kali datang ke Manado. Beda dengan bu Ira. Seringkali.” Jawab Pak Bambang dan sementara saya lihat wajah Ibu Ira tersenyum sambil mengiyakan ucapan Pak Bambang.

“Pulau Lihaga itu persisnya ada di mana sih?” ganti Pak Bambang bertanya kepada kami. “Lihaga, kalau dalam peta, berada di ujung atas pulau Sulawesi yang berbentuk huruf K. Kalau disambung bisa sampai ke General Santos, Davao, Philipina. Dan sederet dengan Pulau Sangir Talaud, Talise, Bangka. Gangga, pulau terdekat dengan Lihaga.” Jawab saya ikut menjelaskan.

Ke Lihaga bisa lewat laut. Tak jarang wisatawan datang dari Bunaken dengan kapal bermesin besar agar jarak tempuhnya bisa lebih singkat. Satu jam kira-kira perjalanan dari Bunaken ke Lihaga. Dipertigaan Sukur, kami belok kekiri. Dari sini, terus saja tanpa belok ke arah TPI, pelabuhan Likupang. Setelah itu, terus menuju ke Serei.  Jalan aspal menuju ke Serei sudah mengelupas sehingga laju minibus diperlambat agar tak terlalu keras goncangannya. Setibanya di pelabuhan, kapal perahu nelayan yang telah dipesan oleh Jeff teman saya sudah menunggu kedatangan kami.

Tak lama setelah barang bawaan kami seperti nasi kuning, air mineral, kukis, dan tas-tas masuk dalam kabin, deru suara mesin kapal terdengar. Kami bawa bekal karena di pulau tidak ada orang jual. Pelan namun pasti kapal dengan dua mesin dan berkapasitas penumpang hingga 25 orang, serta beratap bergerak tinggalkan dermaga. 


Indahnya pemandangan laut menggerakkan tangan saya untuk menghidupkan kamera. Agar dapat obyek foto terbaik, saya duduk di atap kapal. Dari atap samar-sama Lihaga sudah terlihat. Teriknya matahari  terasa membakar kulit, tetapi tak menyurutkan niat saya untuk ambil foto. Tiga teman saya ikut pula naik ke atap.

“Pak Rory, berapa sewa kapal ke Lihaga?” tanya saya seusai foto-foto. “Enam ratusan ribu. Tergantung juga permintaan. Kalau ada order keliling pulau, ya nanti nego, karena banyak habiskan minyak. Nambah ongkos lagi” Jawab pak Rory, salah satu awak kapal. Dari percakapan, ternyata pak Rory sudah biasa dipesan wisatawan yang akan datang ke pulau Lihaga. Hari libur, Jumat dan Sabtu paling banyak rombongan datang wisata ke pulau yang luasnya 8 ha.

Sekitar lima belas menit kami sudah mendekati pulau. Sebelum berlabuh, kami keliling pulau itu melihat keindahan bibir pantainya yang sebagian berupa batu karang. Tak kurang dari 7 menit, kami sudah keliling pulau. “Batu karang itu untuk menahan ombak tinggi dari arah Timur karena memang langsung berhadapan dengan perairan lepas Laut Sulawesi” jelas pak Rory sambil menujuk pantai berkarang. 

Akhirnya kami berlabuh sebelah Barat pulau Lihaga. Begitu turun dari kapal, hamparan pasir putih lembut seperti “powder” sambut kedatangan kami. Airnya yang jernih langsung menggoda niat kami untuk langsung berenang atau snorkeling. 

Setelah menurunkan barang bawaan dan meletakkan di meja kayu tak jauh dari bibir pantai, saya pun melanjutkan hunting foto lanskap alam sekitar pulau. Terpesona indahnya, tak terasa saya sudah habiskan banyak frame foto. 

Saya lihat teman-teman saya berkejar-kejaran di pinggir pantai sambil berusaha saling membasahi dan mendorong hingga jatuh bergelimpangan antara pasir putih dan air laut. Sementara yang lain pun tampak berenang di tempat yang tidak dalam. Yang bawa peralatan snorkeling langsung berburu pemandangan di dasar laut. Yang lain duduk di kursi bambu menikmati alam dan ada yang jalan-jalan sepanjang pantai sambil berfoto pakai hapenya. Udara panas tak begitu dihiraukan begitu menyentuh air laut dan pasir putih pantai.
Aktifitas itu terhenti sejenak untuk makan siang bersama. Nasi kuning dan kue akhirnya mengganjal perut lapar saya. Hanya enak dan lahap, yang saya rasakan. Setelah makan, ada yang masih melanjutkan berenang sambil bersendau gurau. 

Di pulau itu sudah tersedia toilet dan ruang ganti. Satu rumah kayu ukuran kecil juga ada. Katanya kadang ada wisatawan yang menginap. Keterbatasan air bilas, membuat kesulitan bagi yang mandi setelah berenang. Tapi bagi teman-teman saya bukan halangan karena sesampai di rumah ia akan langsung mandi. Selain itu, di pulau kini ada penjaganya.  Membersihkan pulau dari sampah dan membantu kebutuhan para pengunjung, menjadi jasa mereka. Untuk jasanya ini kami memberi uang tinggalan secukupnya.

Sekitar jam tiga sore lebih saat teriknya panas matahari tak terlalu terasa lagi, kami memutuskan untuk pulang supaya sampai di Tomohon tidak terlalu malam. Dalam perjalanan pulang, keindahan pulau Lihaga menjadi sentral percakapan kami. 

“Jika dikelola dengan baik dan ditambah dengan fasilitas wisata seperti penginapan, restoran dan perlengkapan wisata bahari seperti jet sky, diving, dan snorkeling. Pasti banyak yang suka datang.” Kata pak Bambang, konsultan pariwisata dan hotel dari Surabaya.  Pulau itu alami dan belum dikelola dengan baik. Meski demikian sudah banyak yang datang ke pulau itu untuk berbagai kegiatan seperti outing, family gathering, hunting foto dan lainnya.

