Entah mengapa. Setiap kali teman-teman Kamprets berbicara
tantangan foto BW (Hitam Putih), pikiran saya selalu tertuju pada pendidikan di
Indonesia. Apakah karena menjelang peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal
2 Mei nanti (dua hari lagi)? Atau karena perasaan saya saja yang ingin
mengatakan bahwa bukan hanya foto yang BW tetapi dunia pendidikan kita pun juga
ada BW-nya?
Yang jelas aroma Hardiknas sudah terasa di sekitar saya.
Jumat dan Sabtu kemarin saya diminta untuk mengisi session “Character Building” bagi 112 siswa kelas X, Angkatan 10th,
SMA Lokon berasrama. Dalam dua hari itu, saya disuruh untuk membentuk karakter
para remaja itu dengan sebaik-baiknya. “Pokoknya terima beres”, kata salah satu
guru BK sekolah itu.
Bukan tanpa alasan kalau sekolah menunjuk saya untuk
“mengisi” kegiatan Character Building. Mulai dari angkatan 5 hingga angkatan 9,
saya bersama tim selalu mendampingi dalam setiap kegiatan outbound dari pagi
hingga sore. Seakarang mereka minta untuk dua hari. Siang, sore dan malam harus
ada kegiatan yang berfokus pada pembentukan karakter.
Ketika sedang menjamu guru BK dan Wakasek Bidang Kesiswaan
itu, tedengar dari kejauhan suara marching band yang sedang latihan. “Nah,
suara marching band itu menjadi tanda bahwa Hardiknas makin dekat. Biasa,
setiap Hardiknas ada pawai pendidikan. Siap-siap marching band, drum band,
musik bambu, kolintang dan tarian tradisional dari setiap sekolah, ikut pawai”
kata pak Tommy, Wakasek Bidang
Kesiswaan, saat ketemu dengan saya untuk acara Character Building.
Apakah kegiatan Character Building ini juga dalam rangka untuk
memperingati Hardiknas? Yang jelas memang dari segi waktu berdekatan dengan
Hardiknas, 2 Mei. Setelah mereka pulang,
lalu saya mulai berpikir tentang materi pembentukan karakter bagi 112 siswa
sekolah berasrama itu.
Kemudian saya ingat ada seorang dosen filsafat yang
mengatakan bahwa “Hidup yang berhasil itu
berbeda dengan hidup yang bermakna. Lazimnya keberhasilan seorang diukur dari
apa yang dicapai dan diperoleh. Sedangkan seseorang hidupnya bermakna terletak
pada kemampuannya untuk memberi. Jadi, seorang guru yang sejati adalah seorang
pribadi yang ingin memberikan dirinya agar hidup orang lain (siswa) menjadi
bermakna”.
Tak jauh dari arti itu, pepatah dalam bahasa Latin
menyebutnya, “Non scholae sed vitae
discimus” (saya belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup). Karena
itu, pemaknaan tentang pendidikan tak hanya untuk meraih prestasi setinggi
mungkin di bidang akademis, (termasuk lulus UN 100%) tetapi aspek budi pekerti,
etika moral, spiritual dan fisik termasuk dalam ranah intelgensia yang penting
untuk pembentukan kepribadian siswa.
“Pendidikan memang harus diprioritaskan oleh negara. Saat
ini yang dibutuhkan adalah revitalisasi persekolahan dan pendidikan secara umun
untuk kembali pada tujuannya. Karena
itu, ada tiga syarat agar negara ini bisa maju. Yang pertama, pendidikan. Yang
kedua, pendidikan dan yang ketiga
pendidikan.” kata Om Ronald, owner sekolah berasrama. “Mengapa pendidikan?
Karena esensi dari pendidikan itu adalah pembentukan anak cucu bangsa yang utuh
dan berkualitas serta takut akan Tuhan. Kalau pendidikannya saja tidak
berkualitas, mana bisa membentuk manusia secara utuh dan berkualitas sebagai penerus
bangsa ini?” lanjutnya dengan nada sedkit menggerutu terhadap sikon pendidikan
di Indonesia dewasa ini.
