“Human Touch” Alih Bahasa Para Jurnalis


Suatu ketika saya diajak oleh teman saya, seorang wartawan senior sebuah Koran cetak terkenal di Indonesia, ke kantor seorang narasumber. Sebenarnya saya tidak diperkenan untuk ikut masuk ke ruang kerjanya. Akan tetapi, entah bagaimana caranya, akhirnya saya disuruh masuk ke ruang kerjanya.

Di ruang kerjanya yang rapih, ber-AC dan di dindingnya terpajang foto-foto pejabat dan para tokoh nomer satu di Indonesia, terjadilah pembicaraan serius namun santai. Sebelumnya, kami ditawari minum panas atau dingin. Saya pilih kopi hitam sedangkan teman saya air putih. Meski hanya disuguhi minuman, tapi saya merasa betapa indahnya keramah-tamahan di ruang kerja nara sumber itu.

“Jadi, apa yang mesti saya tulis?” tanya teman saya kepada narasumber, orang nomer satu di Propinsi. Pertanyaan itu tidak langsung ditanggapi. Tampak beliau sedang berfikir sejenak, sambil meluruskan kedua kakinya dengan santai, “Yang jelas cerita dimulai sebelum adanya Densus. Sejak terjadinya bom di tempat ibadat, hotel hingga Bali.” ujar narasumber dengan senyuman tipisnya hingga tampak gagah dan berwibawa.

Saya melihat teman saya begitu serius mencatat apa yang dikatakan oleh narasumber. Tanpa alat perekam, ia kemudian menyampaikan banyak pertanyaan kepada narasumber seperti koboi memuntahkan pelurunya kepada musuh-musuh yang mengincar dirinya. Suasana hangat seperti itu makin menarik rasanya untuk diikuti.  Saya pun ikut menikmatinya dan sekali-kali berbicara dalam hati, “Di hadapan siapapun, tanpa pandang bulu seorang wartawan bisa mengendalikan suasana”.

Setelah banyak informasi didapat, serta mendapat nomer kontak untuk melengkapi tulisan, tiba-tiba teman saya mempersoalkan gaya penulisan yang akan digunakan dalam buku nanti. “Saya sudah baca buku tentang Densus dan terorisme di Indonesia. Gaya bahasanya sangat teknis dan teoritis. Bisa jadi, pembaca tidak begitu nyaman dalam membaca buku itu. Sangat teknis dan kaku rasanya,” ungkap teman saya.

Komentar teman saya rupanya dirasakan juga oleh beliau. “Sebenarnya, sebuah buku atau berita itu diterbitkan untuk dibaca oleh sebanyak-banyaknya orang. Buku bukan untuk “euforia” masa lalu, melainkan dengan mendapatkan informasi dari buku itu, pembaca bisa ikut merasakan bagaimana beratnya membela dan mengamankan negara. Di lain pihak,ranah edukasi buku itu jelas-jelas ikut mendewasakan pembaca” ujar beliau dalam tutur suara yang ringan enak didengar.

Barangkali karena jam terbangnya sebagai wartawan senior koran terkemuka, teman saya tadi lalu meminta peneguhan kepada nara sumber agar buku yang nanti dia tulis akan menggunakan gaya penulisan “human touch”. Untuk memperjelas arti itu, lalu teman saya memberikan ilustrasi dengan bertanya kepada narasumber dan kemudian dijawab oleh narasumber.

“Istri dan anak-anak saya diancam dan diteror siang malam oleh seorang tak dikenal lewat hape dan telpon rumah.  Ini gara-gara saya telah menangkap gebong teroris itu. Saya saat itu merasakan bahwa ternyata di lapangan mencengkam, di rumah pun juga ikut mencengkam hingga semua penghuni rumah menjadi trauma” ujar narasumber. Fakta-fakta seperti inilah yang nanti ia ramu dalam gaya penulisan “human touch”.

Jadi, semakin dipahami bahwa gaya penulisan yang mengandung unsur-unsur kemanusiaan atau sentuhan manusiawinya dalam sebauah tulisan yang diturunkan, dan kemudian karena itu mampu menggugah emosi, menghibur bahkan menimbul kan empati pembaca,  itulah gaya penulisan human touch.

Contohnya, wartawan tidak hanya menaikan tulisan soal persidangan kasus korupsi Wisma Atlet Palembang dengan tersangka Angie, tetapi juga meramu berita faktualnya itu dengan reaksi emosional anak-anak tiri Anggie. Dengan menurunkan berita ini pembaca bisa jadi cuek atau justru empati terhadap masa depan anak-anak tiri Anggie.

Saya merasa, alih bahasa tidak sekedar mentrasfer informasi faktual yang didapatnya dalam sebuah tulisan repotase atau lainnya. Bukan sekedar membahasakan informasi faktual itu dengan gayanya bahasanya sendiri, melainkan bagaimana tulisan beritanya ia ramu sedemikian rupa hingga pembaca semakin tertarik karena ditulis dengan menarik dan memikat meski sebenarnya beritanya biasa-biasa saja.

Untuk makin paham dengan “human touch” ini, saya persilahkan menganalisa setiap tulisan kompasianer yang diposting. Apakah anda merasa “gerah” dengan tutur kata kompasianer yang gayanya menggurui? Atau “curcol” saja? Atau emosi anda tergugah gara-gara tulisannya yang memikat? Silahkan anda jawab sendiri sebelum anda menilai tulisan kompasianer itu aktual, inspiratif, menarik, bermanfaat atau anda justru merasa jengkel  setelah membaca tulisan yang terrekomendasi ?

Silahkan anda jawab sendiri. Salam Kompasiana!


0 komentar:

Posting Komentar