Di muat di Kompasiana, HL, 21 April 2012

Berebut Lulus UN


Pelaksanaan Ujian Nasional 2012 hari ketiga berjalan aman dan terkendali di sekolah-sekolah Sulawesi Utara. Tapi, Ujian Nasional kal ini tak luput dari sorotan kritis para pakar dan pemerhati pendidikan. Yang mulai ramai dibahas adalah tentang kriteria kelulusan siswa.

“UN bukan penentu kelulusan siswa. Yang menentukan siswa itu lulus adalah sekolah yang bersangkutan ditambah hasil UN. Perbandingannya 60 persen UN dan 40 persen Sekolah” demikian komentar Marhany Pua, anggota DPD RI ketika meninjau pelaksanaan UN di SMA Lokon, hari Senin yang lalu. Dalam “sidak” itu Marhany Pua didampingi Plt. Walikota Tomohon, Jimmy F Eman SE Ak, serta para pejabat Pemkot lainnya.

Di pihak lain, Komisi III DPRD Kotamobagu, bidang pendidikan mempertanyakan KepMenDikNas No 59 tahun 2011 tentang Kriteria Kelulusan Ujian Nasional. “Porsi kelulusan itu tidak proporsional dan bias. Bisa jadi siswa yang suka mbolos, berperilaku tidak baik, bisa lulus hanya dengan mengikuti UN” ungkap Agus Supriyanto, anggota DPRD Kotamobagu. Ia justru mengusulkan agar dibalik saja. 60% Sekolah dan 40% UN. Alasannya, yang tahu persis perkembangan karakter dan intelektual siswa adalah sekolah.

“Jika proporsi 60-40 itu tetap diberlakukan, maka apa yang dikeluhkan oleh orang tua bahwa belajar tiga tahun di sekolah hanya ditentukan dalam waktu 4 hari itu memang bukan isapan jempol saja” tambah Agus S, salah satu nggota Komisi III DPRD itu.

Sementara itu, penyelenggaraan UN di hari kedua dan ketiga ini berjalan lebih lancar daripada hari pertama. Bahkan, Wakil Gubenur Sulut, Dr. Djouhari Kasnil MPd, berjanji akan memberikan penghargaan bagi siswa yang meraih nilai terbaik di UN 2012 ini. “Kalau dulu berupa bea siswa, kali ini diupayakan dalam bentuk lain”, kata Kadis Diknas Sulut, Drs Star J. Wowor Msi menegaskan soal apresiasi pemerintah terhadap siswa berpretasi dalam UN.

Janji memberikan pernghargaan kepada siswa terbaik dan pernyataan UN bukan penentu kelulusan siswa ditanggapi oleh pihak sekolah sebagai hal biasa-biiasa saja. “Sama seperti tahun lalu juga begitu. Seharusnya sekolah pun juga mendapat penghargaan jika ada siswanya yang berprestasi” kata Tommy salah satu panitia lokal UN ketika ngobrol bersama saya di saat jam istirahat.

Kami ngobrol sebenarnya untuk membicarakan acara Character Building untu kelas X, setelah usai UN ini. Tetapi obrolan saya dengan Tommy dan Christ melebar hingga sampai pada cerita tentang pelaksanaan UN.

Intinya diakui bahwa detik-detik menjelang UN telah beredar kunci jawaban soal UN yang disebarkan secara berjemaah lewat SMS dan diterima oleh siswa peserta ujian. SMS jawaban soal UN itu makin meyakinkan saya tentang cerita ditemukannya sobekan kertas di toilet yang berisi kunci jawaban di sekolah lain.

Hingga sekarang, hal itu masih misteri siapa yang menyebarkan. Ada berita bahwa polisi akan melacak oknum pengedar jawaban itu dengan bantuan provider yang dipakai untuk SMS. Kehendak baik aparat itu membuat senang hati para guru. “Masak harga kunci jawaban itu katanya dibandrol hingga 7 juta rupiah per mata pelajaran” katanya penuh emosi.

Upaya pemerintah untuk meminimalisir kecurangan yang dilakukan siswa dan mengedepankan kejujuran pengawas dan siswa, disambut positif oleh berbagai pihak. Termasuk keterlibatan polisi dalam upaya mengamankan, terutama mengawal naskah ujian hingga aman sampai di sekolah, sungguh melegakan para guru karena mengutamakan nilai-nilai kejujuran.

Ketika disinggung soal tradisi 100% lulus dengan cara lima paket soal tadi, teman saya hanya berharap semoga masih bisa mempertahankan tradisi 100% lulus.

Tercatat jumlah peserta ujian tahun ini di Sulut ada sebanyak 15.744 siswa SMA, 962 siswa MA dan 11.992 SMK. (Sumber Diknas Propinsi).

Hari Terakhir Pake Seragam!


Hari terakhir Ujian Nasional kembali diwarnai dengan banyak kicauan aneka macam rasa. Hujan yang mengguyur beberapa kali dengan deras, tidak berpengaruh sama sekali pada perasaan setiap siswa. Jejaring sosial facebook dan twitter menjadi tempat penampungan semua rasa kelegaan usai UN. Tak sedikit yang  menganggap, berakhir sudah tahap “belajar” selama tiga tahun di sekolah (juga di asrama).

Inilah kicuan siswa, “ I hate you but I miss you @smaXXXXX, Sapa mo bale ke asrama?@priscilla, Lapor, UN sudah selesai ha ha ha ha @someone, RT@twogirls: selamat kaka2 kelas 3 sudah melewati ujian, RT@guysboy: Hari terakhir pake seragam-nya @smaXXXXX. RT@ayo coret tuh seragam, no need u again. RT@smaXXX:usai sudah UN. Siap tunggu lulus. Siap jadi mahasiswa bukan siswa lagi!, Puas-puasin dulu@smaXXXXX

Dari sekian ratus kicauan mereka di twitter, yang membuat dahi berkenyit adalah sikap yang mengatakan “Hari Terakhir Pake Seragam”.  Apa maksudnya dengan kicauan ini? Apa maunya mereka? Apakah artinya sudah merasa bebas dari kekangan seragam selama tiga tahun atau di balik itu ada rasa tak mau lagi berseragam? 