Referensi itu, lalu saya jadikan bahan dasar untuk membuat
materi pembentukan karakter selama dua hari itu. Hari pertama peserta yang terbagi
dalam 10 kelompok, saya ajak untuk mengikuti Mahawu Jungle Trekking di hutan kaki Gunung Mahawu. Dalam trekking
itu, setiap kelompok harus melalui 10 pos dan di setiap pos setiap kelompok mengerjakan
tugas seperti asah otak, jembatan manusia, kapal pecah, estafet balon, menara
air dll.
Dalam kegiatan itu, metode learning
by doing atau sering disebut juga Experiential
Learning kami pakai karena dengan cara itu, peserta bisa belajar banyak hal
seperti leadership, kekompakan, team work, kecepatan memecahkan masalah,
kepedulian, kebersamaan, motivasi, kreativitas, bela rasa dll. Sejauh
pengamatan saya, saat mereka mendapatkan tugas di pos, setiap kelompok bisa
menunjukkan sebagai team work dan leadership yang bagus.
Sebelum makan malam, diadakan
pengayaan dan refleksi atas kegiatan trekking, di ruang meeting. Tema “Global
Warming” dipilih terkait dengan kegiatan pengalaman perjalanan mereka di hutan.
Kemudian benang berah trekking dan global warming diolah dan diekspresikan pada
sebuah lukisan di atas karton Manila yang sesudah makan malam dipresentasikan. Monitoring
pembentukan karakter dilakukan dengan cara menayangkan lewat proyektor
foto-foto kegiatan mereka tadi.
Hari kedua , kegiatan berfokusn pada pembentukan karakter berbasis
angkatan, bukan kelompok-kelompok lagi. Di Amphiteater terbuka, semua kegiatan seperti
oposite, Pedang Samurai, Maju Mundur, Bangun bersama, Komunikasi, Folding
Carpet, Labirin, dll dilaksanakan hingga sore hari.
Malam harinya kami adakan api
unggun untuk menilai Yel-yel terbaik dan pementasan setiap kelompok. Hadiah
bagi yang terbaik sudah kami siapkan dan kami beritahu sejak awal untuk
memotivasi mereka bahwa fun games itu sebuah permainan namun tidak
main-main. Sebelum api unggun, dikumpulkan
di ruang meeting untuk merefleksikan melalui foto-foto kegiatan pagi hingga
sore hari. Sesudah itu, saya mengajak mereka untuk bergandengan sambil
menyanyikan lagu-lagu kebersamaan.
Proses pembentukan karakter itu
tidak semudah membalik tangan. Menjadi sebuah tantangan besar ketika saya
mengetahui bahwa asal-usul siswa berasal dari Timika, Kaimana, Jayapura,
Manado, Maluku, Makasar, Palu, Kotamobagu, Bitung, Sangir Talaud, Jawa,
Kalimantan. Dalam pluralitas itulah pembentukan karakter harus dijalankan agar
mereka paham bahwa untuk menjadi seorang pemimpin mereka harus bisa memimpin
dirinya sendiri kendati keanekaragaman budaya, ekonomi, bahasa, watak itu berbeda-beda.
Saya pun terpaksa dengan nada
marah menggertak siswa-siswa yang berbicara sendiri ketika temannya sedang
mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Masuk melalui telinga kiri keluar dari
telinga kanan, dan tidak peduli serta kurang berpatisipasi terhadap setiap
kegiatan, sudah saya pikirkan sejak awal seiring dengan perkembangan keremajaan
mereka yang masih labil dan emosional.
Cerita pendidikan ini rasanya tak
sesuai bagi mereka yang karena miskin lalu tidak bisa bersekolah. Miris memang
jika mendengar bahwa sekolah itu mahal, sementara jumlah orang miskin makin
bertambah seiring dengan minimnya lapangan pekerjaan. Kendati ada istilah arisan pendidikan, namun
toh bukan solusi instan. Lebih ironis, apabila diketahui, subsidi pendidikan
yang seharusnya untuk memajukan pendidikan dan memberikan pendidikan gratis
bagi yang tidak mampu, ujung-ujungnya dikorupsi. Hati siapa yang tak galau
ketika tersiar kabar dana BOS dipakai untuk plesiran ke luar negeri oleh
segelintir wakil rakyat? (trilokon)