Berita Foto Atau Tulisan Baru Berfoto?


“Mari berbicara lewat foto” begitu kalimat awal Ajie Nugroho, memberikan info tentang hadirnya group baru FB yang diberi nama KAMPRETS (kompasianer hobi jepret). Saat saya menulis ini, anggota Kamprets sudah mencapai 137 orang, dan 360 foto yang diupload, serta 7 docs dilampirkan.

Saya harus mengakui, bahwa Kamprets telah mengubah kebiasaan saya dalam ber- FB. Kalau dulu saya suka langsung melihat status update, tetapi sekarang, saya suka membuka Kamprets. Mungkin, sharing dan koneksi antar anggota di group ini telah memikat hati saya. Tak sekedar itu saja, tulisan kompasianer yang di share di group ini, juga membuat saya tergerak untuk membacanya. Demikian juga foto-foto yang diupload di group ini.

Mengapa ini saya sampaikan? Atau mengapa hal itu menarik hati dan pikiran saya? Sebenarnya saya hanya tertarik dengan kalimat ini saja, “Mari berbicara lewat foto”.  Bagi saya kalimat itu lebih sarat makna dan arti daripada saya mengatakan “Biarkan foto berbicara sendiri”.  Munculnya perbandingan dua kalimat ini, mungkin karena selama ini saya lebih suka pada postingan yang ada fotonya daripada sama sekali tidak ada foto yang dilampirkan.

Dalam konteks repotase, tulisan tanpa foto itu rasanya hambar. Seperti sayuran tanpa garam. Bahkan, saya yakin seorang jurnalis warga tidak asal jepret obyek yang dirasa menarik atau memancing perhatiannya. Namun, ia akan memegang prinsip yang dibenamkan dalam mindset-nya yaitu pesan apa yang mau disampaikan dalam foto ini. Adakah relevansi antara foto dan pembaca? Demikian juga jika tulisannya dilampirkan foto.

Terus terang, ketika ada tulisan terbaru di tampilkan di Kompasiana, saya lebih tertarik melihat foto lebih dulu daripada tulisannya. Mengapa? Karena saya ingin melihat relevansi atau hubungan sebab akibat antara yang ditulis dengan foto yang ditampilkan. Jika diketahui tersambung dengan baik, tulisan seorang Kompasianer saya anggap berbobot. Meski demikian, saya sering terperangah oleh foto yang dilampirkan hanya karena dia suka atau hobi jepret. Cuma ilustrasi yang dipamerkan dalam tulisan.

Memang benar bahwa foto dalam tulisan yang diposting, tak jarang admin berusaha mengisi dengan foto yang relevan sama tulisan dan ini biasanya untuk keperluan HL. Kalau tidak HL, ngapain dikasih foto oleh admin. Bukankah begitu bung admin?

“Setiap tahun, Kompasiana berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk para penggunanya. Mulai dari penambahan fitur, perbaikan tampilan sampai peningkatan kinerja” demikian kata admin dalam mempublikasikan tampilan baru Kompasiana. Silahkan dicek di link ini Sambutlah Tampilan Baru Kompasiana 2012.

Apakah dengan alasan memberikan pelayanan terbaik bagi para penggunanya, kolom “Berita Foto” dimunculkan kembali? Apakah ada alasan yang tak terkatakan? Saya tidak tahu tetapi saya mencoba menebak dalam kapasitas saya sebagai kompasianer yang suka memposting tulisan berfoto.

Dewasa ini, jurnalis warga (Citizen Journalism) makin berkembang di level jejaring sosial karena memiliki kekuatan yang dahsyat dalam sharing dan koneksi antar warga. Kehadirannya makin berkelas ketika terhubung dengan jejaring sosial yang lain. Tak hanya itu, Kompasiana menempatkan diri sebagai media sosial yang banyak diakses oleh siapapun. Bahkan, sekarang televisi pun ikut-ikutan  menayangkan video-video hasil liputan warga. Ini sebuah perkembangan journalism yang signifikan.

Karena itu, apakah anda senang dengan kehadiran “Berita Foto” di lembar Kompasiana? Namun, sebelum anda mengungkapkan perasaan, silahkan anda coba klik dahulu salah satu judul di bawah foto yang nge-flash itu. Jika anda  sudah meng-klik, lembar kompasiana hilang dan berubah menjadi Kompas Citizen Image. Jadi, admin dengan sengaja menggiring anda ke tautan itu. Menggiring anda untuk ikut berpartisipasi bukan hanya Citizen Jurnalism saja tetapi Citizen Image.

Saya dulu pernah sedikit aktif mengirim foto-foto bernuansa kejadian atau peristiwa ke Kompas Citizen Image. Berharap foto saya dilihat oleh banyak orang supaya mereka tahu bahwa di Indonesia Timur sana sedang ada gejolak atau bencana alam. Asa saya ini belum sepenuhnya memuaskan hati. Foto yang saya kirim tak pernah mendapat tanggapan dari “pembaca” dan berapa jumlah yang melihat foto juga tak terdeteksi dengan jelas.  Bahkan tak ada HL untuk berita foto ini. Juga tak ada lomba untuk kehadiran foto ini. Akibatnya saya segan mengirim foto ke Kompas Citizen Image, kecuali ada foto peristiwa yang sangat langka dan tidak ada duanya di Indonesia atau dunia.

Kebosanan saya mengirim foto ke Kompas Citizen Image (yang sekarang terpampang dengan nama Berita Foto Kompasiana), janganlah di tiru. Biarkan asa saya didengar saja, bukan lalu membuat anda jadi malas berbagi foto berita. Meski masih ada tempat indah buat foto anda dalam setiap tulisan yang anda posting dan nyatanya langsung terbaca oleh siapa pun. 

Sebagai penggemar/hobi jepret dan salah satu member Kamprets, rasanya Berita Foto sebagai bentuk lain dari jurnalis warga, akan berkembang di kemudian hari. Betapa tidak. Saya amati, ada fenomena baru dalam Facebook. Yaitu, pergeseran minat facebooker, dari orang yang narsis ke fotonya yang narsis dan suka diupload di FB, meski bukan foto dirinya sendiri. Maksudnya, penggemar fotografi dewasa ini meningkat signifikan seiring dengan kecanggihan resolusi kamera di handphone, digital camera, dslr, laptop, tablet dll. Munculnya kelompok fotografer di mana-mana, salah satunya karena fotografi ternyata banyak manfaatnya di dunia jurnalism warga.

Jadi, anda lebih suka memposting berita foto atau tulisan berfoto? Tanpa menunggu jawaban anda, kesukaan anda akan terlihat dengan jelas pada tampilan Kompasiana terbaru (versi 2012) ini.

Salam Kompasiana.

0 komentar:

Posting Komentar