Memang tidak mudah menebak pikiran dan perasaan anak-anak remaja. Spontanitas kemauannya memang luar biasa. Susah untuk dipahami apalagi dimengerti. Jiwa mudanya kadang tak berkonsep logis dan masuk akal. Hanyalah luapan dan sikap emosional yang kian menggelora di saat UN berakhir.

Kini mereka pasti tidak bilang UN itu momok dan sosok yang menakutkan. UN bukan apa-apa lagi. Hanyalah masa lalu yang mengisyaratkan bahwa berakhir sudah kegiatan belajar mengajar selama tiga tahun di bangku sekolah.

 Mencoba memahami makna yang terkandung dalam kicauan tadi, maka tak heran kalau mereka, setelah UN berakhir,  lalu ramai-ramai mengadakan konvoi keliling kota untuk melepas ketegang “sesaat” di jalan raya dengan sepeda motor yang meraung-raung. Lebih miris lagi sementara mereka berteriak-teriak di atas suara geberan sepeda motornya, baju seragam mereka sudah tak tampak lagi sebagai seragam sekolah. Waduhhhhh…!!!

Baju biru putihnya sudah dipenuhi dengan coretan grafiti aneka warna. Pilox, cat semprot, laku keras karena jadi senjata mengumbar kebiasaan coret-coret baju seragam yang terakhir dipake. Kebiasaan ini ternyata tidak mudah untuk dihilangkan atau dialihkan ke hal yang lebih positif. Kepala Sekolah dan Guru Kesiswaan tak mampu membendung kalau sudah begini.

Pernah suatu ketika, saya bersama para guru memberikan pengumuman supaya kalau sudah tidak mau memakai seragam lebih baik dikumpulkan lalu kita sumbangkan ke teman sebaya yang membutuhkan. Tentu tanpa menyertakan badge atau atribut sekolah. Setelah pengumuman itu, di setiap sudut sekolah disiapkan kotak kardus untuk mengumpulkan baju celana seragam biru putih itu.

Apa yang terjadi? Hanya dua setel yang berkenan memasukkan di kotak itu. Tak mudah untuk mengubah mindset anak remaja ke hal yang positif dan bermanfaat banyak bagi orang lain meskipun  sempat mengutarakan pengertian positif kepada para siswa seperti ini.

“Seragam sekolah dengan atributnya bisa bernilai tinggi, ketika rasa rindu dan nostalgia di SMA menyeruak tiba-tiba di perjalanan hidup. Lihat baju-baju seragam dan pakaian keseharian para tokoh atau para pahlawan hingga kini memiliki nilai historis yang tak terbatas jaman dan bercerita tentang sejarah yang mampu mempresentasikan kepada generasi berikutnya tentang sebuah perjuangan dan kebersamaan. Tak jarang pakaian itu tersimpan hingga ratusan tahun” demikian himbaun itu disampaikan di hadapan mereka yang usai UN.

“Pak kan seragam sekolah itu sudah banyak kali difoto sejak kelas satu. Banyak tuh, di simpan di Facebook. Jadi kalau kangen ya liat aja di facebook” balas salah satu siswa. Sementara yang lain pun kompak menyetujui perkataan temannya.

Kalau sudah demikian, apakah didiamkan saja? Memang terdengar berita bahwa konvoi anak-anak SMA usai UN akan dikawal oleh polisi. Tujuannya meminimalisir tindakan anarkis, kemacetan lalau lintas atau keributan yang muncul akibat berkonvoi di jalan raya. Pengawalan konvoi pelajar SMA atau SMK tidak seratus persen memecahkan masalah kebiasaan coret-coret pada seragam mereka.

Pernah diusulkan dengan membuat museum sekolah. Salah satu isi museum, memajang seragam siswa yang lulus dan dipilih siswa yang menorehkan prestasi atau mengharumkan nama baik sekolah. Untuk lebih publik, maka ada seremoni “pemuseuman” seragam itu di hadapan seluruh civitas akademica sekolah dan yayasan. Tujuannya agar bisa menjadi tradisi yang positif. Seragam siswa lain yang terkumpul bisa disalurkan oleh sekolah kepada yang membutuhkan.

Hanya sayang usul ini tak terkabul karena tidak ada lagi ruang untuk museum sekolah. Katanya, cukup koleksi medali, piala, trophy dan piagam atau pemberian cendera mata dari para tamu yang pernah berkunjung ke sekolah. Itu pun hanya dimasukkan di almari-almari supaya kalau ada tamu bisa melihat langsung capain prestasi sekolah.

Dengan demikian, boleh ditanya kepada orang tua, apakah menyekolahkan anak karena tertarik pada segudang medali, piala dan trophy prestasi sekolah yang dipamerkan di almari di ruang lobby sekolah? Atau pembelajaran terhadap etika moral siswa agar memiliki pemikiran postif adan bermanfaat bagi orang lain? 

Dimuat di Kompasiana, 19 April 2012

Setiap Sekolah Wajib Diujinasionalkan?



Suka atau tidak suka, Ujian Nasional (UN) 2012, “must go on”. Tetap harus dilaksanakan. Karena itu, pagi ini (16/4) Menteri Pendidikan Nasional  RI, Muhammad Nuh mengadakan “sidak” di SMAN 13 Jakarta untuk memantau pelaksanaan ujian nasional. Di setiap kota/kabupaten, Gubenur, Walikota, dan Bupati hari ini menghiasi headline surat kabar dan berita on line karena membuka amplop coklat soal ujian nasional dengan penuh senyum di hadapan para siswa peserta ujian nasional.

Seremoni seperti itu sama persis dengan UN tahun lalu. Biasanya dilakukan pada hari pertama Ujian Nasional.  Dan Jarang (belum pernah sama sekali) mengadakan seremoni buka amplop soal pada hari terakhir ujian. Saya tidak tahu apa alasannya. Terkait dengan itu, sidak para pejabat itu mengisyaratkan kepada masyarakat bahwa tak ada kebocoran soal dan kunci jawaban UN dan dijamin aman karena melibatkan aparat keamanan untuk mensterilkan pelaksanaan ujian yang jujur, adil dan sportif.

