Hari Terakhir Pake Seragam!


Hari terakhir Ujian Nasional kembali diwarnai dengan banyak kicauan aneka macam rasa. Hujan yang mengguyur beberapa kali dengan deras, tidak berpengaruh sama sekali pada perasaan setiap siswa. Jejaring sosial facebook dan twitter menjadi tempat penampungan semua rasa kelegaan usai UN. Tak sedikit yang  menganggap, berakhir sudah tahap “belajar” selama tiga tahun di sekolah (juga di asrama).

Inilah kicuan siswa, “ I hate you but I miss you @smaXXXXX, Sapa mo bale ke asrama?@priscilla, Lapor, UN sudah selesai ha ha ha ha @someone, RT@twogirls: selamat kaka2 kelas 3 sudah melewati ujian, RT@guysboy: Hari terakhir pake seragam-nya @smaXXXXX. RT@ayo coret tuh seragam, no need u again. RT@smaXXX:usai sudah UN. Siap tunggu lulus. Siap jadi mahasiswa bukan siswa lagi!, Puas-puasin dulu@smaXXXXX

Dari sekian ratus kicauan mereka di twitter, yang membuat dahi berkenyit adalah sikap yang mengatakan “Hari Terakhir Pake Seragam”.  Apa maksudnya dengan kicauan ini? Apa maunya mereka? Apakah artinya sudah merasa bebas dari kekangan seragam selama tiga tahun atau di balik itu ada rasa tak mau lagi berseragam? 

Memang tidak mudah menebak pikiran dan perasaan anak-anak remaja. Spontanitas kemauannya memang luar biasa. Susah untuk dipahami apalagi dimengerti. Jiwa mudanya kadang tak berkonsep logis dan masuk akal. Hanyalah luapan dan sikap emosional yang kian menggelora di saat UN berakhir.

Kini mereka pasti tidak bilang UN itu momok dan sosok yang menakutkan. UN bukan apa-apa lagi. Hanyalah masa lalu yang mengisyaratkan bahwa berakhir sudah kegiatan belajar mengajar selama tiga tahun di bangku sekolah.

 Mencoba memahami makna yang terkandung dalam kicauan tadi, maka tak heran kalau mereka, setelah UN berakhir,  lalu ramai-ramai mengadakan konvoi keliling kota untuk melepas ketegang “sesaat” di jalan raya dengan sepeda motor yang meraung-raung. Lebih miris lagi sementara mereka berteriak-teriak di atas suara geberan sepeda motornya, baju seragam mereka sudah tak tampak lagi sebagai seragam sekolah. Waduhhhhh…!!!

Baju biru putihnya sudah dipenuhi dengan coretan grafiti aneka warna. Pilox, cat semprot, laku keras karena jadi senjata mengumbar kebiasaan coret-coret baju seragam yang terakhir dipake. Kebiasaan ini ternyata tidak mudah untuk dihilangkan atau dialihkan ke hal yang lebih positif. Kepala Sekolah dan Guru Kesiswaan tak mampu membendung kalau sudah begini.

Pernah suatu ketika, saya bersama para guru memberikan pengumuman supaya kalau sudah tidak mau memakai seragam lebih baik dikumpulkan lalu kita sumbangkan ke teman sebaya yang membutuhkan. Tentu tanpa menyertakan badge atau atribut sekolah. Setelah pengumuman itu, di setiap sudut sekolah disiapkan kotak kardus untuk mengumpulkan baju celana seragam biru putih itu.

Apa yang terjadi? Hanya dua setel yang berkenan memasukkan di kotak itu. Tak mudah untuk mengubah mindset anak remaja ke hal yang positif dan bermanfaat banyak bagi orang lain meskipun  sempat mengutarakan pengertian positif kepada para siswa seperti ini.

“Seragam sekolah dengan atributnya bisa bernilai tinggi, ketika rasa rindu dan nostalgia di SMA menyeruak tiba-tiba di perjalanan hidup. Lihat baju-baju seragam dan pakaian keseharian para tokoh atau para pahlawan hingga kini memiliki nilai historis yang tak terbatas jaman dan bercerita tentang sejarah yang mampu mempresentasikan kepada generasi berikutnya tentang sebuah perjuangan dan kebersamaan. Tak jarang pakaian itu tersimpan hingga ratusan tahun” demikian himbaun itu disampaikan di hadapan mereka yang usai UN.

“Pak kan seragam sekolah itu sudah banyak kali difoto sejak kelas satu. Banyak tuh, di simpan di Facebook. Jadi kalau kangen ya liat aja di facebook” balas salah satu siswa. Sementara yang lain pun kompak menyetujui perkataan temannya.

Kalau sudah demikian, apakah didiamkan saja? Memang terdengar berita bahwa konvoi anak-anak SMA usai UN akan dikawal oleh polisi. Tujuannya meminimalisir tindakan anarkis, kemacetan lalau lintas atau keributan yang muncul akibat berkonvoi di jalan raya. Pengawalan konvoi pelajar SMA atau SMK tidak seratus persen memecahkan masalah kebiasaan coret-coret pada seragam mereka.

Pernah diusulkan dengan membuat museum sekolah. Salah satu isi museum, memajang seragam siswa yang lulus dan dipilih siswa yang menorehkan prestasi atau mengharumkan nama baik sekolah. Untuk lebih publik, maka ada seremoni “pemuseuman” seragam itu di hadapan seluruh civitas akademica sekolah dan yayasan. Tujuannya agar bisa menjadi tradisi yang positif. Seragam siswa lain yang terkumpul bisa disalurkan oleh sekolah kepada yang membutuhkan.

Hanya sayang usul ini tak terkabul karena tidak ada lagi ruang untuk museum sekolah. Katanya, cukup koleksi medali, piala, trophy dan piagam atau pemberian cendera mata dari para tamu yang pernah berkunjung ke sekolah. Itu pun hanya dimasukkan di almari-almari supaya kalau ada tamu bisa melihat langsung capain prestasi sekolah.

Dengan demikian, boleh ditanya kepada orang tua, apakah menyekolahkan anak karena tertarik pada segudang medali, piala dan trophy prestasi sekolah yang dipamerkan di almari di ruang lobby sekolah? Atau pembelajaran terhadap etika moral siswa agar memiliki pemikiran postif adan bermanfaat bagi orang lain? 

Dimuat di Kompasiana, 19 April 2012

0 komentar:

Posting Komentar