Suka atau tidak suka, Ujian Nasional (UN) 2012, “must go on”. Tetap harus dilaksanakan. Karena itu, pagi ini (16/4) Menteri Pendidikan Nasional RI, Muhammad Nuh mengadakan “sidak” di SMAN 13 Jakarta untuk memantau pelaksanaan ujian nasional. Di setiap kota/kabupaten, Gubenur, Walikota, dan Bupati hari ini menghiasi headline surat kabar dan berita on line karena membuka amplop coklat soal ujian nasional dengan penuh senyum di hadapan para siswa peserta ujian nasional.
Seremoni seperti itu sama persis dengan UN tahun lalu.
Biasanya dilakukan pada hari pertama Ujian Nasional. Dan Jarang (belum pernah sama sekali)
mengadakan seremoni buka amplop soal pada hari terakhir ujian. Saya tidak tahu apa
alasannya. Terkait dengan itu, sidak para pejabat itu mengisyaratkan kepada
masyarakat bahwa tak ada kebocoran soal dan kunci jawaban UN dan dijamin aman
karena melibatkan aparat keamanan untuk mensterilkan pelaksanaan ujian yang
jujur, adil dan sportif.
Tulisan saya yang berjudul, “Ributnya Kicauan Alumni Jelang
UN”, mendapat komentar yang aromanya antara setuju dan tidak setuju diadakan
Ujian Nasional. Teman-teman kompasianer sebagian besar mempertanyakan soal
esensi dari Ujian Nasional. Apa sih tujuan UN itu? Apakah UN itu syarat untuk
lulus dan mengantongi ijasah yang kemudian dipakai untuk melanjutkan kuliah di
perguruan tinggi?
UN itu digunakan untuk mengukur stadard kualitas
penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah. Dengan diadakan UN, maka akan
ketahuan sekolah itu bermutu atau tidak. UN bukan momok seperti anggapan banyak
orang. Tetapi UN adalah alat ukur kemampuan belajar siswa dan mutu
penyelenggaraan sekolah dalam mengetrapkan kurikulum Pendidikan Nasional.
Mencermati komentar teman-teman kompasianer itu, kesan saya,
UN masih menyisakan kasak-kusuk yang tidak jelas kegunaan di masyarakat. Di
pihak lain, semua murid sekolah (SD, SMP. SMA/SMK) memang harus diujinasionalkan sebelum mereka lulus
atau menyelesaikan kegiatan belajarnya serta sebagai syarat utama untuk
melanjutkan ke sekolah lebih tinggi. Soal proyek dan kucuran dana pendidikan
juga masih dipertanyakan, karena masih tersiar kabar bahwa ada sekolah yang
atapnya bocor, siswa miskin yang tidak melanjutkan sekolah karena terbentur
ekonomi yang sulit, masih terlihat anak jalanan yang lebih memilih tidak
sekolah, dan lainnya.
Sementara itu, ada sebuah fenomena yang menarik untuk
diketahui. Suatu ketika ada seorang murid kelas XI, (kelas 2 SMA) mengajukan
diri untuk keluar dari sekolah. Ketika saya tanya alasannya kenapa berhenti
sekolah? Murid ini, yang langganan juara kelas saat terima rapor semester, diam
saja. Namun, setelah didesak dengan alasan untuk kepentingan membuat alasan
keluar, maka akhirnya ia berbicara terus terang.
Katanya, keluarganya mau pindah ke Australia. Karena itu, ia
akan sekolah di negara itu. Alasan melanjutkan sekolah ke luar negeri itu, bagi
saya, masih aneh. Kenapa. Dalam logika saya, sebaiknya murid ini merampungkan
dulu SMAnya sehingga setelah dapat ijasah bisa mendaftarkan diri ke Universitas
di luar negeri.
Ternyata pikiran saya itu salah. Teman-temannya pun
memberitahukan kepada saya bahwa masuk ke Universitas di Luar Negeri bisa
melalui sekolah “graduate” atau sering disebut-sebut sekolah pra universitas,
semacam college begitu. Setelah melalui jenjang college ini, siswa bisa
diterima di Universitas. Kejadian siswa
keluar untuk pindah ke pra Universitas, bukan untuk pertama kali saya ketahui.
Ada beberapa yang menempuh cara seperti ini.
Fenomena pindahnya murid SMA ke pra Universitas, bisa saja
menjadi preseden bagi siswa lain ketika orang tua memiliki persepsi bahwa tanpa
ijasah SMA pun masih bisa sekolah ke perguruan tinggi seperti di Australia atau
di negara tetangga Malaysia dan Singapore. Memang, anggapan itu masih terlalu
mahal untuk orang biasa. Dana yang dikeluarkan untuk masuk pra universitas itu,
tidak sedikit, kecuali mendapatkan bea siswa dari universitas di luar negeri.
Dalam buku The Currikulum, karangan John Franklin Bobbit, 1918, dikatakan
bahwa kurikulum adalah rekayasa sosial para pakar ilmu pengetahuan dalam
upayanya mempersiapkan anak-anak agar menjadi orang dewasa yang sukses dalam
masyarakat. Pembentukan kedewasaan pribadi anak terjadi di luar dan di dalam
sekolah yang mencakup perbuatan dan pengalamannya sehingga menjadi manusia dewasa
(sumber dari Wikipedia).
Di lain pihak, para pakar pendiikan mengatakan bahwa hidup
berhasil berbeda dengan hidup bermakna. Umumnya, keberhasilan diukur dari apa
yang dicapai atau diperoleh. Sedangkan hidup bermakna terletak pada kemampuan
seorang untuk memberi. Karena itu, pendidikan (sejatinya) membawa anak ke
sekolah untuk berhasil dalam hidupnya, terlebih agar hidupnya bermakna. Jika definisi ini dirunutkan dalam kegiatan
belajar mengajar, maka sekolah bukan hanya mengejar prestasi kog nitifnya saja
tetapi pendidikan karakter karakter atau watak budi yang luhur juga dikejar.
Referensi ini semakin meneguhkan pikiran saya bahwa ijasah
di tingkat SMA bisa dimonerduakan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Untuk menjadi manusia berhasil dan bermakna bisa
diraih tanpa harus melalui ijasah. Namun bukan berarti tidak perlu sekolah.
Masih butuh sekolah agar siswa memiliki ketrampilan teknis untuk menopang
keberhasilan hidupnya.
Selengkapnya lihat di postingan Kompasiana, 16 April 2012
0 komentar:
Posting Komentar