Tulisan saya yang berjudul, “Ributnya Kicauan Alumni Jelang UN”, mendapat komentar yang aromanya antara setuju dan tidak setuju diadakan Ujian Nasional. Teman-teman kompasianer sebagian besar mempertanyakan soal esensi dari Ujian Nasional. Apa sih tujuan UN itu? Apakah UN itu syarat untuk lulus dan mengantongi ijasah yang kemudian dipakai untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi?

UN itu digunakan untuk mengukur stadard kualitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah. Dengan diadakan UN, maka akan ketahuan sekolah itu bermutu atau tidak. UN bukan momok seperti anggapan banyak orang. Tetapi UN adalah alat ukur kemampuan belajar siswa dan mutu penyelenggaraan sekolah dalam mengetrapkan kurikulum Pendidikan Nasional.

Mencermati komentar teman-teman kompasianer itu, kesan saya, UN masih menyisakan kasak-kusuk yang tidak jelas kegunaan di masyarakat. Di pihak lain, semua murid sekolah (SD, SMP. SMA/SMK) memang harus diujinasionalkan sebelum mereka lulus atau menyelesaikan kegiatan belajarnya serta sebagai syarat utama untuk melanjutkan ke sekolah lebih tinggi. Soal proyek dan kucuran dana pendidikan juga masih dipertanyakan, karena masih tersiar kabar bahwa ada sekolah yang atapnya bocor, siswa miskin yang tidak melanjutkan sekolah karena terbentur ekonomi yang sulit, masih terlihat anak jalanan yang lebih memilih tidak sekolah, dan lainnya.

Sementara itu, ada sebuah fenomena yang menarik untuk diketahui. Suatu ketika ada seorang murid kelas XI, (kelas 2 SMA) mengajukan diri untuk keluar dari sekolah. Ketika saya tanya alasannya kenapa berhenti sekolah? Murid ini, yang langganan juara kelas saat terima rapor semester, diam saja. Namun, setelah didesak dengan alasan untuk kepentingan membuat alasan keluar, maka akhirnya ia berbicara terus terang.

Katanya, keluarganya mau pindah ke Australia. Karena itu, ia akan sekolah di negara itu. Alasan melanjutkan sekolah ke luar negeri itu, bagi saya, masih aneh. Kenapa. Dalam logika saya, sebaiknya murid ini merampungkan dulu SMAnya sehingga setelah dapat ijasah bisa mendaftarkan diri ke Universitas di luar negeri.

Ternyata pikiran saya itu salah. Teman-temannya pun memberitahukan kepada saya bahwa masuk ke Universitas di Luar Negeri bisa melalui sekolah “graduate” atau sering disebut-sebut sekolah pra universitas, semacam college begitu. Setelah melalui jenjang college ini, siswa bisa diterima di Universitas.  Kejadian siswa keluar untuk pindah ke pra Universitas, bukan untuk pertama kali saya ketahui. Ada beberapa yang menempuh cara seperti ini.

Fenomena pindahnya murid SMA ke pra Universitas, bisa saja menjadi preseden bagi siswa lain ketika orang tua memiliki persepsi bahwa tanpa ijasah SMA pun masih bisa sekolah ke perguruan tinggi seperti di Australia atau di negara tetangga Malaysia dan Singapore. Memang, anggapan itu masih terlalu mahal untuk orang biasa. Dana yang dikeluarkan untuk masuk pra universitas itu, tidak sedikit, kecuali mendapatkan bea siswa dari universitas di luar negeri.

Dalam buku The Currikulum, karangan John Franklin Bobbit, 1918, dikatakan bahwa kurikulum adalah rekayasa sosial para pakar ilmu pengetahuan dalam upayanya mempersiapkan anak-anak agar menjadi orang dewasa yang sukses dalam masyarakat. Pembentukan kedewasaan pribadi anak terjadi di luar dan di dalam sekolah yang mencakup perbuatan dan pengalamannya sehingga menjadi manusia dewasa (sumber dari Wikipedia).

Di lain pihak, para pakar pendiikan mengatakan bahwa hidup berhasil berbeda dengan hidup bermakna. Umumnya, keberhasilan diukur dari apa yang dicapai atau diperoleh. Sedangkan hidup bermakna terletak pada kemampuan seorang untuk memberi. Karena itu, pendidikan (sejatinya) membawa anak ke sekolah untuk berhasil dalam hidupnya, terlebih agar hidupnya bermakna.  Jika definisi ini dirunutkan dalam kegiatan belajar mengajar, maka sekolah bukan hanya mengejar prestasi kog nitifnya saja tetapi pendidikan karakter karakter atau watak budi yang luhur juga dikejar.

Referensi ini semakin meneguhkan pikiran saya bahwa ijasah di tingkat SMA bisa dimonerduakan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.  Untuk menjadi manusia berhasil dan bermakna bisa diraih tanpa harus melalui ijasah. Namun bukan berarti tidak perlu sekolah. Masih butuh sekolah agar siswa memiliki ketrampilan teknis untuk menopang keberhasilan hidupnya. 

Selengkapnya lihat di postingan Kompasiana, 16 April 2012

Ributnya Kicauan Alumni Jelang UN 2012


“Good luck for natinonal exam”, “Semangat, yah buat ade angkatan 8 yang mau UAN”, “Pray for you, guys”, “Mari kita doakan buat ade-ade yang UAN, besok”, “Do the best and make your school proud of you!”, “Air matamu mahal harganya, jangan buang air matamu untuk buat yang ndak guna”.

Betapa ributnya kicaun mereka di twitter jelang Ujian Nasional besok. Memang, tidak semua kicauan yang berhubungan dengan UN 2012, saya tulis di sini. Menururt pantuan saya terhadap salah satu akun twitter sekolah berasrama dan terhubung dengan SMA-SMA lainnya, mereka ramai berkicau seputar menghadapi Ujian Nasional besok seperti yang saya tulis di alinea pertama.

Yang menarik dari ributnya kicauan itu adalah kicauan para alumni. Kepedulian dan saling mendoakan dan memberi semangat kepada adik kelas begitu besar. Empati dan simpati kepada alma mater dan adik-adik kelasnya yang besok menghadapi Ujian Nasional, datang bertubi-tubi.

Seperti tak menghiraukan terhadap ramainya pendapat pro dan kontra penyelenggaraan Ujian Nasional oleh pemerintah, para alumni sepakat mendukung dalam doa dan semangat buat adik-adik kelasnya. UN 2012 sudah di depan mata. Karena itu, buatlah yang terbaik untuk alma mater. “I’m not the best but I want to do the besf for all” Begitulah, inti pesan yang mau disampaikan buat adik-adik kelas.

Sikap realitis para alumni ini membungkam segala nasehat bijak dan silang pendapat tentang perlu tidaknya Ujian Nasional. Target dukungan mereka, tentu bukan tanpa alasan. Para alumni mempunyai alasan kuat. Sejauh ini tradisi sekolah lulus 100% sudah mereka pegang. Tak heran kalau tradisi lulus seratus persen juga diharapkan kepada adik-adik kelasnya. Ini bukan masalah gengsi sekolah. Tetapi tradisi itu membuat mereka makin mencintai alma mater dan membuktikan bahwa sekolah mereka memang berkualitas dan layak disebut sekolah yang menghasilkan siswa yang bermutu juga.

Sedemikian gawat dan gentingkah Ujian Nasional kali ini? Atau mengapa para alumni turun tangan dalam memberi empati dan simpati kepada adik-adik kelasnya sedang UN? Di pihak lain, apakah kicauan para alumni justru menjadi “beban psikologis” bagi mereka yang akan dan sedang melaksanakan UN 2012?

Memang rasanya tak perlu dijawab pertanyaan itu. Mengapa? Karena itulah realita pendidikan di Indonesia. Bahwa siswa wajib mengikuti Ujian Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah hingga sekarang.  Apapun alasannya, tetap harus mengikuti ujian. Bahwa ada yang bilang UN hanyalah alat untuk mengukur standar kelulusan seoarang siswa dari setiap sekolah, tetap saja menegangkan buat yang ujian. Masak disuruh sabar kalau ujian?

Nah, jika terdapat ada yang tidak lulus UN, air mata kedukaan begitu deras mengalir bersamaan dengan sikap beberapa orang tua yang mengatakan bahwa “sekolah tiga tahun hanya ditentukan dalam empat hari”.  Sikap sinis lain juga muncul begitu terbukti ada siswa yang beli jawaban ujian nasional dari oknum tertentu dengan harga mahal. Meski ada resiko bahwa jawaban itu tidak seratus persen dapat dipertanggungjawabkan karena terbukti ada sekolah yang 100 persen siswanya tidak lulus karena beli jawaban yang salah.

Jadi, bukan hanya rasa malu yang ditanggung oleh siswa yang tidak lulus. Tetapi sekolah pun juga malu jika tidak mencapai target kelulusan sempurna. Tak dapat dipungkiri, UN menjadi “beban spikologis”  yang mempertaruhkan muka sekolah di hadapan orang tua siswa dan masyarakat. Bisa jadi, kegagalan mencapai target siswa 100% lulus menjadi bumerang yang nantinya, menurunkan “pamor” atau citra sekolah sendiri.

Oleh karena itu, doa dan dorongan semangat dari berbagai pihak buat mereka yang UN sangat diperlukan dan penting karena “beban psikologis” itu tadi. Rupanya, situasi dan kondisi itu sudah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Mengubah tradisi itu, sama halnya mencari jarum dalam tumpukan ilalang. Sangat sulit.

Semakin sulitnya menghentikan tradisi UN karena UN sudah terkait dengan “proyek”  yang tak sedikit dana penyelenggaraannya. Apalagi UN membuat sibuk Kepala Sekolah dan Polisi yang “mengamankan” soal dan kunci jawabannya. Lalu, apa mau dikata kalau kunci jawaban soal UN kemudian diketahui bocor dan diperjualbelikan oleh oknum tertentu meski sudah ada sistem keamanannya?

Kicauan para alumni terhadap para adik-adiknya akan berubah menjadi “Selamat ya, sudah jaga tradisi lulus 100%”. Soal bagaimana caranya adik-adik kelasnya mengerjakan soal-soal UN itu, apakah pakai kunci jawaban yang dibeli atau murni ia kerjakan sendiri, bukan urusannya. Yang penting, alma mater atau sekolah dibanggakan karena sudah sukses menjaga tradisi siswa lulus 100%.

Begitulah suara kicaun mereka jelang pelaksanaan Ujian Nasional 2012 menurut pantaun saya dari twitter mereka. Untuk lebih jelasnya, kita tunggu bersama pengumuman hasil ujian nasional dan berita seputar pelaksanaan UN.


Twitter Puisi




Kalau saya ditanya, apa itu puisi, maka saya akan mendefinisikan puisi adalah kristalisasi penulis (penyair) dari bahasa tubuhnya (body language) terhadap objek yang dilihat. Lebih detailnya, yang dimaksud dengan kristalisasi adalah proses “rekaman” atau pengolahan data dengan menggunakan semua inderanya (perasaan, batin, pikiran, hati, penciuman) menjadi sebuah kata kalimat indah yang bisa terucapkan atau dituliskan.

Tak semua orang setuju dengan definisi itu. Ada yang mendefinisikan puisi setelah puisi itu jadi. Maksudnya, rangkaian kata kalimat diurai dan dianalisa satu persatu, mulai dari struktur puisinya, pilihan dan makna setiap kata, pesan yang disampaikan oleh penyair, irama atau musik yang diciptakan, hingga bunyi akhir dari setiap baris pun dilirik untuk membuat definisi puisi.

Apa yang saya sampaikan itu, juga merupakan upaya saya untuk memahami dan mengerti apa itu puisi. Pengalaman saya membuat puisi, mengajarkan bahwa puisi lebih sulit ketimbang menulis repotase, opini atau cerpen dan novel. Mengapa ini saya katakan, karena kendati kata-kata atau kalimat yang digunakan untuk puisi itu pendek, namun sulitnya adalah memilih kata yang mempunyai unsur bias, bermakna dan indah.

Media jejaring sosial seperti facebook, twitter atau yang lainnya, kini menjadi media yang mudah untuk menuangkan puisi para penggunanya. Status update diubahnya menjadi media berpuisi oleh penggunanya. Memang tidak semua orang beraktivitas seperti itu. Namun, tak jarang saya membaca status update seseorang dengan kata kalimat puitis. Apakah fenomena ini boleh dikatakan Twitter Puisi? Kicauan berpuisi? Yang jelas saya menghargai para pemilik akun jejaring sosial sudah mencoba memilih kata kalimat puitis itu sesuai dengan rekaman bahasa tubuhnya.

Sebagai contoh saya membaca puisi yang ditulis di wall salah satu pertemanan  fb saya,

Sudah April, Hujan.../ dan rindu itu tak usai/ ketika kau mengetuk senyapku/ menyodorkan dawai lama / yang mesti kupetik lagi/ dan seketika aku tersadar/ oleh rengkuhan mesramu pada malam yang menggigil/dalam diam” ( JL, dalam ketakterjangkauan cinta hujan kepada pemujanya) @Jane AAL, 4 April 2012.

Dari puisinya itu, Jane mencoba menggambarkan suasana hujan yang mengingatkan dia saat pertemuan dengan kekasihnya. Momen seperti itu agaknya akan dihadirkan kembali melalui petikan (gitar) namun diberi makna kuat pada perlindungan suami (setelah menikah) selama-lamanya pun ketika ia merasa sendiri. Berbeda dengan puisi berikutnya. Keharmonisan iman dan perbuatan manusia terhadap Sang Pencipta sedikit terganggu oleh angkara murka manusia yang tak hentinya menyebabkan keluarnya airmata (duka) bagi orang lain. Akibat dosa?  Seperti inilah yang ia tulis di status fb-nya,

Di kedalaman kesadaran kita/ Surga merintih dan memori memori malaikat meneteskan airmata yang tidak sampai ke bumi. / Airmata itu tertahan di lapisan atmosfer bernama angkara./ Dan seketika manusia tidak mampu lagi membedakan airmata surga dan musik yang mengalun dari ruang musik milik malaikat./ Manusia terlalu sibuk dengan airmata airmata dan lagu karangan mereka sendiri” (JL, pada ekstasi selera jiwa) @Jane AAL, 2 April 2012

Saya pun juga sering menulis puisi di wall fb saya. Salah satunya seperti ini.

“[jejak hari] - hari-hari matahari tidak nongol, siang jadi sore, sore jadi rabun, mata jadi pedas menatap silau kaca bersinar, membosankan tetapi bisa ceria tidak seperti jatuhnya gerimis dan sapuan angin hingga dedaunan menari-nari mengejar langit, kalau sudah begitu sebongkah dingin terasa menancap di sendi tulang. Hari ini adalah ruang yang menggigil.”  (Jejak Hari, 13 Maret 2012)

Puisi ini saya buat karena saya terjebak oleh cuaca ekstrem yang membuat saya seakan tak kuasa untuk berbuat yang terbaik bagi orang lain. Ruang yang menggigil adalah hidup yang selalu terbelenggu oleh pekerjaan yang kurang bermanfaat dan membekukan kemanusiaan seorang.

Dalam perjalanan pulang ke Jawa, saya kadang sempat menulis puisi di wall saya tentang situasi sosial masyarkat saya lihat dan menarik untuk diwartakan.

“kubuka pagi pada jendelaku/ tak ada embun menempel lagi pada kaca /hanya goresan berdebu jadi jejak/ wajah langit pun tampak muram seram/ mengapa polusi kota menghapus biru langitmu? // sejukmu bukan dari pohon lagi/ tapi dari mesin kamar AC-ku/ Jejak manusia padat di kota/mengusir embun dari keringat jendela/ menampar setiap langkah pagi/ kapan kau ramah pada sekitarku (bandung | 2011.11.02)

Kicauan atau status update di jejaring sosial, tidak lagi dipakai untuk menulis kegalauan hati atau pemberitahuan keberadaan seorang dengan segala aktivitasnya, namun bisa juga untuk media berpuisi. Karena itu, saya lebih suka menamakan Twitter Puisi. Siapa tahu, kicauan puisinya menarik hati penerbit sehingga dicetak menjadi Kumpulan Twitter Puisi yang barangkali perdana di Indonesia.

Pagi ini saya mendapat tag line yang berbunyi @jokopinurbo: Bulan adalah hosti yang akan dipecah-pecah dan dibagikan kepada ribuan malam. Rupanya ia kutip dari salah satu puisi dari Joko Pinurbo, penyair yang terkenal karena kumpulan puisinya yang berjudul “Celana” (44 puisi) meraih “Sih Award” (2011)

Kreatifitas seseorang bisa disalurkan di media apa saja. Tak terkecuali di jejaring sosial. Jika banyak orang memanfaatkan media jejaring sosial untuk mengekspresikan puisinya, maka perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatkan maju selangkah. Generasi baru penyair sesuai dengan “jamannya” jejaring sosial, niscaya akan bermunculan sehingga disebut generasi penyair twitter. Siapa tahu?

Instagram Android Bisa Untuk Landscape Photography


Cuaca pagi, sekitar pukul 8 wita, hari Minggu ini (8/4) sangat cerah. Dominasi langit biru dengan sedikit awan putih bak kapas melayang, membuat hati saya tergerak untuk jalan-jalan pagi. Hangatnya mentari pelan-pelan membakar tubuh saya yang semalam “direndam” hawa sejuknya pegunungan.

Indahnya panorama alam Gunung Lokon menjadi magnet ke mana langkah kaki saya harus berjalan. Saya pun berhenti di salah satu spot terbuka mengarah ke Gunung Lokon dan sekitarnya. Di tempat itulah, saya kemudian merogoh kantong saya untuk mengambil Galaxy Mini saya, hadiah ke tiga dari Lomba Cincin Api Kompasiana periode pertama.

Dengan menggunakan aplikasi editing dan sharing foto Instagram Android yang baru saja saya benamkan di hape itu, saya mulai beraksi kegirangan untuk mengambil foto-foto indahnya panorama alam pagi itu. Ini untuk pertama kali saya menggunakan instagram android untuk berfoto ria.

Konon, “kurang dari 24 jam setelah dirilis pada Selasa (3/4/2012), Instagram diunduh lebih dari 1 juta kali di toko aplikasi online Google Play” demikian berita dari Kompas.com. “ Pengguna Android akan bergabung dengan 30 juta pengguna Instagram dari pengguna iOS (iPhone, iPad, iPod touch) yang telah menghasilkan 5 juta foto per harinya” lanjutnya. Bagi saya, berita ini terlalu sensasional. Kenapa? Karena pengguna sebaiknya membuktikan dulu keampuhan Instagram dalam menghasilkan foto-foto yang bagus.

Karena dorongan ingin membuktikan keampuhan Instagram Android itu, maka saya ingin mencobanya untuk “test drive” aplikasi yang sudah saya install di Galaxy Mini saya. Saatnya sekarang untuk beraksi. Namun, sebelum berklik ria dengan hape saya, di benak saya sudah saya tanamkan pilihan Landscape Photography yang saya konsepkan.

Inilah hasil foto-foto saya bertema Landscape dengan menggunakan Instagram Android dari hape Galaxy Mini saya.



Bagaimana prosesnya? Dari layar sentuh hape, saya buka aplikasi Instagram. Terlihat tampilan fitur siap memotret dengan lima panel di bawah frame foto yang akan loading otomatis menampilkan foto yang terdahulu. Tak perlu menunggu selesai loading, saya sentuh panel tengah bergambar foto. Lalu muncul dua pilihan pick a source, yaitu “camera” atau “photo galery”.

Saya pilih “camera” karena saya akan memotret pemandangan alam di hadapan saya. Obyek foto , sudah saya bidik lalu saya sentuh tombol gambar kamera dan sedapat mungkin jangan goyang. Setelah saya potret, di layar muncul 2 pilihan “simpan” atau “buang”.  Setelah tombol simpan saya sentuh, kemudian muncul di layar kotak crop beberntuk bujur sangkar dengan empat titik tombol pada setiap garisnya. Fungsinya adalah meng-cropping bear kecilnya foto dengan cara zoom-in atau zoom-out. Jika croppingnya terlalu dekat, foto bisa blur dan hasilnya kurang baik.

Setelah editing foto, lalu ada dua pilhan yaitu Discard atau Accept. Jika pilih Discard berarti foto tersimpan dalam memory yang sewaktu-waktu bisa dibuka untuk diedit. Jika pilih Accept, selain menyimpan foto juga pemakai bisa edit dengan 18 filter yang disediakan. Untuk Landscape saya suka pilih filter, Normal, Hudson, X-Pro, Lo-Fi, Sutro dan Nashville.


Untuk membuat kesan jadul bisa menggunakan filter Earlybird, Toaster, 1977 atau Kelvin. Cuma filter ini tidak saya gunakan dalam mengedit foto Landscape karena hasilnya kurang enak dilihat.

Setelah selesai mengedit dengan pilhan filter, kemudian saya coba upload dan share ke facebook. Saya belum coba mensharingkan foto saya ke Twitter atau Foursquare.  Melihat foto yang saya upload ke facebook, dalam hati saya berkomentar, bagus juga hasilnya. Landscape dengan langit birunya tampah indah sekali. Dalam hati, boleh juga aplikasi instagram dipakai untuk foto pemandangan.

Itu cara yang pertama. Cara yang kedua adalah setelah mempotret obyek yang kita pilih, langsug saja pilih sentuh “discard” untuk menyimpan foto dan seterusnya. Di kamar, saya edit dulu foto-foto saya tadi, baru dengan bantuan wi-fi, saya upload ke jejaring sosial. Jadi, tidak langsung di edit setelah memotret obyek, karena saya ingin mengedit sesuai dengan selera saya.


Itulah pengalaman pertama saya menggunakan aplikasi instagram di Galaxy Mini saya. Bagaimana pendapat anda setelah melihat hasil foto-foto Landscape versi Instagram Andorid itu? Apakah anda akan me-anaktiri-kan DSLR atau Camera Pocket anda dan mengankemaskan Instagram?  Yang jelas, saat ini saya mempunyai mainan baru dan mainan baru itu akan saya gunakan lagi untuk memotret obyek-obyek yang saya sukai.

Menggapai Prestasi Di Clasroom E-Learning, Siswa Papua Itu Tampak Serius




Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan Enos dan Eneas, dua siswa asal Timika Papua, yang mendapat bea siswa pendidikan dari Freeport melalui LPMAK untuk belajar di Sekolah Boarding School Lokon, Tomohon. Sekarang dua siswa itu sudah duduk di kelas XII yang dua minggu lagi akan menghadapi Ujian Nasional bersama dengan 111 teman lainnya.

“Rencana mau kuliah ke mana setelah lulus nanti?” tanya saya pada Enos yang masih suka mengunyah buah pinang. “Ke Philipina, pak” jawabnya. Mendengar jawaban ini hati saya sedikit meradang senang. “Sudah daftar?” sambung saya. “Lho pak, LPMAK ada “chanel” dengan salah satu Universitas di Philipina sebagai mitra pendidikannya”.  Mendengar jawaban itu, dalam hati semoga asa Enos tercapai.

“Oh ya saya ada foto kalian berdua sedang mengerjakan soal-soal UAS dengan menggunakan laptop biru bersama teman-teman lain. Kok wajahmu tegang? Tegang apa serius? “ tanya saya lagi sedikit bercanda. “Ah, Bapak. Pokoknya beres. Saya jadi ingin beli laptop sendiri. Dua juta boleh dapat pak?” jawab Enos dan didukung Eneas  yang asyik mengunyah buah pinang .

Kemajuan teknologi informasi bagi anak-anak remaja memang sudah menjadi kebutuhan guna mempermudah metode belajarnya. Dalam obrolan itu saya juga bertanya apa suka dengan facebook dan twitter. Mereka menjawab suka sekali karena bisa berkomunikasi dengan teman-teman lainnya. Apalagi koneksi Wifi di sekolah dan asrama lancar meski dibatasi hingga jam 9 malam.

Di lain pihak, “Sekarang warnet di rumah saya, sebulan hanya mendapat pemasukan kurang dari 500 ribu. Dua tahun lalu saya bisa meraup keuntungan bersih lebih dari satu hingga dua juta. Ini akibat dari kemajuan teknologi. Di mana-mana orang bisa internetan pakai hape. Modem untuk koneksi internet selain murah juga mudah didapatkan. Ya sudah”, cerita salah satu teman komunitas fotografer yang punya usaha warnet di rumahnya.

Kemudahan demi kemudahan untuk “online” terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kecanggihan perangkat pendukungnya. Tak heran kalau teman saya, Kepala Bagian Sarpras Sekolah, pernah bilang pada saya, “Tahun 2013 nanti, sekolah ini sudah menjadi “Cyber School” untuk mengembangkan kurikulum berbasis internet. Semoga saja 6 koneksi speedy yang tersambung ke sekolah tidak mengalami gangguan. Katanya, dengan kabel serat optik, kinerja koneksi internet bisa bertambah lancar” katanya penuh berharap sekaligus mengeluh jika koneksinya lemot.

Terkait dengan harapan-harapan itu, Agnito Moningka, guru ICT SMA Lokon dan senior trainer dari Intel Education, memberi keterangan pada foto yang diunggah di FB,  “Suasana Ujian Akhir Sekolah kelas XII. Bagi mereka yang membawa Laptop sendiri diadakan di kelas lain sedangkan yang tidak membawa Laptop sendiri melaksanakan UAS dengan mempergunakan CMPC dan dikombinasikan dengan LMS (moodle)”

Caption foto itu membuat saya penasaran apa yang dimaksudkan dengan CMPC dan LMS (moodle). Tak lama kemudian, Agnito menjelaskan bahwa CMPC singkatan dari Class Mate Personal Computer.  Tersedia 30 buah CMPC  berwarna biru dengan ukuran layar 9”, sumbangan dari Intel  Education Indonesia. Sedangkan LMS (Learning Management System) buatan Moodle adalah bagian lain dari Sistem pembelajaran berbasis web dengan mempergunakan software Moodle.

Tulisan ini dimuat di Kompasiana, silahkan klik di sini.
Berdasarkan keterangan itu, lalu saya mencoba mencari pejelasan lebih lanjut tentang LMC di Wikipedia. “Learning Management System (biasa disingkat LMS) adalah aplikasi perangkat lunak untuk dokumentasi, administrasi, pelacakan, pelaporan program pelatihan, kelas dan kegiatan ‘’online’’, program pembelajaran elektronik (e-learning program)”. Ditambhakan juga bahwa dimensi untuk belajar sistem manajemen meliputi ‘’Students self-service’’ (misalnya, registrasi mandiri yang dipimpin instruktur pelatihan), pelatihan alur kerja, penyediaan pembelajaran ‘’online’’ (misalnya, pelatihan berbasis komputer, membaca & memahami), penilaian ‘’online’’, manajemen pendidikan profesional berkelanjutan (CPE), pembelajaran kolaboratif (misalnya, berbagi aplikasi, diskusi), dan pelatihan manajemen sumber daya (misalnya, instruktur, fasilitas, peralatan).

Sedikit untuk melengkapi  bagaimana  alur e-learning itu beroperasi, silahkan lihat gambar di bawah ini.


Pecanangan e-learning atau di dunia pendidikan disebut Kurikulum Berbasis IT, sudah merambah ke sekolah-sekolah di Indonesia. Laporan Wikipedia menyebutkan,” Sekitar 34.628 sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia telah memiliki akses internet, tinggal mereka mau menerapkannya atau tidak.”

“Sekarang sudah dimulai dengan keterbatasannya. Yang paling sulit adalah mempersiapkan guru agar siap dan memahami pedagogi  dan metodologi mempergunakan IT dalam pembelajaran. Akan ada banyak perubahan aturan di sekolah dan asrama. Yang pasti tahun ajaran depan sudah full. Semua siswa baru SMP dan SMA akan mendapatkan CMPC. Satu siswa satu komputer.” tegas Agnito dalam pembicaraan online melalui komentar fotonya yang diunggah di facebook.

Tidak berhenti di situ saja. Saya pun lalu searching di Kompasiana dengan menggunakan kata kunci “e-learning”. Hasilnya memang luar biasa. Rupanya pembicaraan tentang  e-learning menuai pro dan kontra yang serius. Koneksi internet menjadi biang keladi dari kegagalan pengetrapan e-learning di sekolah-sekolah. Sehingga bisa dibayangkan wajah siswa papua tadi akan galau jika jawaban atas soal ujian UASnya yang dikerjakan dengan perangkat CMPC tak terkoneksi. Asa mereka untuk menguasai teknologi demi masa depannya  membangun tanah Papua bisa sirna jika koneksi internet mengalami gangguan.

Pendidikan itu memang mahal. Namun semahal-mahalnya pendidikan, kemajuan teknologi juga harus disikapi dengan bijaksana oleh semua pihak. Tenaga pendidik dan kependidikan perlu memompa diri agar bisa memanfaatkan kemajauan IT untuk mencerdaskan anak cucu bangsa ini melalui kurikulum berbasis IT atau e-learning. Sikap gaptek kiranya mulai dihilangkan demi memajukan kualitas pendidikan  di Indonesia.

Enos dan Eneas serta teman-temannya kini tidak lagi menjawab soal UAS dengan pensil atau alat tulis lain dan kertas. Hanya dengan mengetik jawaban di atas tombol-tombol  CMPC, jawaban Enos dkk sudah sampai di laptop guru. Tak hanya itu, penilaian benar dan salah pun langsung terdeteksi  sehingga tak berapa lama, nilainya sudah diketahui oleh siswa. Sayangnya belum semua guru bisa menyesuaikan sistem LMS  (e-learning) ini. Ini artinya bahwa Silabus dan RPP setiap guru, selayaknya berbenah diri menyesuaikan Kurikulum berbasis IT, agar tak ada siswa yang berani menyebut, “guruku gaptek”. .

Sumber tulisan dari WIkipedia, Intel Education, dan Agnito Moningka, guru IT SMA Lokon. senior trainer Intel Education.  Kontribusi foto dari Agnito Moningka dan koleksi pribadi.